I.
PENDAHULUAN
Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang jumlahnya terbatas dan
disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan Tuhan lainnya sebagai tempat
kehidupan dan sumber kehidupan.
Selain itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagi bangsa Indonesia pembangunan
tidak dapat dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan bagian penting dari usaha
untuk meningkatkan kesejahteraan social dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
yang memiliki nilai setrategis karena arti kusus dari tanah sebagai factor
produksi utama perekonomian bangsa dan Negara.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pendahuluan
B.
Tinjauan Yuridis
Perubahan Penggunaan Lanah
C.
Dasar Hukum Perubahan
Penggunaan Lanah
D. Penggunaan Tanah Sebagai Sub Sistem Tata Ruang
E.
Aspek Perizinan
Dalam Perubahan Penggunaan Lahan
F.
Sanksi Dalam
Bidang Perizinan
G. Pelaksanaan Perubahan Penggunaan Lahan
III.
PEMBAHASAN
A.
Pendahuluan
Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha
Esa yang jumlanya terbatas dan disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan
Tuhan lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan. Selain itu tanah
sebagai ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Tanah memiliki keterbatasan, baik
darisegi kualitas maupun dari segi kuantitas, di lain sisi kebutuhan manusia
untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya memerlukan tanah yang sangat besar
untuk pelaksanaannya. Oleh karena tanah sangat terbatas maka kadang kala
pembangunan yang dilaksanakan tidak mengacu pada pola penggunaan tanah yang
baik sehingga justru mengakibatkan tanah tidak bisa memberikan manfaat yang
optimal bagi masyarakat.[1]
Tanah mempunyai fungsi social dan
pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ditegaskan dalam
GBHN pada pola umum pelita VI. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata
ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat
terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan tanah dengan tetap memelihara
kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang
merugikan kepentingan masyarakat dan
kepentingan pembangunan.[2]
Sejalan dengan perencanaan tata ruang
dan penatagunaan tanah dalam Tap. MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun
1999-2003 disebutkan bahwa kebijaksanaan pemerintah menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan dengan pengendalian pengelolaan dan pelestarian
sumber daya alam.
Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan kebijaksanaan tersebut diwujudkan
dalam bentuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan budaya
masyarakat local, serta piƱata ruang.
Pelaksanaan dari Tap. MPR Nomor IV/MPR/1999tenang GBHN Tahun
1999-2003 dituangkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propernas) Tahun 2000-2004. Terkait dengan masalah perubahan
penggunaan tanah pertanian dituangkan dalam program pengelolaan pertanahan di
mana kegiatan pokok yang dilakukan adalah pengendalian penggunaan tanah sesuai
rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan system perizinan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah di daerah.[3]
Program penataan ruang ditujukan meningkatkan system
penyusunan tata ruang, memantapakan pengelolaan
pemanfaatan ruang dan memantapakan pengendalian pemanfaatan fungsi lahan
irigasi teknis dan kawasan-kawasan lindung, meningkatkan kapasitas kelembagaan
dan organisasi penataan ruang di daerah, baik aparat Pemerintah Daerah, lembaga
legislative, dan yudikatif maupun lembaga-lembaga dalam masyarakat, agar
rencana tata ruangditaati oleh semua pihak secara konsisten.
Sejalan dengan kebijakan di bidang keagrariaan pada tahun
2001 Lembaga MPR RI mengeluarkan sebuah ketetapan No. IXTahun 2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Di dalam ketentuan Pasal
2Ketetapan No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam dinyatakan bahwa pembaharuan agrarian mencakup proses proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agrarian, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hokum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia.[4]
Berkaitan dengan kegiatan perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian telah diatur di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait. Seagai dasar pengaturannya ditentukan dalam
Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA yang
selanjutnya disingkat dengan UUPA menyatakan bahwa:
1. Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang dasar dan hal-hal sebagai yang di
maksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai
dari Negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini member wewenang untuk:
a. Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dsn pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentikan dan
mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dengan bumi, air da, ruang
angkasa;
c. Menentukan dan
mengaturhubungan-hubungan hokum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.[5]
Berdasarkan ketentuan
pasal tersebut di ataspemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
menyeleenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah
termasuk mengatur hubungan orang dengan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan penggunaan tanah pertanian yang subur ke penggunaan non
pertanian.
Ketentuan lebih lanjut dari pasal 2
UUPA dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 UUPA di mana ditentukan ada kewajiban
bagi setiap pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan secara aktif,
menambah kesuburan tanah serta mencegah terjadinya kerusakan tanah. Pelaksanaan
lebih lanjut dari ketentuan pasal 2 UUPA dituangkan jga dalam pasal 14 UUPA dan
pasal 15 UUPA. Dalam pasal 14 UUPA ditegaskan bahwa pemerintah dalam rangka
sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian,
peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu. Sedangkan Pasal 15
menentukan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiao orang, badan hokum atau
instansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah.[6]
Berdasarkan
ketentuan Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA maka kegiatan perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang tidak
sesuai dengan prinsip prinsip penatagunaan tanah serta prinsip pemeliharaan
kesuburan tanah. Dengan kata lain perubahan penggunaan tanah merupakan tindakan
perusakan terhadap sumber daya alam yang berupa tanah pertanian subur.
Ketentuan lebih lanjut
terkait dengan perubahan penggunaan tanah diatur dalam intruksi Presiden RI No.
3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi, Surat
Menteri Negara Agraria/ KBPN No. 2 Tahun 1999 tentang izin lokasi, Surat
menteri Negara Agraria/ KBPN No. 460-1594 tentang pencegahan konversi tanah
sawah beririgasi teknis menjadi tanah kering, Surat Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/1994 tentang Perubaha
Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk penggunaan Tanah Non Pertanian,
Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas No.
5334/MK/9/1994 tentang Penyusunan Rencana Tanah Ruang Wilayah Dati II, Surat
Menteri Negara Agraria/KBPN No. 410-1851 Tahun 1994 tentan Pencegahan
Penggunaan Tanah Saewah Beririgasi
Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana
Tata Ruang, serta Surat Menteri Negara Agraria/KBPN tanggal 15 juni1994 tentang
Perubahan Penggunaan Tata Sawah Beririgasi teknis untuk Penggunaan Tanah Non
Pertanian.[7]
B.
Tinjauan Yuridis
Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan tanah pertanian ke penggunaan non
pertanian memang menjadi fenomena di masyarakat seiring dengan lajunya
pembangunan di segala bidang kehidupan. Perubahan penggunaan tanah menjadi
sesuatu yang patut mendapatkan perhatian, karena banyak daerah hijau (green belt) telah menjadi daerah industry, perdagangan
permukiman. Keadaan ini berpengaruh terhadap kehidupan dan lingkungan pedesaan.
Mengenani penyebab perubahan
penggunaan tanah lahan berbagai pendapat yang diambil dari literature-literatur
menjelaskan mengenai hal tersebut. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa
tantangan permasalahan yang timbul dalam pembangunan di pengaruhi oleh 4 faktor
pokok yaitu: perkembangan dan permasalahan penduduk dalam masyarakat, pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, perkembangan dan perubahan
tehnologi maupun kebudayaan, serta perkembangan ruang lingkup internasional.
Factor-faktor itulah yang bisa menyebabkan adanya kegiatan alih fungsi lahan.[8]
Pendapat lain mengatakan bahwa
pertumbuhan penduduk yanga sangat pesat akan semakin menambah tekanan penduduk
pada pola penggunaan tanah di daerah pedesaan dan semakin menyempitnya luas
pemilikan tanah. Sebagai penduduk pedesaan
yang masih bergerak di bidang pertanian sangat merasakan tekanan
tersebut karena pertanian merupakan tulang punggung bagi petani.
Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Agus Salim dan kawan-kawannya yang mengemukakan bahwa pertumbuhan
penduduk, perkembangan kegiatan usaha, dan social budaya termasuk pembangunan
berkaitan juga dengan tuntutan masyarakat atas fasilitas pelayanan yang paling
berkembang, semua memerlukan ruang untuk menyelenggarakan tuntutan tersebut.
Menurut Nasution dan Rustiadi bahwa
perubahan tersebut di sebabkan oleh beberapa hal yaitu besarnya tingkat
urbanisasi akibat lambatnya proses pembangunan di wilayah pedesaan,
meningkatnya jumlah anggota kelompok golongan pendapatan menengah dan atas di
wilayah perkotaan yang mengakibatkan bertambah besarnya permintaan sarana
pemukiman, serta terjadinya transformasi di dalam setruktur perekonomian
Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan sector industry
yang pada gilirannya akan mendesak kegiatan pertanian dan lahan sawah.
Faktor lain yang dapat
diidentifikasikan ikut berpengaruh terhadap adanya perubahan penggunaan tanah
adalah bidang nafkah atau mata pencaharian penduduk dari bidan tertentu ke
bidang lain tersebut juga dianggap sebagai pendorong adanya perubahan
penggunaan tanah.[9]
Terkait dengan persoalan alih fungsi
lahan, kepala BPN lutfi I Nasution dalam kompas edisi 3 juni 2003 menyatakan
begitu pentingnya melestarikan lahan pertanian tidak hannya untuk kepentingan
ketahanan pangan saja tetapi juga untuk kelestarian lingkungan. Lahan sawah
adalah lahan yang paling stabil dibandingkan dengan lahan untuk peruntukan
lain. Pencucian tanah yang terjadi sangat rendah, begitu pula tingkat erosinya.
Hal ini di dukung oleh data bahwa konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain dalam 10 tahun
terakhir mencapai 40.000 ha pertahun sepanjang tahun 1983-1993 terdapat sekitar
935.000 ha lahan pertanian yang hilang.
Secara formal yuridis perubahan
penggunaan tanah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
akan tetapi pengaruh tekanan ekonomi dan politik kebijakan menjadi berubah di
dalam prakteknya. Secara ekonomis perubahan lahan ini memberikan kontribusi
kepada kas Pemda serta mampu menyerap tenaga kerja. Untuk itu pemerintah harus
mulai menggalakkan perkembangan sector industry keluar pulau jawa.
Menurut Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah DR. kIr.Soenarno Dipl HE dalam seminar
“Menggagas Penerapan Tehnologi Sipil yang Berbasis Kerakyatan, Konsteksual dan
Ekologis di Auditorium MM UGM tanggal 8 september 2003, bahwa rumah susun
(rusun) bisa menjadi alternative untuk
mengurangi alih fungsi lahan. Kabupaten atau Kota harus menjadikan pembangunan
fertikal sebagai kebijakannya termasuk Yogyakarta. hal ini di dukung fakta
bahwa kondisi lahan pertanian di Indonesia sudah memperihatinkan. Per tahun
sekitar 10-20 ribu hektar lahan telah beralih fungsi menjadi perumahan dan
perindustrian.[10]
C.
Dasar Hukum
Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan tanah dari
pertanian ke penggunaan non pertanian secara yuridis telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD
45 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.dasar kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang
termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 lebih lanjut diatur dalam UUPA. Secara eksplisit pasal-pasal yang
terkait dengan perubahan penggunaan lahan pertanian ke nonpertanian belum
diatyr tetapi secara implicit diatur dalam UUPA yaitu dalam ketentuan Pasal 2,
Pasal 6, Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15.[11]
Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUPA mengenai
perubahan penggunaan tanah dipertegas lagi dalam surat Menteri Negara
Agraria/KBPN No. 460-1594 tentang pencegahan konversi tanah sawah beririgasi
Teknis Menjadi Tanah Kering, dan sebagai tindakan itu masyarakat di himbau agar
masyarakat tidak menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi
teknis milik mereka, tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan
menjadikan untuk penggunaan pertanian tanah kering, tidak menimbun sawah
beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan, agar mengembalikan seperti
semula tanah sawah beririgasi teknis yang sudah dirubah penggunaannya yang
tidak memenuhi tata cara perizinan.[12]
Perubahan penggunaan tanah juga mendapatkan perhatian dari Kementerian
Negara Perencanaan Pembanguna dengan mengeluarkan Surat Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/ 1994 tentang
perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan tanah
nonpertanian. Senada dengan ketentuan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan,
Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5
Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan pemberian tanah
untuk keperluan perusahaan.
Peraturan mengenai perubahan penggunaan tanah secara umum di
atur dalam:
1.
Diatur dalam surat edaran Menteri dalam Negeri Nomor:
590/ 1 1 1 08/SJ tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang di
tujukan kepada semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 di seluruh Indonesia.
2.
Surat Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 640-3346 tentang perubahan penggunaan tanah sawah beririgasii
teknis untuk penggunaan tanah non pertanian yang ditujukan kepada Kantor
Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota Madya yang
berisi intruksi tentang penanganan izin lokasi, peninjauan RTRW Dati II, dan
usaha efisiensi penggunaan tanah.
3.
Kemudian dalam
pelaksanaannya di daerah, masing-masing daerah membuat aturan pelaksanaannya
sendiri sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang disesuaikan dengan kondisi
dan situasi daerah yang bersangkutan.[13]
D. Penggunaan Tanah Sebagai Sub Sistem Tata Ruang
Tata ruang berarti susunan ruang yang teratur. Dalam kata
teratur mengandung pengertian serasi dan sederhana sehingga muadah dimengerti
dan dipahami serta dilaksanakan. Suatu tata ruang yang baik dapat dihasilkan
dari kegiatan piƱata ruang. Pengertian lain menyebutkan tata ruang adalah suatu
tempat atau wadah di mana manusia hidup dan berkegiatan untuk fungsi tertentu dan
tujuan tertentu.
Secara yuridis yang dimaksud dengan ruang terdapat dalam
ketentuan Pasal 1 butir 1UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penata Ruang jo PP No.49
Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, adalah wadah yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia atau mahluk hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya.
Pengertian ruang juga dijelaskan dalam penjelasan UU No. 25
Tahun 1992 Pasal 1 butir 1 mencakup ruang daratan yaitu ruang yang erletak di
atas dan dibawah permukaan aratan, termasuk permukaan perairan daratan dan sisi
darat dari garis laut terendah. Ruang udara, ruang daratan dan ruang lautan
merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat di pisah-pisahkan. Ruang daratan,
ruang lautan dan ruang udara mempunyai potensi yang dapat dimanfaatkan sesuai
dengan tingkat itensitas yang berbeda untuk kehidupan manusia dan mahluk hidup
lainnya, potensi itu diantarannya sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan
kebutuhan pangan,, industry, pertambangan, sebagai jalur perhubungan, sebagai
obyek wisata, sebagai sumber energy, atau sebagai tempat penelitian dan
percobaan.[14]
Pengertian penataan ruang ialah proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 butir 3
UU No. 24 Tahun 1992). Pengertian ruang secara yuridis menurut UU No. 24 Tahun
1992 merupakan pengertian yang luas yaitu meliputi ruang daratan, udara dan
lautan. Penata ruang didasarkan pada asas terpadu, berdaya guna, serasi,
selaras, seimbang dan berkelanjutan. Disamping itu juga berdasarkan
keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hokum (Pasal 2 UU No. 24
Tahun 1992 tentang penata ruang). Sedangkan tujuan penata ruang adalah untuk
memberikan petunjuk atau arahan kepada pemerintah dalam penyusunan RTR suatu
wilayah atau suatu daerah tertentu. Sesangkan berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU
No. 24 Tahun 1992 tentang penata ruang, tujuan penata ruang adalah
terselenggaranya pemenfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, terselenggaranya pengaturan
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya, serta tercapainya
pemanfaatan ruang yang berkualitas.[15]
E.
Aspek Perizinan
Dalam Perubahan Penggunaan Lahan
Perizinan merupakan bagian atau produk dari keputusan Tata
Usaha Negara (Beschiking) yang
mempunyai sifat norma hokum individual-konkrit. Secara umum sifat norma hokum
dapat digolongkan menjadi empat macam sifat norma hokum, yaitu:
1. Norma hukum umum
abstrak misalnya Undang-undang;
2. Norma individual
konkritmisalnya keputusan tata usah Negara;
3. Norma umum
konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas;
4. norma individual
abstrak misalnya izin gangguan.
Keputusan tata usaha
dalam rangkaian norma hukum merupakan merupakan norma penutup. Apabila dilihat
dampak keputusan terhadap orang yang kepadanya keputusan itu ditujuka dapat
terbagi sebagai berikut: keputusan-keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan
larangan dan atau perintah, keputusan-keputusan yang menyediakan sejumlah uang,
keputusan yang membebaskan suatu kewajiban keuangan, keputusan-keputusan yang
memberikan suatu kedudukan dan keputusan penyitaan.
Keputusan-keputusan
dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau ketentuan perintah merupakan
keputusan yang paling biasa dan yang paling penting adalah perizinan. Sistemnya
adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan tertentu dan atau
tindakan-tindakan tertentu yang saling berhubungan.[16]
Pengertian izin menurut
DR. E. Utrecht, SH., ialah: bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang
suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara
yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi
Negara yang memperkenankannya perbuatan tersebut bersifat suatu izin.
Menurut
W.F. Prints pada izin, memuat uraian yang limitative tentang alas an-alasan
penolakannya, sedangkan bebas syarat atau dispensansi memuat uraian yang
limitative tentang hal-hal yang untuknya dapat diberikan dispensansi itu,
tetapi perbedaan itu tidak jelas.
Berdasarkan
kedua definisi izin tersebut terdapat perbedaan walaupun agak samar-samar. Akan
tetapi sebetulnya zin itu diberikan biasanya karena peraturan yang
berbunyi:’’dilarang untuk….. tidak dengan izin” atau bentuk lain yang dimaksud
sama seperti itu.
Pengertian izin menurut
Prof. Steenbeek adalah suatu keputusan untuk memperbolehkan suatu tindakan
sebagai suatu penyimpangan dari keadaan yang berlaku, yang melarang tindakan
tersebut. Prof. steenbeek mengambil sebagai dasar pemikirannya bahwa suatu
tindakan tertentu adalah dilarang menurut undang-undang sehingga untuk
melaksanakan tindakan tersebut harus diperlukan izin. Izin ini hannya dapat
diberikan dengan mengeluarkan suatu besluit.
Maksud
dari pada izin itu adalah untuk menjamin agar agar supaya para warga Negara
bertindak sesuai dengan peraturan. Oleh karenanya keharusan untuk mendapatkan
izin adalah suatu kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur tindakan warganya.
Akan tetapi apabila ternyata seseorang telah bertindak tidak sesuai dengan izin
yang diberikan, hal ini dapat dianggap pelanggaran dan dapat dikenakan straaf sanctie.[17]
Pemerintah
dalam memberikan suatu keputusan baik atas dasar permohonan atau mungkin secara
karena jabatan perlu memperhatikan, pertama pemerintah harus melihat apakah ia
memang berwenang mengeluarkan penetapan yang dimohon itu, kedua dasar
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan ketiga harus
memperhatikan hokum tak tertulis.[18]
F.
Sanksi Dalam
Bidang Perizinan
Sangsi merupakan bagian yang penting dalam hokum termasuk
juga dalam hokum administrasi. Pada umumnya tidak ada gunannya memasukan
kewajuban-kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga dalam peraturan
perundang-undangan tata usaha Negara. Kebayakan system perizinan menurut
perundang-undangan memuat ketentuan penting yang melarang para warga bertindak
tanpa izin. Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang
tindakan-tindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan
–tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat
dikaitkan pada suatu izin.
Sanksi-sanksi hokum administrasi yang dapat dikenakan
terhadap tindakan –tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, antara lain:
a.
Paksaan Pemerintah (Bestuursdwang)
Paksaan pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang nyata
dari penguasa mengakhuri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hokum
administrasi atau melakukan apa yang seharusnya d tinggalkan oleh para warga
karena bertentangan dengan undang-undang.
Pelaksanaan pemerintah
adalah suatu kewenangan bukan kewajiban. Sebelum menjalankan paksaan
pemerintah, badan pemerintah wajub mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Kepentingan umum
yang dirugikan keadaan illegal
2) Kepentingan
pencegahan (pengelakan) pengaruh preseden.
3) Kepentingan
pihak ketiga.
4) Kepentingan dari pelenggar dengan
dipertahankannya keadaan yang illegal.
5) Masalah-masalah
praktis atau ketidak mungkinan.
6) Pembiayaan yang
tinggidari paksaan pemerintah.
7) Jika perlu
ditindak sesuai dengan hokum pidana.
b. Penarikan
kembali keputusan
Suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan dapat
ditarik kembali sebagai sanksi dalam hal:
1) Yang
berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin.
2) Yang
berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin telah
memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap.
c. Pengenaan denda
administrasi
d. Pengenaan uang
paksa oleh pemerintah (dwangsom)
Pengertian sanksi ialah ancaman hukuman atau hukuman yang
dapat dikenakan kepada seseorang atau lebih yang telah melakukan pelanggaran
atas suatu norma. Hakekat sanksi merupakan unsure yang memperteguh atau
memperkuat suatu instrument hokum, sehingga terjadi kewibawaan hokum.[19]
G. Pelaksanaan Perubahan Penggunaan Lahan
Ada beberapa pertimbangan yang dipakai dalam memberikan izin
perubahan penggunaan tanah yaitu pertimbangan mengenai.
a.
Aspek rencana tata ruang;
b.
Letak tanah dalam wilayah ibukota kecematan yang bersangkutan;
c.
Letak tanah berbatasan langsung dengan permukiman yang
telah ada dan termasuk daerah pertumbuhan pemukiman;
d.
Letak tanah mempunyai aksesibilitas umum jalan dan
fasilitas umum lainnya antara lain fasilitas listrik, PAM, dan telepon;
e.
Luas tanah yang diberi izin sebanyak-banyaknya 2 kali
luas rencana banguna yang akan dibangun ditambah luas untuk sempadan jalan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.
Tanah sudah bersertifikat;
g.
Tanah yang dimohan tidak termasuk tanah pertanian yang
subur/sawah irigasi teknis;
h.
Aspek penguasaan tanah yang meliputi perolehan hak,
pemindahan hak dan penggunaan tanah;
i.
Setiap perubahan peruntukan tanah harus selalu
memperhatikan fungsi tanah dan daya dukung lungkungan disekitarnya.
Prosedur pengajuan izin perubahan
penggunaan tanah adalah sebagai berikut:
a. Pemohon
mengajukan surat permohonan, membuat surat pernyataan pemilikan tanah,
melampirkan foto copy KTP dan membayar biaya administrasi.
b. Kepala desa
menguatkan surat pernyataan pemilikan tanah, membuat surat keterangan pemilikan
tanah dan membuat salinan letter C.
c. Kecamatan
menguatkan surat pernyatan pemilikan tanah, menguatkan surat keterangan
pemilikan tanah serta menguatkan salinan letter C.
d. Kantor
pertanahan menerima permohonan, meneliti permohonan serta menyelenggarakan
rapat, meniliti di lapangan dan menyusun risalah.
e. Bupati KDH TK II
menerbitkan pertimbangan izin perubahan penggunaan tanah.
f.
Gubernur KDH TK I menerbitkan surat izin perubahan
penggunaan tanah.
g. Kantor
pertanahan menyerahakan izin Gubernur kepada pemohon dan mencatat dalam buku
tanah/sertifikat.
Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi pemohon jika izinnya dikabulakn, yaitu:
a. Apabila
membangun tempat tinggal di atas tanah yang dimohon perubahan penggunaanya
harus memperhatiakan RTR Kota atau RTR Daerah setempat dan perda tentang Garis
sempadan.
b. Luas tanah yang
diizinkan untuk diadakan perubahan penggunaan tanahnya setiap kepala keluarga
maksimal 1000m2.
c. Untuk luas
bangunan dilihat dari penggunaan tanahnya untuk usaha maksimal 75% dan untuk tempat
tinggal 30% sampai dengan 60% dari luas tanah yang diizinkan sedangkan
selebihnya digunakan untuk bududya pertanian.
d. Segala buangan
limbah RT atau usaha wajib dijaga sedemikian rupa sehingga tidak akan
mengganggu lingkuan hidup disekitarnaya.
e. Apabila ada di
atas tanah yang dimohon saluran irigasi dan atau saluran pembangunan lain,
tidak diperkenankan untuk mematikan saluran tersebut.[20]
IV.
KESIMPULAN
Dari pemaparan
di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa tanah memiliki
keterbatasan-keterbatasan baik dari segi kualitas, maupun dari segi kuantitas,
di lain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya
memperlukan tanah yang sangat besar untuk pelaksanaannya.
Dan tanah mempunyai fungsi social
dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ditegaskan dalam
GBHN pada Pola Umum Pelita VI. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata
ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat
terkoordinasi.
Secara umum sifat norma hokum dapat
digolonhkan menjadi empat macam sifat norma hokum, yaitu:
1.
Norma hokum umum abstrak
misainya undang-undang.
2.
Norma individual konkrit
misalnya keputusan tata usaha Negara.
3.
Norma umum konkrit misalnya
rambu-rambu lalu lintas.
4.
Norma individual abstrak
misalnya izin gangguan.
Sanksi-sanksi
hokum administrasi yang dapat dikenakan terhadap tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
a)
Paksaan Pemerintah.
b)
Penariakn kembali keputusan.
c)
Pengenaan denda
administrasi.
d)
Pengenaan uang paksa oleh pemerintah
(dwangsom).
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika ada
kesalahan dan kekurangan, itu semata-mata keterbatasan kami. Maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dari pemaparan yang kami sampaikan
tadi, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin…….
DAFTAR
PUSTAKA
Ismaya Samun, Pengantar Hukum
Agraria, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
[1] Samun Ismaya,Pengantar Hukum Agraria. Hlm
87.
[2] Ibid. Hlm 87
[3] Ibid. hlm 88
[4] Ibid. Hlm 88.
[5] Ibid. Hlm 88-89.
[6] Ibid. Hlm, 89.
[7] Ibid. Hlm, 89.
[8] Ibid. Hlm, 91.
[9] Ibid. Hlm, 91.
[10] Ibid. Hlm, 91- 92.
[11] Ibid. Hlm, 92.
[12] Ibid. Hlm, 92.
[13] Ibid. Hlm, 93.
[14] Ibid. Hlm, 94-95.
[15] Ibid. Hlm 95.
[16] Ibid. Hlm,96.
[17] Ibid. Hlm, 96-97.
[18] Ibid.
Hlm, 97.
[19] Ibid.
Hlm, 98.
[20] Ibid.
Hlm, 98-99.