Menu

Friday 5 October 2012

makalah hukum agraria tentang penggunaan lahan tanah

                               I.            PENDAHULUAN
Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang jumlahnya terbatas dan disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan Tuhan lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan.
Selain itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagi bangsa Indonesia pembangunan tidak dapat dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan bagian penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan social dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang memiliki nilai setrategis karena arti kusus dari tanah sebagai factor produksi utama perekonomian bangsa dan Negara.
                             II.            RUMUSAN MASALAH
A.      Pendahuluan
B.      Tinjauan Yuridis Perubahan Penggunaan Lanah
C.      Dasar Hukum Perubahan Penggunaan Lanah
D.     Penggunaan Tanah Sebagai Sub Sistem Tata Ruang
E.      Aspek Perizinan Dalam Perubahan Penggunaan Lahan
F.       Sanksi Dalam Bidang Perizinan
G.     Pelaksanaan Perubahan Penggunaan Lahan
                          III.            PEMBAHASAN
A.      Pendahuluan
Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang jumlanya terbatas dan disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan Tuhan lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan. Selain itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tanah memiliki keterbatasan, baik darisegi kualitas maupun dari segi kuantitas, di lain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya memerlukan tanah yang sangat besar untuk pelaksanaannya. Oleh karena tanah sangat terbatas maka kadang kala pembangunan yang dilaksanakan tidak mengacu pada pola penggunaan tanah yang baik sehingga justru mengakibatkan tanah tidak bisa memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.[1]
Tanah mempunyai fungsi social dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ditegaskan dalam GBHN pada pola umum pelita VI. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan tanah dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan  kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan.[2]
Sejalan dengan perencanaan tata ruang dan penatagunaan tanah dalam Tap. MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2003 disebutkan bahwa kebijaksanaan pemerintah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dengan pengendalian pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam. Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan kebijaksanaan tersebut diwujudkan dalam bentuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan budaya masyarakat local, serta piƱata ruang.
Pelaksanaan dari Tap. MPR Nomor IV/MPR/1999tenang GBHN Tahun 1999-2003 dituangkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) Tahun 2000-2004. Terkait dengan masalah perubahan penggunaan tanah pertanian dituangkan dalam program pengelolaan pertanahan di mana kegiatan pokok yang dilakukan adalah pengendalian penggunaan tanah sesuai rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan system perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah di daerah.[3]
Program penataan ruang ditujukan meningkatkan system penyusunan tata ruang, memantapakan pengelolaan  pemanfaatan ruang dan memantapakan pengendalian pemanfaatan fungsi lahan irigasi teknis dan kawasan-kawasan lindung, meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi penataan ruang di daerah, baik aparat Pemerintah Daerah, lembaga legislative, dan yudikatif maupun lembaga-lembaga dalam masyarakat, agar rencana tata ruangditaati oleh semua pihak secara konsisten.
Sejalan dengan kebijakan di bidang keagrariaan pada tahun 2001 Lembaga MPR RI mengeluarkan sebuah ketetapan No. IXTahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Di dalam ketentuan Pasal 2Ketetapan No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dinyatakan bahwa pembaharuan agrarian mencakup proses proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agrarian, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hokum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.[4]
Berkaitan dengan kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Seagai dasar pengaturannya ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA yang selanjutnya disingkat dengan UUPA menyatakan bahwa:
1.      Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang dasar dan hal-hal sebagai yang di maksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.      Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini member wewenang untuk:
a.      Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dsn pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.      Menentikan dan mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dengan bumi, air da, ruang angkasa;
c.       Menentukan dan mengaturhubungan-hubungan hokum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.[5]
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di ataspemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyeleenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk mengatur hubungan orang dengan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan tanah pertanian yang subur ke penggunaan non pertanian.
Ketentuan lebih lanjut dari pasal 2 UUPA dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 UUPA di mana ditentukan ada kewajiban bagi setiap pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan secara aktif, menambah kesuburan tanah serta mencegah terjadinya kerusakan tanah. Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan pasal 2 UUPA dituangkan jga dalam pasal 14 UUPA dan pasal 15 UUPA. Dalam pasal 14 UUPA ditegaskan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu. Sedangkan Pasal 15 menentukan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiao orang, badan hokum atau instansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah.[6]
            Berdasarkan ketentuan Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA maka kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip prinsip penatagunaan tanah serta prinsip pemeliharaan kesuburan tanah. Dengan kata lain perubahan penggunaan tanah merupakan tindakan perusakan terhadap sumber daya alam yang berupa tanah pertanian subur.
Ketentuan lebih lanjut terkait dengan perubahan penggunaan tanah diatur dalam intruksi Presiden RI No. 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi, Surat Menteri Negara Agraria/ KBPN No. 2 Tahun 1999 tentang izin lokasi, Surat menteri Negara Agraria/ KBPN No. 460-1594 tentang pencegahan konversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi tanah kering, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/1994 tentang Perubaha Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk penggunaan Tanah Non Pertanian, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/1994 tentang Penyusunan Rencana Tanah Ruang Wilayah Dati II, Surat Menteri Negara Agraria/KBPN No. 410-1851 Tahun 1994 tentan Pencegahan Penggunaan Tanah Saewah Beririgasi  Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana Tata Ruang, serta Surat Menteri Negara Agraria/KBPN tanggal 15 juni1994 tentang Perubahan Penggunaan Tata Sawah Beririgasi teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian.[7]
B.      Tinjauan Yuridis Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan tanah pertanian ke penggunaan non pertanian memang menjadi fenomena di masyarakat seiring dengan lajunya pembangunan di segala bidang kehidupan. Perubahan penggunaan tanah menjadi sesuatu yang patut mendapatkan perhatian, karena banyak daerah hijau (green belt)  telah menjadi daerah industry, perdagangan permukiman. Keadaan ini berpengaruh terhadap kehidupan dan lingkungan pedesaan.
            Mengenani penyebab perubahan penggunaan tanah lahan berbagai pendapat yang diambil dari literature-literatur menjelaskan mengenai hal tersebut. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa tantangan permasalahan yang timbul dalam pembangunan di pengaruhi oleh 4 faktor pokok yaitu: perkembangan dan permasalahan penduduk dalam masyarakat, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, perkembangan dan perubahan tehnologi maupun kebudayaan, serta perkembangan ruang lingkup internasional. Factor-faktor itulah yang bisa menyebabkan adanya kegiatan alih fungsi lahan.[8]
            Pendapat lain mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yanga sangat pesat akan semakin menambah tekanan penduduk pada pola penggunaan tanah di daerah pedesaan dan semakin menyempitnya luas pemilikan tanah. Sebagai penduduk pedesaan  yang masih bergerak di bidang pertanian sangat merasakan tekanan tersebut karena pertanian merupakan tulang punggung bagi petani.
            Pendapat senada juga dikemukakan oleh Agus Salim dan kawan-kawannya yang mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk, perkembangan kegiatan usaha, dan social budaya termasuk pembangunan berkaitan juga dengan tuntutan masyarakat atas fasilitas pelayanan yang paling berkembang, semua memerlukan ruang untuk menyelenggarakan tuntutan tersebut.
            Menurut Nasution dan Rustiadi bahwa perubahan tersebut di sebabkan oleh beberapa hal yaitu besarnya tingkat urbanisasi akibat lambatnya proses pembangunan di wilayah pedesaan, meningkatnya jumlah anggota kelompok golongan pendapatan menengah dan atas di wilayah perkotaan yang mengakibatkan bertambah besarnya permintaan sarana pemukiman, serta terjadinya transformasi di dalam setruktur perekonomian Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan sector industry yang pada gilirannya akan mendesak kegiatan pertanian dan lahan sawah.
            Faktor lain yang dapat diidentifikasikan ikut berpengaruh terhadap adanya perubahan penggunaan tanah adalah bidang nafkah atau mata pencaharian penduduk dari bidan tertentu ke bidang lain tersebut juga dianggap sebagai pendorong adanya perubahan penggunaan tanah.[9]
            Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan, kepala BPN lutfi I Nasution dalam kompas edisi 3 juni 2003 menyatakan begitu pentingnya melestarikan lahan pertanian tidak hannya untuk kepentingan ketahanan pangan saja tetapi juga untuk kelestarian lingkungan. Lahan sawah adalah lahan yang paling stabil dibandingkan dengan lahan untuk peruntukan lain. Pencucian tanah yang terjadi sangat rendah, begitu pula tingkat erosinya. Hal ini di dukung oleh data bahwa konversi lahan pertanian  untuk kepentingan lain dalam 10 tahun terakhir mencapai 40.000 ha pertahun sepanjang tahun 1983-1993 terdapat sekitar 935.000 ha lahan pertanian yang hilang.
            Secara formal yuridis perubahan penggunaan tanah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi pengaruh tekanan ekonomi dan politik kebijakan menjadi berubah di dalam prakteknya. Secara ekonomis perubahan lahan ini memberikan kontribusi kepada kas Pemda serta mampu menyerap tenaga kerja. Untuk itu pemerintah harus mulai menggalakkan perkembangan sector industry keluar pulau jawa.
Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah DR. kIr.Soenarno Dipl HE dalam seminar “Menggagas Penerapan Tehnologi Sipil yang Berbasis Kerakyatan, Konsteksual dan Ekologis di Auditorium MM UGM tanggal 8 september 2003, bahwa rumah susun (rusun) bisa menjadi alternative  untuk mengurangi alih fungsi lahan. Kabupaten atau Kota harus menjadikan pembangunan fertikal sebagai kebijakannya termasuk Yogyakarta. hal ini di dukung fakta bahwa kondisi lahan pertanian di Indonesia sudah memperihatinkan. Per tahun sekitar 10-20 ribu hektar lahan telah beralih fungsi menjadi perumahan dan perindustrian.[10]
C.      Dasar Hukum Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke penggunaan non pertanian secara yuridis telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.dasar kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 lebih lanjut diatur dalam UUPA. Secara eksplisit pasal-pasal yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan pertanian ke nonpertanian belum diatyr tetapi secara implicit diatur dalam UUPA yaitu dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 6, Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15.[11]
Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUPA mengenai perubahan penggunaan tanah dipertegas lagi dalam surat Menteri Negara Agraria/KBPN No. 460-1594 tentang pencegahan konversi tanah sawah beririgasi Teknis Menjadi Tanah Kering, dan sebagai tindakan itu masyarakat di himbau agar masyarakat tidak menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi teknis milik mereka, tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikan untuk penggunaan pertanian tanah kering, tidak menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan, agar mengembalikan seperti semula tanah sawah beririgasi teknis yang sudah dirubah penggunaannya yang tidak memenuhi tata cara perizinan.[12]
Perubahan penggunaan tanah juga mendapatkan perhatian dari Kementerian Negara Perencanaan Pembanguna dengan mengeluarkan Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/ 1994 tentang perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan tanah nonpertanian. Senada dengan ketentuan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan, Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan.
Peraturan mengenai perubahan penggunaan tanah secara umum di atur dalam:
1.      Diatur dalam surat edaran Menteri dalam Negeri Nomor: 590/ 1 1 1 08/SJ tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang di tujukan kepada semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 di seluruh Indonesia.
2.      Surat Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 640-3346 tentang perubahan penggunaan tanah sawah beririgasii teknis untuk penggunaan tanah non pertanian yang ditujukan kepada Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota Madya yang berisi intruksi tentang penanganan izin lokasi, peninjauan RTRW Dati II, dan usaha efisiensi penggunaan tanah.
3.      Kemudian dalam pelaksanaannya di daerah, masing-masing daerah membuat aturan pelaksanaannya sendiri sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah yang bersangkutan.[13]

D.     Penggunaan Tanah Sebagai Sub Sistem Tata Ruang
Tata ruang berarti susunan ruang yang teratur. Dalam kata teratur mengandung pengertian serasi dan sederhana sehingga muadah dimengerti dan dipahami serta dilaksanakan. Suatu tata ruang yang baik dapat dihasilkan dari kegiatan piƱata ruang. Pengertian lain menyebutkan tata ruang adalah suatu tempat atau wadah di mana manusia hidup dan berkegiatan untuk fungsi tertentu dan tujuan tertentu.
Secara yuridis yang dimaksud dengan ruang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 butir 1UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penata Ruang jo PP No.49 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia atau mahluk hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Pengertian ruang juga dijelaskan dalam penjelasan UU No. 25 Tahun 1992 Pasal 1 butir 1 mencakup ruang daratan yaitu ruang yang erletak di atas dan dibawah permukaan aratan, termasuk permukaan perairan daratan dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang udara, ruang daratan dan ruang lautan merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat di pisah-pisahkan. Ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara mempunyai potensi yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tingkat itensitas yang berbeda untuk kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya, potensi itu diantarannya sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan,, industry, pertambangan, sebagai jalur perhubungan, sebagai obyek wisata, sebagai sumber energy, atau sebagai tempat penelitian dan percobaan.[14]
Pengertian penataan ruang ialah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 butir 3 UU No. 24 Tahun 1992). Pengertian ruang secara yuridis menurut UU No. 24 Tahun 1992 merupakan pengertian yang luas yaitu meliputi ruang daratan, udara dan lautan. Penata ruang didasarkan pada asas terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Disamping itu juga berdasarkan keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hokum (Pasal 2 UU No. 24 Tahun 1992 tentang penata ruang). Sedangkan tujuan penata ruang adalah untuk memberikan petunjuk atau arahan kepada pemerintah dalam penyusunan RTR suatu wilayah atau suatu daerah tertentu. Sesangkan berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 24 Tahun 1992 tentang penata ruang, tujuan penata ruang adalah terselenggaranya pemenfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.[15]
E.      Aspek Perizinan Dalam Perubahan Penggunaan Lahan
Perizinan merupakan bagian atau produk dari keputusan Tata Usaha Negara (Beschiking) yang mempunyai sifat norma hokum individual-konkrit. Secara umum sifat norma hokum dapat digolongkan menjadi empat macam sifat norma hokum, yaitu:
1.      Norma hukum umum abstrak misalnya Undang-undang;
2.      Norma individual konkritmisalnya keputusan tata usah Negara;
3.      Norma umum konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas;
4.      norma individual abstrak misalnya izin gangguan.
Keputusan tata usaha dalam rangkaian norma hukum merupakan merupakan norma penutup. Apabila dilihat dampak keputusan terhadap orang yang kepadanya keputusan itu ditujuka dapat terbagi sebagai berikut: keputusan-keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau perintah, keputusan-keputusan yang menyediakan sejumlah uang, keputusan yang membebaskan suatu kewajiban keuangan, keputusan-keputusan yang memberikan suatu kedudukan dan keputusan penyitaan.
            Keputusan-keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau ketentuan perintah merupakan keputusan yang paling biasa dan yang paling penting adalah perizinan. Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan tertentu dan atau tindakan-tindakan tertentu yang saling berhubungan.[16]
Pengertian izin menurut DR. E. Utrecht, SH., ialah: bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi Negara yang memperkenankannya perbuatan tersebut bersifat suatu izin.
            Menurut W.F. Prints pada izin, memuat uraian yang limitative tentang alas an-alasan penolakannya, sedangkan bebas syarat atau dispensansi memuat uraian yang limitative tentang hal-hal yang untuknya dapat diberikan dispensansi itu, tetapi perbedaan itu tidak jelas.
            Berdasarkan kedua definisi izin tersebut terdapat perbedaan walaupun agak samar-samar. Akan tetapi sebetulnya zin itu diberikan biasanya karena peraturan yang berbunyi:’’dilarang untuk….. tidak dengan izin” atau bentuk lain yang dimaksud sama seperti itu.
Pengertian izin menurut Prof. Steenbeek adalah suatu keputusan untuk memperbolehkan suatu tindakan sebagai suatu penyimpangan dari keadaan yang berlaku, yang melarang tindakan tersebut. Prof. steenbeek mengambil sebagai dasar pemikirannya bahwa suatu tindakan tertentu adalah dilarang menurut undang-undang sehingga untuk melaksanakan tindakan tersebut harus diperlukan izin. Izin ini hannya dapat diberikan dengan mengeluarkan suatu besluit.
            Maksud dari pada izin itu adalah untuk menjamin agar agar supaya para warga Negara bertindak sesuai dengan peraturan. Oleh karenanya keharusan untuk mendapatkan izin adalah suatu kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur tindakan warganya. Akan tetapi apabila ternyata seseorang telah bertindak tidak sesuai dengan izin yang diberikan, hal ini dapat dianggap pelanggaran dan dapat dikenakan straaf sanctie.[17]
Pemerintah dalam memberikan suatu keputusan baik atas dasar permohonan atau mungkin secara karena jabatan perlu memperhatikan, pertama pemerintah harus melihat apakah ia memang berwenang mengeluarkan penetapan yang dimohon itu, kedua dasar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan ketiga harus memperhatikan hokum tak tertulis.[18]
F.       Sanksi Dalam Bidang Perizinan
Sangsi merupakan bagian yang penting dalam hokum termasuk juga dalam hokum administrasi. Pada umumnya tidak ada gunannya memasukan kewajuban-kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga dalam peraturan perundang-undangan tata usaha Negara. Kebayakan system perizinan menurut perundang-undangan memuat ketentuan penting yang melarang para warga bertindak tanpa izin. Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan –tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin.
Sanksi-sanksi hokum administrasi yang dapat dikenakan terhadap tindakan –tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
a.      Paksaan Pemerintah (Bestuursdwang)
Paksaan pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa mengakhuri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hokum administrasi atau melakukan apa yang seharusnya d tinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang.
Pelaksanaan pemerintah adalah suatu kewenangan bukan kewajiban. Sebelum menjalankan paksaan pemerintah, badan pemerintah wajub mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1)      Kepentingan umum yang dirugikan keadaan illegal
2)      Kepentingan pencegahan (pengelakan) pengaruh preseden.
3)      Kepentingan pihak ketiga.
4)       Kepentingan dari pelenggar dengan dipertahankannya keadaan yang illegal.
5)      Masalah-masalah praktis atau ketidak mungkinan.
6)      Pembiayaan yang tinggidari paksaan pemerintah.
7)      Jika perlu ditindak sesuai dengan hokum pidana.
b.      Penarikan kembali keputusan
Suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan dapat ditarik kembali sebagai sanksi dalam hal:
1)      Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin.
2)      Yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap.
c.       Pengenaan denda administrasi
d.      Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)
Pengertian sanksi ialah ancaman hukuman atau hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang atau lebih yang telah melakukan pelanggaran atas suatu norma. Hakekat sanksi merupakan unsure yang memperteguh atau memperkuat suatu instrument hokum, sehingga terjadi kewibawaan hokum.[19]

G.     Pelaksanaan Perubahan Penggunaan Lahan
Ada beberapa pertimbangan yang dipakai dalam memberikan izin perubahan penggunaan tanah yaitu pertimbangan mengenai.
a.      Aspek rencana tata ruang;
b.      Letak tanah dalam wilayah ibukota kecematan yang bersangkutan;
c.       Letak tanah berbatasan langsung dengan permukiman yang telah ada dan termasuk daerah pertumbuhan pemukiman;
d.      Letak tanah mempunyai aksesibilitas umum jalan dan fasilitas umum lainnya antara lain fasilitas listrik, PAM, dan telepon;
e.      Luas tanah yang diberi izin sebanyak-banyaknya 2 kali luas rencana banguna yang akan dibangun ditambah luas untuk sempadan jalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.        Tanah sudah bersertifikat;
g.      Tanah yang dimohan tidak termasuk tanah pertanian yang subur/sawah irigasi teknis;
h.      Aspek penguasaan tanah yang meliputi perolehan hak, pemindahan hak dan penggunaan tanah;
i.        Setiap perubahan peruntukan tanah harus selalu memperhatikan fungsi tanah dan daya dukung lungkungan disekitarnya.
Prosedur pengajuan izin perubahan penggunaan tanah adalah sebagai berikut:
a.      Pemohon mengajukan surat permohonan, membuat surat pernyataan pemilikan tanah, melampirkan foto copy KTP dan membayar biaya administrasi.
b.      Kepala desa menguatkan surat pernyataan pemilikan tanah, membuat surat keterangan pemilikan tanah dan membuat salinan letter C.
c.       Kecamatan menguatkan surat pernyatan pemilikan tanah, menguatkan surat keterangan pemilikan tanah serta menguatkan salinan letter C.
d.      Kantor pertanahan menerima permohonan, meneliti permohonan serta menyelenggarakan rapat, meniliti di lapangan dan menyusun risalah.
e.      Bupati KDH TK II menerbitkan pertimbangan izin perubahan penggunaan tanah.
f.        Gubernur KDH TK I menerbitkan surat izin perubahan penggunaan tanah.
g.      Kantor pertanahan menyerahakan izin Gubernur kepada pemohon dan mencatat dalam buku tanah/sertifikat.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pemohon jika izinnya dikabulakn, yaitu:
a.      Apabila membangun tempat tinggal di atas tanah yang dimohon perubahan penggunaanya harus memperhatiakan RTR Kota atau RTR Daerah setempat dan perda tentang Garis sempadan.
b.      Luas tanah yang diizinkan untuk diadakan perubahan penggunaan tanahnya setiap kepala keluarga maksimal 1000m2.
c.       Untuk luas bangunan dilihat dari penggunaan tanahnya untuk usaha maksimal 75% dan untuk tempat tinggal 30% sampai dengan 60% dari luas tanah yang diizinkan sedangkan selebihnya digunakan untuk bududya pertanian.
d.      Segala buangan limbah RT atau usaha wajib dijaga sedemikian rupa sehingga tidak akan mengganggu lingkuan hidup disekitarnaya.
e.      Apabila ada di atas tanah yang dimohon saluran irigasi dan atau saluran pembangunan lain, tidak diperkenankan untuk mematikan saluran tersebut.[20]

                          IV.            KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa tanah memiliki keterbatasan-keterbatasan baik dari segi kualitas, maupun dari segi kuantitas, di lain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya memperlukan tanah yang sangat besar untuk pelaksanaannya.
Dan tanah mempunyai fungsi social dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ditegaskan dalam GBHN pada Pola Umum Pelita VI. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi.
Secara umum sifat norma hokum dapat digolonhkan menjadi empat macam sifat norma hokum, yaitu:
1.      Norma hokum umum abstrak misainya undang-undang.
2.      Norma individual konkrit misalnya keputusan tata usaha Negara.
3.      Norma umum konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas.
4.      Norma individual abstrak misalnya izin gangguan.
Sanksi-sanksi hokum administrasi yang dapat dikenakan terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
a)      Paksaan Pemerintah.
b)      Penariakn kembali keputusan.
c)      Pengenaan denda administrasi.
d)      Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

                            V.            PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu semata-mata keterbatasan kami. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun  sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dari pemaparan yang kami sampaikan tadi, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin…….


DAFTAR PUSTAKA

Ismaya Samun, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.


[1] Samun Ismaya,Pengantar Hukum Agraria. Hlm 87.
[2] Ibid. Hlm 87
[3] Ibid. hlm 88
[4] Ibid. Hlm 88.
[5] Ibid. Hlm 88-89.
[6] Ibid. Hlm, 89.
[7] Ibid. Hlm, 89.
[8] Ibid. Hlm, 91.
[9] Ibid. Hlm, 91.
[10] Ibid. Hlm, 91- 92.
[11] Ibid. Hlm, 92.
[12] Ibid. Hlm, 92.
[13] Ibid. Hlm, 93.
[14] Ibid. Hlm, 94-95.
[15] Ibid. Hlm 95.
[16] Ibid. Hlm,96.
[17] Ibid. Hlm, 96-97.
[18] Ibid. Hlm, 97.
[19] Ibid. Hlm, 98.
[20] Ibid. Hlm, 98-99.