Prinsip-prinsip Perkawinan: Indonesia dan Malaysia
I.
Pendahuluan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran islam mempunyai nilai
ibadah, sehingga pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan
adalah akad yang sangat kuat (miitsaaqon ghaliidhan) untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.[2]
Perkawinan merupakan salah satu
perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena
perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun
perzinaan.
II.
Rumusan Masalah
Dalam masalah hukum perkawinan islam
terdapat berbagai pokok permasalahan yang sangat penting, diantaranya yaitu
prinsip perkawinan. Apabila suatu perkawinan tidak berlandaskan prinsip-prinsip
yang teguh, maka dalam menjalankannya akan mudah terombang-ambing. Maka dari
itu, makalah ini akan membahas tentang prinsip-prinsip perkawinan islam di
Indonesia dan di Malaysia.
III.
Pembahasan
Prinsip-prinsip hukum perkawinan
yang bersumber dari Alquran dan Alhadist, yang kemudian dituangkan dalam
garis-garis hukum melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 mengandung beberapa asas atau prinsip
perkawinan.
Prof. DR. H. Ahmad Rofiq, MA. dalam
bukunya yang berjudul Hukum Islam di Indonesia menjelaskan ada 6 (enam)
asas yang prinsipil dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu:[3]
a.
Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
Sesuai dengan firman Allah:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
b.
Dalam
Undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c.
Undang-Undang
ini menganut asas monogami. hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat
beristri lebih dari seorang.
Sesuai dengan firman Allah:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265],
Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
[265]
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian,
tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266]
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat
ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
d.
Undang-Undang
Perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat. Asas ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Rum ayat 21
yang telah disebutkan di atas.
e.
Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya
perceraian.
Berdasarkan sabda Rosulullah SAW, riwayat Ibn ‘Umar:
ابغض الحلال الى الله الطلاق
Artinya “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak
(perceraian). (riwayat Abu Dawud, Ibn Majah dan disahihkan Al-hakim)
f.
Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala
sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami
isteri.
Sesuai firman Allah:
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# c%2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJÎ=tã ÇÌËÈ
32. dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Selain prinsip-prinsip perkawinan diatas, dalam buku Hukum
Perdata Islam di Indonesia, karangan Prof. DR. H. Zainuddin Ali, M.A. juga
ditambahkan satu asas lagi yaitu asas pencatatan perkawinan.[4]
Asas ini merupakan perluasan dari asas point b.
Sedangkan Neng Djubaedah, S.H., M.H. dalam bukunya Pencatatan
Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan
Hukum Islam menyebutkan bahwa asas hokum perkawinan islam menurut hokum
islam dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku bagi
orang islam di Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) asas, yaitu:[5]
1.
Asas
Personalitas Keislaman
Pasal 40 huruf c KHI melarang perkawinan antara lelaki
muslim dengan wanita non-islam. Pasal 44 melarang perkawinan antara wanita
islam dengan lelaki bukan islam. Dengan demikian, asas personalitas keislaman
dibidang hokum perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan pasal 1, pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang perkawinan juncto pasal 40 huruf c dan pasal 44
KHI.
2.
Asas
persetujuan
Hokum perkawinan islam sangat menghormati hak asasi manusia dalam
hal perkawinan yang telah ditentukan sejak awal islam, yaitu sekitar abad ke-7
masehi. Dalam memilih pasangan perkawinan, perempuan muslimah diberikan
kebebasan untuk memilih melalui pernyataan menerima atau tidak pinangan seorang
laki-laki.
3.
Asas
Kebebasan memilih Pasangan
Setiap orang berhak untuk memilih pasangan perkawinannya secara bebas
asalkan sesuai syariat islam, yaitu tidak melanggar larangan perkawinan menurut
islam karena perkawinan adalah lembaga yang membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, selain sebagai sendi pokok masyarakat dan bangsa.
4.
Asas
Kesukarelaan
Asas kesukarelaan tidak hanya harus terdapat pada kedua calon
mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua
masing-masing calon mempelai. Kesukarelaan wali pihak perempuan adalah
merupakan unsur penting, karena wali nikah merupakan salah satu rukun
perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 14 KHI yang
menentukan rukun nikah terdiri atas calon suami, calon isteri, wali nikah, dua
oaring saksi dan ijab qobul, jo. Pasal 19 sampai dengan pasal 23 KHI yang
menetukan tentanng wali nikah.
5.
Asas
kemitraan suami isteri
Asas kemitraan dalam hokum perkawinan islam dapat dilihat dari:
Pertama,
subjek hokum atau orang yang berakad nikah, yaitu calon suami dan
calon isteri yang dilaksanakan oleh walinya.
Kedua,
dalam hal diakadkanya, atau objek akad nikah ialah halalnya
hubungan suami isteri secara timbal balik dan segala hal yang muncul sebagai
akibat perkawinan.
Ketiga,
dalam hokum islam, berdasarkan akad nikah dengan sighat ijab qobul
itu tidak berarti terjadinya penguasaan suami terhadap isteri atau sebaliknya.
6.
Asas
monogamy terbuka
Kebolehan poligami bagi suami adalah “pintu darurat”, karena
poligami dalam hokum perkawinan islam bukanlah asas. Undang-Undang nomor 1
tahun 1974 pasal 3, pasal 4, pasal 5 danpasal 65 juncto Peraturan Pemerintah
nomor 9 tahun 1975 juncto Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang syarat
alternative dan syarat kumulatif bagi suami yang akan melakukan poligami. Hal
ini tidak bertentangan dengan hokum islam, karena memang asas perkawinan dalam
islam adalah monogamy terbuka.
7.
Asas
Untuk Selama-lamanya
Tujuan
perkawinan adalah untuk selama-lamanya, bukan untuk sementara waktu dan sekedar
bersenang-senang atau rekreasi semata.
Di dalam buku Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, Prof. Muhammad Amin Summa menjelaskan bahwa
prinsip perkawinan itu ada 8, yaitu:[6]
1.
Asas
(prinsip) Sukarela
Hukum islam sangat menjunjung tinggi asas kerelaan para pihak dalam
sebuah akad perkawinan dan bahkan akad-akad yang lainnya. Al-Sayyid Sabiq
misalnya, merumuskan bahwa: “arruknul haqiqi lizzawaji huwa ridhat-tharafayni”,
unsure hakiki bagi sebuah perkawinan ialah kerelaan kedua belah pihak.
2.
Asas
(prinsip) Partisipasi Keluarga
Penetapan keharusan ada wali dalam pelaksanaan suatu akad nikah,
baik dalam konteks hokum islam maupun undang-undang perkawinan islam,
membuktikan arti penting dari asas partisipasi keluarga. Demikian pula dengan
keharusan ada izin dari wali terutama bagi anak yang belum mencapai usia nikah,
disamping keharusan ada saksi dalam setiap penyelengaraan akad nikah.
3.
Asas
(prinsip) Perceraian Dipersulit
Talak tidak boleh dijatuhkan sesuka hati kaum laki-laki di atas
penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-alasan yang kuat
dan disampaikan di muka sidang pengadilan. Itu pun setelah pengadilan lebih
dahulu berusaha mendamaikan pasangan suami isteri tetapi tetap tidak berhasil.
Daripada mempertahankan kehidupan keluarga yang terus menerus tidak harmonis,
maka akan lebih baik mengakhiri kehidupan keluarga itu dengan cara yang lebih
baik dan lebih terhormat.
4.
Asas
(prinsip) Monogami (poligami dibatasi dan diperketat)
Satu hal yang penting dicatat berkenaan dengan poligami ialah bahwa
berlainan dengan pendirian mayoritas kaum muslimin yang nyata-nyata membolehkan
poligami meskipun dengan alasan tertentu, dalam keadaan tertentu dan
berdasrakan persyaratan tertentu, ulama (cendikawan) yang tidak menyetujui
poligami tidak pernah menyatakan keharaman poligami.
Poligami yang diakui oleh hokum (dan undang-undang) islam akan
menjamin kehidupan keluarga yang lebih terhormat daripada monogamy yang tidak
dihormati yang akan menyembunyikan tindakan pelacuran, kerendahan nama dan
kebohongan. Poligami diperbolehkan akan tetapi perkawinan monogami yang
dilakukan secara jujur tetap merupakan tujuan yang perlu dicapai.
5.
Asas
(prinsip) Kedewasaan Calon mempelai
Undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa setiap calon suami
isteri yang hendak melangsungkan akad pernikahan, harus benar-benar telah
matang secara fisik maupun psikis (rohani).
6.
Asas
(prinsip) Memperbaiki dan Meningkatkan Derajat Kaum Wanita
Bahwa dalam hokum keluarga islam khususnya perkawinan ada titik
perbedaan antara aturan hokum berkenaan dengan soal kewajiban dan hak
laiki-laki (suami) serta kewajiban dan hak perempuan (isteri), itu bukan
perbedaan yang diproyeksikan untuk melakukan tindakan diskriminatif oleh siapa dan
terhadap siapapun, melainkan harus dipahami semata-mata sebagai pembagian
tugas.
7.
Asas
(prinsip) Legalitas
Asas legalitas mengajarkan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat
oleh petugas (pejabat) yang berwenang. Semua undang-undang perkawinan islam di
dunia islam mengamanatkan arti penting dari pencatatan setiap perkawinan.
Selain berfungsi sebagai tertib administrasi dan perlindungan hokum bagi warga
Negara masing-masing, juga mempermudah para pihak terkait dalam melakukan
control terhadap pelaksanaan undang-undang perkawinan di sebuah Negara.
8.
Asas
(prinsip) Selektivitas
Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan,
dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, dan dengan siapa pula dia
dilarang menikah.
Drs. Lili Rasyidi, S.H., LL.M.
menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan dan Perceraian di
Malaysia dan Indonesia mengenai syarat-syarat perkawinan, yaitu:[7]
1.
Batas
Umur Untuk kawin
Di dalam islam tidak terdapat penetapan yang tertentu yang mengatur
secara pasti tentang berapakah batas umur seseorang itu boleh melangsungkan
perkawinan dikalangan anak-anak yang masih di bawah umur. Perkawinan serupa ini
hanya dibenarkan jika dilakukan melalui seorang wali yaitu ayah atau datuk
laki-laki. Batas kedewasaan menurut islam diperkirakan di antara umur 15 tahun atau 16 tahun bagi seorang perempuan
dan 18 atau 19 tahun bagi seoarang laki-laki. Bagaimanapun belum tercapai kata
sepakat di kalangan tokoh-tokoh ahli agama islam sampai batas manakah seseorang
itu dapat dianggap dewasa. Di Serawak misalnya menurut ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang Mahkamah Melayu Serawak batas umur dewasa itu ditetapkan
sekitar 15 tahun. Sedangkan di Sabah yang juga diperlakukan bagi mereka yang
beragama islam, ditetapkan batas umur 16 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi
perempuan.
2.
Persetujuan
Kedua Belah Pihak
Dalam perkawinan cara memperoleh persetujuan dari mempelai
perempuan biasanya kadhi dengan dihadiri oleh saksi-saksi menanyakanya sebelum
akad nikah dilangsungkan. Persetujuan itu dianggap cukup jika si mempelai perempuan itu mengagukan
kepalanya. Persetujuan ini menurut madzab syafi’I dapat juga diberikan kepada
walinya.
3.
Larangan
Perkawinan Karena Hubungan Kekeluargaan
Hokum islam melarang perkawinan yang dilakukan antara pihak-pihak
berikut:
a.
Yang
mempunyai hubungan kekeluargaan yang dekat, karena hubungan darah atau karena perkawinan.
b.
Calon
laki-laki telah beristeri empat.
c.
Calon
mempelai perempuan masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain atau jika
telah bercerai/suami meninggal dunia belum selesai masa iddah.
d.
Calon
mempelai perempuan itu bukan seorang islam atau ahli kitab.
e.
Antara
calon mempelai laki-laki dan perempuan itu merupakan sesusuan serta
larangan-larang lainnya.
4.
Mengikut
tatacara Perkawinan Yang Ditentukan
Di Malaysia, terdapat berbagai ketentuan yang mengatur
pengupacaraan perkawinan ini. Tiap-tiap kerajaan negeri mempunyai enekmen
pentadbiranya sendiri yaitu yang telah kita kenal sebagai enekmen pentadbiran
undang-undang islam. Di dalam enekmen-enekmen itu dapat dilihat dengan cara
bagaimana pengupacaraan perkawinan dapat dilangsungkan serta syarat-syarat
pentadbiran apakah yang perlu dipatuhioleh tiap-tiap calon mempelai sebelum
akad nikah dilangsungkan.
IV.
Kesimpulan
Prinsip-prinsip hukum perkawinan
yang bersumber dari Alquran dan Alhadist, yang kemudian dituangkan dalam
garis-garis hokum melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan Kompilasi Hukum islam tahun 1991 mengandung beberapa asas atau prinsip
perkawinan, diantaranya yaitu:
1.
Asas
Personalitas Keislaman
2.
Asas
persetujuan
3.
Asas
Kebebasan memilih Pasangan
4.
Asas
Kesukarelaan
5.
Asas
monogamy terbuka
6.
Asas
Untuk Selama-lamanya
V.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya susun. Saya
sadar makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saran yang
membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah yang selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin...
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad, Hukum islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995
Ali, Zainuddin, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2007
Djubaedah, Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Amin Summa, Muhammad, Hukum Keluarga islam di Dunia Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005
Rasidi, Lili, Hukum
Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Alumni, 1982
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam
[1] UU
NO. 1 TAHUN 1974 Pasal 1.
[2]
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.
[3]
Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, 1995 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hal. 56.
[4]
Zainuddin Ali, Hukum perdata Islam di Indonesia, 2007 (Jakarta: Sinar
Grafika), hal. 7.
[5] Neng Djubaedah, Pencatatan
Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, 2010 (Jakarta: Sinar Grafika),
hal. 94.
[6] Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga islam di Dunia Islam, 2005 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada),
hal. 172.
[7]
Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, 1982
(Bandung: Alumni), hal. 55-60