Menu

Tuesday, 16 April 2013

makalah tentang prinsip pernikahan di Indonesia dan Malaysia




Prinsip-prinsip Perkawinan: Indonesia dan Malaysia

I.                  Pendahuluan
Perkawinan  ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[1] Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (miitsaaqon ghaliidhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.[2]
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun perzinaan.

II.               Rumusan  Masalah
Dalam masalah hukum perkawinan islam terdapat berbagai pokok permasalahan yang sangat penting, diantaranya yaitu prinsip perkawinan. Apabila suatu perkawinan tidak berlandaskan prinsip-prinsip yang teguh, maka dalam menjalankannya akan mudah terombang-ambing. Maka dari itu, makalah ini akan membahas tentang prinsip-prinsip perkawinan islam di Indonesia dan di Malaysia.

III.           Pembahasan
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alquran dan Alhadist, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 mengandung beberapa asas atau prinsip perkawinan.
Prof. DR. H. Ahmad Rofiq, MA. dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam di Indonesia menjelaskan ada 6 (enam) asas yang prinsipil dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu:[3]
a.       Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Sesuai dengan firman Allah:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

b.      Dalam Undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.       Undang-Undang ini menganut asas monogami. hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.




Sesuai dengan firman Allah:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

d.      Undang-Undang Perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Asas ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Rum ayat 21 yang telah disebutkan di atas.

e.       Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
Berdasarkan sabda Rosulullah SAW, riwayat Ibn ‘Umar:
ابغض الحلال الى الله الطلاق
Artinya “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian). (riwayat Abu Dawud, Ibn Majah dan disahihkan  Al-hakim)

f.       Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.
Sesuai firman Allah:
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  
32. dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Selain prinsip-prinsip perkawinan diatas, dalam buku Hukum Perdata Islam di Indonesia, karangan Prof. DR. H. Zainuddin Ali, M.A. juga ditambahkan satu asas lagi yaitu asas pencatatan perkawinan.[4] Asas ini merupakan perluasan dari asas point b.

Sedangkan Neng Djubaedah, S.H., M.H. dalam bukunya Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam menyebutkan bahwa asas hokum perkawinan islam menurut hokum islam dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku bagi orang islam di Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) asas, yaitu:[5]


1.      Asas Personalitas Keislaman
Pasal 40 huruf c KHI melarang perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita non-islam. Pasal 44 melarang perkawinan antara wanita islam dengan lelaki bukan islam. Dengan demikian, asas personalitas keislaman dibidang hokum perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan pasal 1, pasal 2 ayat (1) Undang-Undang perkawinan juncto pasal 40 huruf c dan pasal 44 KHI.

2.      Asas persetujuan
Hokum perkawinan islam sangat menghormati hak asasi manusia dalam hal perkawinan yang telah ditentukan sejak awal islam, yaitu sekitar abad ke-7 masehi. Dalam memilih pasangan perkawinan, perempuan muslimah diberikan kebebasan untuk memilih melalui pernyataan menerima atau tidak pinangan seorang laki-laki.

3.      Asas Kebebasan memilih Pasangan
Setiap orang berhak untuk memilih pasangan perkawinannya secara bebas asalkan sesuai syariat islam, yaitu tidak melanggar larangan perkawinan menurut islam karena perkawinan adalah lembaga yang membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai sendi pokok masyarakat dan bangsa.

4.      Asas Kesukarelaan
Asas kesukarelaan tidak hanya harus terdapat pada kedua calon mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua masing-masing calon mempelai. Kesukarelaan wali pihak perempuan adalah merupakan unsur penting, karena wali nikah merupakan salah satu rukun perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 14 KHI yang menentukan rukun nikah terdiri atas calon suami, calon isteri, wali nikah, dua oaring saksi dan ijab qobul, jo. Pasal 19 sampai dengan pasal 23 KHI yang menetukan tentanng wali nikah.

5.      Asas kemitraan suami isteri
Asas kemitraan dalam hokum perkawinan islam dapat dilihat dari:
Pertama, subjek hokum atau orang yang berakad nikah, yaitu calon suami dan calon isteri yang dilaksanakan oleh walinya.
Kedua, dalam hal diakadkanya, atau objek akad nikah ialah halalnya hubungan suami isteri secara timbal balik dan segala hal yang muncul sebagai akibat perkawinan.
Ketiga, dalam hokum islam, berdasarkan akad nikah dengan sighat ijab qobul itu tidak berarti terjadinya penguasaan suami terhadap isteri atau sebaliknya.

6.      Asas monogamy terbuka
Kebolehan poligami bagi suami adalah “pintu darurat”, karena poligami dalam hokum perkawinan islam bukanlah asas. Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 pasal 3, pasal 4, pasal 5 danpasal 65 juncto Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 juncto Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang syarat alternative dan syarat kumulatif bagi suami yang akan melakukan poligami. Hal ini tidak bertentangan dengan hokum islam, karena memang asas perkawinan dalam islam adalah monogamy terbuka.

7.      Asas Untuk Selama-lamanya
Tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya, bukan untuk sementara waktu dan sekedar bersenang-senang atau rekreasi semata.
Di dalam buku Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Prof. Muhammad Amin Summa menjelaskan bahwa prinsip perkawinan itu ada 8, yaitu:[6]
1.      Asas (prinsip) Sukarela
Hukum islam sangat menjunjung tinggi asas kerelaan para pihak dalam sebuah akad perkawinan dan bahkan akad-akad yang lainnya. Al-Sayyid Sabiq misalnya, merumuskan bahwa: “arruknul haqiqi lizzawaji huwa ridhat-tharafayni”, unsure hakiki bagi sebuah perkawinan ialah kerelaan kedua belah pihak.
2.      Asas (prinsip) Partisipasi Keluarga
Penetapan keharusan ada wali dalam pelaksanaan suatu akad nikah, baik dalam konteks hokum islam maupun undang-undang perkawinan islam, membuktikan arti penting dari asas partisipasi keluarga. Demikian pula dengan keharusan ada izin dari wali terutama bagi anak yang belum mencapai usia nikah, disamping keharusan ada saksi dalam setiap penyelengaraan akad nikah.

3.      Asas (prinsip) Perceraian Dipersulit
Talak tidak boleh dijatuhkan sesuka hati kaum laki-laki di atas penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan disampaikan di muka sidang pengadilan. Itu pun setelah pengadilan lebih dahulu berusaha mendamaikan pasangan suami isteri tetapi tetap tidak berhasil. Daripada mempertahankan kehidupan keluarga yang terus menerus tidak harmonis, maka akan lebih baik mengakhiri kehidupan keluarga itu dengan cara yang lebih baik dan lebih terhormat.

4.      Asas (prinsip) Monogami (poligami dibatasi dan diperketat)
Satu hal yang penting dicatat berkenaan dengan poligami ialah bahwa berlainan dengan pendirian mayoritas kaum muslimin yang nyata-nyata membolehkan poligami meskipun dengan alasan tertentu, dalam keadaan tertentu dan berdasrakan persyaratan tertentu, ulama (cendikawan) yang tidak menyetujui poligami tidak pernah menyatakan keharaman poligami.
Poligami yang diakui oleh hokum (dan undang-undang) islam akan menjamin kehidupan keluarga yang lebih terhormat daripada monogamy yang tidak dihormati yang akan menyembunyikan tindakan pelacuran, kerendahan nama dan kebohongan. Poligami diperbolehkan akan tetapi perkawinan monogami yang dilakukan secara jujur tetap merupakan tujuan yang perlu dicapai.




5.      Asas (prinsip) Kedewasaan Calon mempelai
Undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa setiap calon suami isteri yang hendak melangsungkan akad pernikahan, harus benar-benar telah matang secara fisik maupun psikis (rohani).

6.      Asas (prinsip) Memperbaiki dan Meningkatkan Derajat Kaum Wanita
Bahwa dalam hokum keluarga islam khususnya perkawinan ada titik perbedaan antara aturan hokum berkenaan dengan soal kewajiban dan hak laiki-laki (suami) serta kewajiban dan hak perempuan (isteri), itu bukan perbedaan yang diproyeksikan untuk melakukan tindakan diskriminatif oleh siapa dan terhadap siapapun, melainkan harus dipahami semata-mata sebagai pembagian tugas.

7.      Asas (prinsip) Legalitas
Asas legalitas mengajarkan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh petugas (pejabat) yang berwenang. Semua undang-undang perkawinan islam di dunia islam mengamanatkan arti penting dari pencatatan setiap perkawinan. Selain berfungsi sebagai tertib administrasi dan perlindungan hokum bagi warga Negara masing-masing, juga mempermudah para pihak terkait dalam melakukan control terhadap pelaksanaan undang-undang perkawinan di sebuah Negara.

8.      Asas (prinsip) Selektivitas
Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan, dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, dan dengan siapa pula dia dilarang menikah.

Drs. Lili Rasyidi, S.H., LL.M. menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia mengenai syarat-syarat perkawinan, yaitu:[7]


1.      Batas Umur Untuk kawin
Di dalam islam tidak terdapat penetapan yang tertentu yang mengatur secara pasti tentang berapakah batas umur seseorang itu boleh melangsungkan perkawinan dikalangan anak-anak yang masih di bawah umur. Perkawinan serupa ini hanya dibenarkan jika dilakukan melalui seorang wali yaitu ayah atau datuk laki-laki. Batas kedewasaan menurut islam diperkirakan di antara umur 15  tahun atau 16 tahun bagi seorang perempuan dan 18 atau 19 tahun bagi seoarang laki-laki. Bagaimanapun belum tercapai kata sepakat di kalangan tokoh-tokoh ahli agama islam sampai batas manakah seseorang itu dapat dianggap dewasa. Di Serawak misalnya menurut ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Mahkamah Melayu Serawak batas umur dewasa itu ditetapkan sekitar 15 tahun. Sedangkan di Sabah yang juga diperlakukan bagi mereka yang beragama islam, ditetapkan batas umur 16 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan.

2.      Persetujuan Kedua Belah Pihak
Dalam perkawinan cara memperoleh persetujuan dari mempelai perempuan biasanya kadhi dengan dihadiri oleh saksi-saksi menanyakanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Persetujuan itu dianggap cukup  jika si mempelai perempuan itu mengagukan kepalanya. Persetujuan ini menurut madzab syafi’I dapat juga diberikan kepada walinya.

3.      Larangan Perkawinan Karena Hubungan Kekeluargaan
Hokum islam melarang perkawinan yang dilakukan antara pihak-pihak berikut:
a.       Yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang dekat, karena hubungan darah  atau karena perkawinan.
b.      Calon laki-laki telah beristeri empat.
c.       Calon mempelai perempuan masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain atau jika telah bercerai/suami meninggal dunia belum selesai masa iddah.
d.      Calon mempelai perempuan itu bukan seorang islam atau ahli kitab.
e.       Antara calon mempelai laki-laki dan perempuan itu merupakan sesusuan serta larangan-larang lainnya.

4.      Mengikut tatacara Perkawinan Yang Ditentukan
Di Malaysia, terdapat berbagai ketentuan yang mengatur pengupacaraan perkawinan ini. Tiap-tiap kerajaan negeri mempunyai enekmen pentadbiranya sendiri yaitu yang telah kita kenal sebagai enekmen pentadbiran undang-undang islam. Di dalam enekmen-enekmen itu dapat dilihat dengan cara bagaimana pengupacaraan perkawinan dapat dilangsungkan serta syarat-syarat pentadbiran apakah yang perlu dipatuhioleh tiap-tiap calon mempelai sebelum akad nikah dilangsungkan.

IV.             Kesimpulan
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alquran dan Alhadist, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hokum melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum islam tahun 1991 mengandung beberapa asas atau prinsip perkawinan, diantaranya yaitu:
1.      Asas Personalitas Keislaman
2.      Asas persetujuan
3.      Asas Kebebasan memilih Pasangan
4.      Asas Kesukarelaan
5.      Asas monogamy terbuka
6.      Asas Untuk Selama-lamanya


V.                Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya susun. Saya sadar makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saran yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin...    

DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad, Hukum islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
Ali, Zainuddin, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Djubaedah, Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Amin Summa, Muhammad, Hukum Keluarga islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Rasidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Alumni, 1982

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam


[1] UU NO. 1 TAHUN 1974 Pasal 1.
[2] Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, 1995 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal. 56.

[4] Zainuddin Ali, Hukum perdata Islam di Indonesia, 2007 (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 7.

[5] Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, 2010 (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 94.
[6] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga islam di Dunia Islam, 2005 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal. 172.
[7] Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, 1982 (Bandung: Alumni), hal. 55-60