Menu

Saturday 19 May 2012

makalah pengantar study islam, kebebasan beragama di indonesia


I.                  PENDAHULUAN

Praktek penistaan terhadap suatu agama, seringkali manjadi pemicu ketegangan hubungan antar umat beragama. Dari sini, gagasan kebebasan, toleransi dan dialog lintas umat beragama menemukan ruang singgungnya. Karena, jika tidak, maka akan melahirkan sikap intoleran, kecurigaan, bahkan anarkisme dan kekerasan. Tema perdamaian dan toleransi antar penganut agama, kadang tak jarang dipersepsikan dengan kebebasan beragama, bahkan dalam praktiknya diartikan mengikuti sekaligus mengakui kebenaran suatu agama, meskipun bukan penganut agama itu. Persepsi dan interpretasi inilah yang justru harus didudukkan, sehingga diharapkan dapat menemui jawaban yang sebenarnya.


II.               RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini, akan membahas mengenai kebebasan beragama. Mengenai masalah tersebut, terdapat perbedaan pendapat dalam memahami makna kata tersebut.

III.           PEMBAHASAN

1.     Fokusing masalah
Kebebasan menjadi slogan yang selalu bergemuruh di pelbagai tempat. Gemuruh kebebasan berjalan seiring bersama gegap gempita reformasi di negeri ini. Dengan bertameng demokrasi, dan berkedok Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan menjadi adagium yang selalu nyaring disuarakan oleh pelbagai kelompok dan komunitas. Genderang kebebasan seolah menjadi intisari dari demokrasi yang cenderung “diperkosa” pengertiannya menjadi bebas tanpa nilai dan batas.
Jika merujuk kepada pengertian sederhananya, dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian[1], yaitu, 1) lepas sama sekali. 2) lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut. 3) tidak dikenakan hukuman dsb. 4) tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan. 5) merdeka. Pengertian kata bebas secara lughah ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, maupun budaya.
Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu. Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan (hurriyah). Dalam kitab al-Mausu’ah al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefenisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral.

2.     Pemetaan pendapat
Pendapat mengenai kebebasan beragama sangat beragam. Pihak yang berdasar UU mengangap bahwa bebas beragama adalah bebas memeluk agama dan melaksanakn serta merekrut orang lain secara mutlak atau bebas. Sedangkan pihak  yang berdasarkan agama islam berpendapat bahwa bebas beragama adalah bebas memilih agama sesuai dengan keyakinan hatinya dan dalam menyebarkan keyakinannya tidak dengan jalan kekerasan atau penipuan.
3.     Paparan argumentasi
1.      HAM
“Demokrasi tanpa kebebasan sipil”, demikian istilah yang melekat untuk Indonesia dengan iklim kehidupan sosial politiknya. Apalagi jika kita menyoroti kondisi kehidupan beragama, kebebasan agaknya merupakan sebuah “barang langka”. Karena melaksanakan sholat dalam dua bahasa Usman Roy harus mendekam dalam penjara, perlakuan yang sama juga dialami oleh Lia Aminuddin sebagai pemimpin “komunitas eden” karena dianggap sebagai nabi palsu. Belum lagi teror fisik dan penyerangan yang dilakukan terhadap Jamaah Ahmadiyah, serta kasus terakhir yang belakangan ini menimpa Ahmad Mushadieq dengan ajaran al-qiyadah al-Islamiyahnya. Seluruh catatan-catatan fenomena tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negeri yang belum cukup longgar terhadap kebebasan beragama. Padahal, Indonesia merupakan negeri pancasila yang mencerminkan “keanekaragaman” dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya.
Jika kita merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya), tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semsetinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malah tidak berguna sama sekali.
Mengapa iklim kebebasan beragam sulit untuk diwujudkan di Indonesia? paling tidak ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis peranan dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang.
Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan kita.
2.      Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948[2]
Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur dalam UDHR yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak kebebasan beragama dalam UDHR, berarti menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental.
Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam UDHR diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”
Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi.
3.      Deklarasi Kairo (DK) 1990[3]
Deklarasi Kairo (DK) merupakan sebuah instrumen hukum HAM internasional yang dibuat oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Deklarasi tersebut dibuat sebagai acuan bagi negara anggota OKI dalam rangka pelaksanaan perlindungan terhadap HAM yang berdasarkan hukum Islam.
Deklarasi Kairo (DK) 1990 merupakan istrumen pengaturan HAM yang berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang mengatur mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik serta hak dan kebebasan ekonomi, sosial dan budaya.
Peraturan mengenai hak kebebasan beragama dalam DK diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami pengertian mengenai hak kebebasan beragama dalam DK kita harus melihat bagian-bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak kebebasan beragama.
Pembukaan DK mengatur sebagai berikut:
“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat Islam. Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.”
HAM dalam Islam merupakan satu kesatuan dari agama, sehingga perlu kiranya umat Islam membuat aturan HAM yang berdasarkan hukum Islam. Salah satu hak yang dijamin dalam DK adalah hak kebebasan beragama, hak tersebut merupakan salah satu hak fundamental yang menjadi perhatian bagi umat Islam.
Pasal 10 DK mengatur sebagai berikut:
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis.”
Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut menyatakan larangan untuk memaksakan suatu agama atau kepercayaan tertentu kepada orang lain. Hal ini didasari dari Al Quran, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 256 :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS:al-Baqarah [2]. 256).
Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tegas menegasikan tindakan pemaksaan untuk memeluk Islam adalah firman Allah SWT,
öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èŠÏHsd 4 |MRr'sùr& çn̍õ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3tƒ šúüÏZÏB÷sãB ÇÒÒÈ  
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS: Yunus [10]. 99)
Surat ini menyatakan tidak ada pemaksaan dalam beragama. Islam melarang seseorang untuk memaksakan agama atau kepercayaan terhadap orang lain, yang diperbolehkan dalam Islam adalah dakwah atau mengajak. Itu pun harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan berbohong atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun.



4.     Dialog argumentasi

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat dua kubu besar, yang satu mendukung kebebasan beragama adalah bebas beragama secara mutlak dan kubu yang lain berpendapat kebebasan beragama adalah bebas memilih agama dan melaksanakan sesuai dengan etika.

5.     Analisis

Persoalan mengenai makna kebebasan beragama memang sangat sulit untuk di selesaikan. Yang terpenting adalah memilih agama sesuai dengan hati dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dipeluk serta menyebarkan agama sesuai dengan adat yang berlaku di daerah bertempat tinggal.

6.     Penyebab terjadinya perbedaan pendapat mengenai kebebasan beragama
Kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan di Indonesia nampaknya juga banyak mendapat sorotan dari dunia internasional. Meskipun belum bisa dijadikan rujukan, data terbaru yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat yang memasukkan Indonesia dalam daftar pelanggaran berat kebebasan beragama bersama Afganistan, Bangladesh, Belarus, Kuba, Mesir, dan Nigeria perlu dicermati ulang. Setidaknya, laporan tahunan yang dirilis pertengahan tahun 2006 ini cukup membuka mata untuk melihat sejauh mana Indonesia telah menjamin hak-hak beragama warganya.
Penghambat Kebebasan Beragama :
1.  Tindakan diskriminatif
Tindakan ini menjadi salah satu sumber permasalahan yang dapat dirasa sangat ekstrem bagi pihak manapun. Karena dalam kasus ini, tindakan ini tidaklah hanya dilakukan oleh beberapa orang saja melainkan suatu organisasi terbesarpun (negara) dapat dengan mudahnya melakukan tindakan penindasan dan paksaan terhadap umat beragama lainnya.Contohnya kita dapat melihat pada masa pemerintahan Adolf Hittler di Jerman. Dalam salah satu praktek mengenai diskriminatif agama, Hittler melakukan pemusnahan dan penyiksaan terhadap penganut agama Yahudi. Hal ini tidak hanya melanggar kebebasan beragama saja tetapi juga melanggar HAM.

2.  Ketidakjelasan Undang-undang
Tidak adanya kejelasan UU suatu negara mengenai kebebasan beragama di negara tersebut juga dapat menjadi penghambat berjalannya kebebasan beragama. Pemerintah seharusnya perlu mensosialisasikan secara rutin mengenai UU ini. Banyak dari masyarakat yang tidak paham akan UU ini. Hal ini pun bisa dijadikan sebagai alasan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab yang ingin merusak persatuan bangsa ini. Perlunya ketegasan dan penggalakan hukum oleh aparat keamanan dan pertahanan negara terhadap para pelanggar untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

3.  Idiologi
Kebebasan beragam cenderung ditafsirkan sebagai kebebasan tanpa batas yang mengakibatkan konflik di masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan dampak negative yang berujung munculnya masyarakat yang fundamentalis (merasa apa yang diyakini oleh kelompoknya benar dan menganggap kelompok lain salah, sehingga menurut perkiraan mereka kelompok lain tersebut patut dihapuskan meskipun harus melalui jalur kekerasan fisik.

4.  PembatasanHak
Hal ini lebih sering terjadi ketika manusia baru dilahirkan, secara otomatis kita akan terlahir bersamaan dengan agama yang akan kita anut. Jadi secara tidak langsung kebebasan dan hak kita untuk memilih agama mana yang menurut kita baik dan sesuai, sudah dihapuskan sejak kita lahir. Dalam hal ini, letak permasalahannya terdapat pada orang tua sebagai tersangka pembatasan kebebasan hak manusia dalam beragama.
7.     Apresiasi
kedua belah pihak yang saling bertentangan mengenai kebebasan beragama mempunyai argumen yang hampir sama kuat. Yang mana argumen masing-masing kubu telah di jelaskan diatas. Dasar mereka berargumen juga sesuai dengan hukum yang telah berlaku di dunia. Setiap kubu juga mempunyai pendukung yang banyak.
8.      NATIJAH (KESIMPULAN)

Berbicara tentang hubungan antar agama, maka membicarakan mengenai pluralisme agama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda bagi setiap orang.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.

            Wacana pluralisme agama adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda, tetapi juga terdapat titik temu secara teologis antara umat-umat beragama. Sesungguhnya tidak ada yang namanya absolutisme agama, itu berarti antar umat beragama tidak bisa menyalahkan ajaran agama orang lain yang dapat dilakukan hanya menghargai agama orang lain. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Agama, terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah.

              Agama memiliki nilai mutlak. Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri bersifat duniawi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia bersifat suniawi, tidak absolut. Yang absolut adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu tidak pasti kebenarannya. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan.
               Dengan kata lain berbagai permasalahan di atas dapat disimpulakan bahwa Sebagai makhluk yang bersifat duniawi, pemahaman dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama lain itu salah maka yang sesungguhnya salah adalah orang tersebut karena secara tidak langsung ia menyalahkan yang Tuhan dan bahkan menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, pengertian dan pemahaman tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.
Seharusnya kita sebagai salah satu bagian dari masyarakat bisa menjalani seluruh hak dan kewajiban kewarganegaraan kita dengan baik tanpa harus mencampuradukannya dengan agama yang kita anut. Karena kedua hal tersebut dapat saling bertentangan. Kehidupan kita di negara ini telah diatur dengan sebagai mana mestinya, begitu juga dengan keberlangsungan hidup beragama menurut kepercayaan masing-masing.
                   Hak kebebasan beragama selalu berpijak pada penghargaan dan penghormatan martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama membawa kepada penghapusan segala bentuk penodaan dan penistaan terhadap kelompok agama, termasuk kelompok agama minoritas. Intinya pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama menjamin terciptanya toleransi dan perdamaian. Selanjutnya, perdamaian menjamin terwujudnya perlakuan setara dan sederajat bagi semua manusia, tanpa perbedaan. Perdamaian mendorong adanya tanggung jawab individual.

9.      PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami  sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, Kajian Lintas Kultural Islam-Barat: Kebebasan Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1997
Sardy, Martin, Agama Multidimensional, Bandung: Penerbit Alumni, 1983






[1] Riyanto, Kajian Lintas Kultural Islam-Barat: Kebebasan Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1997

[3] ibid

No comments: