Menu

Sunday, 25 November 2012

makalah hukum acara pidana tentang penuntut umum


HUKUM ACARA PIDANA
PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu : Briliyan Ernawati

DISUSUN OLEH :
Khikmatul Fauziah               (102111026)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2012
PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
I.                   PENDAHULUAN
            Hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat, yang keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan diakui oleh masyarakat sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupannya. Tujuannya untuk menciptakan ketenteraman di masyarakat. Hukum sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam pembentukan suatu negara, berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat, karena hukum merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta suasana yang aman, tenteram dan damai. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, berarti harus mampu menjunjung tinggi hukum sebagai kekuasaan tertinggi di negeri ini, sebagaimana dimaksud konstitusi kita, Undang-Undang Dasar RI 1945.
            Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 dari Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan antara Jaksa dengan Penuntut Umum. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian
2.      Tugas dan Wewenang
3.      Voeging dan Splitsing
4.      Penghentian dan Penyampingan Penuntutan

 III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian
            Dalam KUHAP dikenal istilah penuntutan yang dijelaskan dalam pasal 1  ayat 7 bahwa, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam pengertian ini dapat diambil satu kriteria yang berkaitan dengan subjek dalam penuntutan yaitu penuntut umum.
            Definisi ini mirip dengan definisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya ialah dalam definisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas ”terdakwa” sedangkan dalam KUHAP tidak disebutkan terdakwa. Penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah menuntut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.[1]
            Dalam KUHAP juga dijelaskan tentang pengertian penuntut umum, dalam pasal 13 KUHAP diterangkan bahwa, Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
            Sebelum melakukan penuntutan, jaksa melakukan suatu tindakan yang disebut pra penuntutan. Dalam hal pra penuntutan, KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci apa pengertian pra penuntutan, hanya menerangkan wewenang jaksa dalam pasal 14 KUHAP butir b, yang berbunyi: mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Mekipun tidak dijelaskan dengan terperinci dalam KUHAP, namun dalam pasal 14 KUHAP butir b dapat diambil sebuah pengertian pra penuntutan yaitu, tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk kepada penyidik dalam rangka penyempurnaan penyidikan.

2.      Tugas dan Wewenang
            Dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Replubik Indonesia, pasal 2 menyatakan sebagai berikut :
                                i.            Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
                              ii.            Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan secara merdeka.
                            iii.            Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan.[2]
            Dalam melakukan tugas, penuntut umum mempunyai wewenang dan tugas yang sudah dijelaskan dalam KUHAP, diantaranya :
1.         Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat 1) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.
2.         Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
3.         Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
4.         Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat 20), melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat 2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat 2, penahanan kota (Pasal 22 ayat 3), serta mengalihkan jenis penahanan.
5.         Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).
6.         Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat 1).
7.         Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat 4), mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat 1), dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74).
8.         Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
9.         Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat 1).
10.     Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
11.     Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum (Pasal 14 huruf i)
12.     Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat 1).
13.     Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a), dikarenakan :
·         Tidak terdapat cukup bukti
·         Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
·         Perkara ditutup demi kepentingan umum.
14.     Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat 2 huruf d).
15.     Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan (Pasal 141).
16.     Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142).
17.     Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal 143)
18.     Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat 2)
19.     Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).[3]

3.      Voeging dan Splitsing
A.                 Penggabungan Perkara (Voeging)
            Dalam hukum acara pidana salah satu tugas penuntut umum adalah melakukan penggabungan perkara. Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dlam satu surat dakwaan.[4]
            Menurut pasal 141 KUHAP dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan penggabungan perkara pidana :
            Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a.      beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b.      beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain
c.       beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
            Dalam suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut (hubungan) dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
                                                        i.            Oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat bersamaan
                                                      ii.            Oleh lebih dilakukan dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan merupakan pelaksanaan dari kesepakatan tindak pidana yang dibuat oleh mereka.
                                                    iii.            Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang digunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.[5]

B.                 Pemisahan Perkara (Splitsing)
            Pada dasarnya pemisahan berkas perkara disebabkan faktor pelaku tindak pidana. Sesuai dengan bunyi Pasal 142[6] :
            Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”
            Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memisah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :
                                                            i.            Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa perkas perkara.
                                                          ii.            Pemisahan dilakukan apabila dalam kasus pidana tersebut terdirir beberapa orang pelaku. Dengan pemisahan berkas tersebut, masing-masing tersangka didakwa dengan satu surat dakwaan.
                                                        iii.            Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan dalam satu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa  dalam persidangan yang berbeda.
                                                        iv.            Pada umumnya, pemisahan berkas perkara sangat penting, apabila dalam perkara tersebut kurang barang bukti dan saksi.[7]
            Maka dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi.
Sebagai ilustrasi, contoh kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang menurut Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap kasus pembunuhan Marsinah (MA Reg. No. 1174/Pid./1974) menyatakan bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi. Alasannya : “... para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjujung tingga hak asasi manusia...”.[8]
            Bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota (kroongetuide). Saksi mahkota berarti salah seorang terdakwa (paling ringan kesalahannya) dijadikan menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa. Hal ini dibolehkan berdasarkan adigium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa.[9]

4.      Penghentian dan Penyampingan Penuntutan
            Dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
            Di Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas dan asas Oportunitas. Adapun yang dimaksud asas Legalitas adalah bahwa apabila terjadi suatu tindakan pidana maka sudah menjadi kewajiban penutu umum untuk melakukan penuntutan ke pengadilan bagi peaku tindak pidana tersebut. Sebagai lawanya adalah asas oportunitas, yang menghendaki meskipun bukti-bukti yang dikumpulkan cukup untuk menjerat tersangka ke pengadilan namun penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian daripada keuntungan untuk kepentingan umum dengan menuntut tersangka daripada meuntutnya, maka penuntut umum wajib untuk mengenyampingkannya (seponeren).[10]
            Asas oportunitas tersebut sekarag dicantumkan dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Jkasa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum. Didalam pasal itu dijelaskan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas.[11]
            Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum. Adapun yang dimaksud perkara ditutup demi hukum ialah mislanya karena adanya pencabuta pengaduan dlam delik aduan (pasal 75 KUHP), ne bis in idem (paal 76 KUHP), terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP), perkara sudah kadaluwarsa (pasal 78 KUHP).[12]
            Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik perbedaan antara pengeyampingan perkara (seponeren) dan enghentian perkara sebagai berikut:
a.       Dalam penyampingan perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa ke muka sidang pengadilan. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penutut umum atas alasan demi “kepentingan umum” slanjutnya `dikatakan mengeyampingan perkara ini merupakn pelaksanaan asas oportunitas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat badan negara yang bersangkutan dnegan masalah tersebut. Selain itu dalam penyampingan perkara apabila sudah dilakuakn penyampingan perkara maka tidak ada alasan untuk mnegajukan perkara kembali ke muka sidang pengadilan. [13]
b.      Sedang pada penghentian penuuntutan alasanya bukan didasrakan pada kepentingan umum akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri.
                                                                                i.            Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke sidang pengadilan maka diduga kuat bhwa terdakwa kan dibebaskan oleh hakim.
                                                                              ii.            Apa yang dituduhkan pada tersangka bukan merupakan suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
                                                                            iii.            Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum.
                                                                            iv.            Perkara yang dihentiakan penuntutunya, masih memungkinkan perkaranya dilimpahkan ke muka sidang pengadilan.
                                                                              v.            Umpamanya ditemukan buti baru sehingga denga bukti baru tersebuat dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa.[14]

 IV.            SIMPULAN
            Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
            Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dlam satu surat dakwaan.
            Pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi.
            Dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Di Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas dan asas Oportunitas.
            Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum.


    V.            DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar
Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP
(penyidikan dan penuntutan). Jakarta: (Sinar Grafika).
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1981
Sutarto, Suryono. 2005. Hukum Acara Pidana Jilid I (cetakan ke-IV). Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.


[1] Andi hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 162
[2] Suryono Sutarto. 2005. Hukum Acara Pidana Jilid I (cetakan ke-IV). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hal. 86
[3] KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
[4] Suryono sutarto, op. cit.,hal. 99
[5] Suryono sutarto, op. cit., hal.  99-100
[6] KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
[7] M. Yahya harahap. 2000. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP (penyidikan dan penuntutan). Jakarta: (Sinar Grafika). hal.  431
[8] Andi hamzah, Op.cit., hal. 166
[9] Andi hamzah, Op.cit., hal. 166
[10] Suryono sutarto, op. cit., hal. 102
[11] Suryono sutarto, Ibid.,hal. 103
[12] Suryono sutarto, Ibid.,hal. 105
[13] M. Yahya Harahap, Op. cit., hal.425-427
[14]  M. Yahya Harahap, Ibid., hal.427

No comments: