HUKUM ACARA PIDANA
PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu : Briliyan Ernawati
DISUSUN OLEH :
Khikmatul Fauziah (102111026)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2012
PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA
PIDANA
I.
PENDAHULUAN
Hukum merupakan kumpulan
kaidah-kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat, yang
keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan diakui oleh masyarakat sebagai
pedoman tingkah laku dalam kehidupannya. Tujuannya untuk menciptakan ketenteraman di masyarakat.
Hukum sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam pembentukan suatu negara,
berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat, karena hukum merupakan alat
pengendalian sosial, agar tercipta suasana yang aman, tenteram dan damai.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, berarti harus mampu menjunjung
tinggi hukum sebagai kekuasaan tertinggi di negeri ini, sebagaimana dimaksud
konstitusi kita, Undang-Undang Dasar RI 1945.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1
angka 6 dari Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan antara Jaksa dengan
Penuntut Umum. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian
2. Tugas dan Wewenang
3. Voeging dan Splitsing
4. Penghentian dan Penyampingan Penuntutan
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Dalam KUHAP dikenal istilah
penuntutan yang dijelaskan dalam pasal 1
ayat 7 bahwa, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam pengertian ini dapat diambil
satu kriteria yang berkaitan dengan subjek dalam penuntutan yaitu penuntut umum.
Definisi
ini mirip dengan definisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya ialah dalam
definisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas ”terdakwa” sedangkan dalam
KUHAP tidak disebutkan terdakwa. Penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah
menuntut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara
seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya
hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.[1]
Dalam
KUHAP juga dijelaskan tentang pengertian penuntut umum, dalam pasal 13 KUHAP
diterangkan bahwa, Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Sebelum
melakukan penuntutan, jaksa melakukan suatu tindakan yang disebut pra
penuntutan. Dalam hal pra penuntutan, KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci
apa pengertian pra penuntutan, hanya menerangkan wewenang jaksa dalam pasal 14
KUHAP butir b, yang berbunyi: mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan
pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Mekipun tidak dijelaskan dengan terperinci dalam KUHAP, namun dalam pasal 14
KUHAP butir b dapat diambil sebuah pengertian pra penuntutan yaitu, tindakan
penuntut umum untuk memberi petunjuk kepada penyidik dalam rangka penyempurnaan
penyidikan.
2. Tugas dan Wewenang
Dalam
pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Undang-undang No.
16 tahun 2004 tentang kejaksaan Replubik Indonesia, pasal 2 menyatakan sebagai
berikut :
i.
Kejaksaan Republik Indonesia yang
selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan Undang-undang.
ii.
Kekuasaan Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan secara merdeka.
iii.
Kejaksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan.[2]
Dalam
melakukan tugas, penuntut umum mempunyai wewenang dan tugas yang sudah
dijelaskan dalam KUHAP, diantaranya :
1.
Menerima pemberitahuan dari
penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat 1) dan pemberitahuan baik dari
penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b
mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.
2.
Menerima berkas perkara dari
penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat
(3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara
langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
3.
Mengadakan pra penuntutan (Pasal
14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4)
dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
4.
Memberikan perpanjangan penahanan
(Pasal 124 ayat 20), melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat
2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal
22 ayat 2, penahanan kota (Pasal 22 ayat 3), serta mengalihkan jenis penahanan.
5.
Atas permintaan tersangka atau
terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan
penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan
(Pasal 31).
6.
Mengadakan penjualan lelang benda
sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai
putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk memperoleh putusan pengadilan
yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal
45 ayat 1).
7.
Melarang atau membatasi kebebasan
hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka akibat disalahgunakan haknya
(Pasal 70 ayat 4), mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka
tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat 1), dan dalam
kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan isi
pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2). Pengurangan
kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut dilarang
apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk
disidangkan (Pasal 74).
8.
Meminta dilakukan pra peradilan
kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah
untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara
horizontal.
9.
Dalam perkara koneksitas, karena
perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan
selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan
yang berwenang (Pasal 91 ayat 1).
10. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah
memenuhi persyaratan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab selaku Penuntut Umum (Pasal 14 huruf i)
12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat
dakwaan (pasal 140 ayat 1).
13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140
ayat (2) huruf a), dikarenakan :
·
Tidak terdapat cukup bukti
·
Peristiwa tersebut bukan merupakan
tindak pidana
·
Perkara ditutup demi kepentingan
umum.
14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan
penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat 2 huruf d).
15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu
surat dakwaan (Pasal 141).
16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas
perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang
tersangka (Pasal 142).
17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai
surat dakwaan (Pasal 143)
18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat 2)
19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan
penuntutan, Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang
dimulai (Pasal 144).[3]
3. Voeging dan Splitsing
A.
Penggabungan Perkara (Voeging)
Dalam
hukum acara pidana salah satu tugas penuntut umum adalah melakukan penggabungan
perkara. Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang
pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut
umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan
perkara dan membuatnya dlam satu surat dakwaan.[4]
Menurut
pasal 141 KUHAP dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan penggabungan perkara
pidana :
“Penuntut
umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima
beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang
sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan
yang lain
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu
dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,
yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Dalam
suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut (hubungan) dengan yang
lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
i.
Oleh lebih seorang yang bekerja
sama dan dilakukan pada saat bersamaan
ii.
Oleh lebih dilakukan dari seorang
pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan merupakan pelaksanaan
dari kesepakatan tindak pidana yang dibuat oleh mereka.
iii.
Oleh seorang atau lebih dengan
maksud mendapatkan alat yang digunakan melakukan tindak pidana lain atau
menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.[5]
B.
Pemisahan Perkara (Splitsing)
Pada
dasarnya pemisahan berkas perkara disebabkan faktor pelaku tindak pidana.
Sesuai dengan bunyi Pasal 142[6]
:
“Dalam
hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
masing-masing terdakwa secara terpisah.”
Apabila
terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memisah berkas
perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :
i.
Berkas yang semula diterima
penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa perkas perkara.
ii.
Pemisahan dilakukan apabila dalam
kasus pidana tersebut terdirir beberapa orang pelaku. Dengan pemisahan berkas
tersebut, masing-masing tersangka didakwa dengan satu surat dakwaan.
iii.
Pemeriksaan perkara dalam
persidangan dilakukan dalam satu persidangan. Masing-masing terdakwa
diperiksa dalam persidangan yang
berbeda.
iv.
Pada umumnya, pemisahan berkas
perkara sangat penting, apabila dalam perkara tersebut kurang barang bukti dan
saksi.[7]
Maka
dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri
antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan
sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam
satu berkas dan pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak
dapat dijadikan saksi.
Sebagai ilustrasi, contoh kasus
pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang menurut Mahkamah Agung dalam putusannya
terhadap kasus pembunuhan Marsinah (MA Reg. No. 1174/Pid./1974) menyatakan
bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi. Alasannya : “...
para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan
dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana
yang menjujung tingga hak asasi manusia...”.[8]
Bergantian
menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota (kroongetuide). Saksi mahkota
berarti salah seorang terdakwa (paling ringan kesalahannya) dijadikan menjadi
saksi, jadi seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa. Hal ini
dibolehkan berdasarkan adigium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam
penuntutan terdakwa.[9]
4. Penghentian dan Penyampingan Penuntutan
Dalam
pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan
untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
Di
Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas
Legalitas dan asas Oportunitas. Adapun yang dimaksud asas Legalitas adalah
bahwa apabila terjadi suatu tindakan pidana maka sudah menjadi kewajiban penutu
umum untuk melakukan penuntutan ke pengadilan bagi peaku tindak pidana
tersebut. Sebagai lawanya adalah asas oportunitas, yang menghendaki meskipun
bukti-bukti yang dikumpulkan cukup untuk menjerat tersangka ke pengadilan namun
penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian daripada keuntungan
untuk kepentingan umum dengan menuntut tersangka daripada meuntutnya, maka
penuntut umum wajib untuk mengenyampingkannya (seponeren).[10]
Asas
oportunitas tersebut sekarag dicantumkan dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa
Jkasa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengeyampingkan perkara demi
kepentingan umum. Didalam pasal itu dijelaskan yang dimaksud dengan kepentingan
umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas.[11]
Dalam
pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut
umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan
merupakan tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum. Adapun yang
dimaksud perkara ditutup demi hukum ialah mislanya karena adanya pencabuta
pengaduan dlam delik aduan (pasal 75 KUHP), ne bis in idem (paal 76
KUHP), terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP), perkara sudah kadaluwarsa
(pasal 78 KUHP).[12]
Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik perbedaan antara pengeyampingan perkara (seponeren)
dan enghentian perkara sebagai berikut:
a. Dalam penyampingan perkara yang bersangkutan memang cukup
alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa ke muka sidang pengadilan. Akan
tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak
dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penutut umum atas alasan demi “kepentingan
umum” slanjutnya `dikatakan mengeyampingan perkara ini merupakn pelaksanaan
asas oportunitas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah
memperhatikan saran dan pendapat badan negara yang bersangkutan dnegan masalah
tersebut. Selain itu dalam penyampingan perkara apabila sudah dilakuakn
penyampingan perkara maka tidak ada alasan untuk mnegajukan perkara kembali ke
muka sidang pengadilan. [13]
b. Sedang pada penghentian penuuntutan alasanya bukan
didasrakan pada kepentingan umum akan tetapi semata-mata didasarkan kepada
alasan dan kepentingan hukum itu sendiri.
i.
Perkara yang bersangkutan tidak
mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke sidang
pengadilan maka diduga kuat bhwa terdakwa kan dibebaskan oleh hakim.
ii.
Apa yang dituduhkan pada tersangka
bukan merupakan suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
iii.
Alasan ketiga dalam penghentian
penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum.
iv.
Perkara yang dihentiakan
penuntutunya, masih memungkinkan perkaranya dilimpahkan ke muka sidang
pengadilan.
v.
Umpamanya ditemukan buti baru
sehingga denga bukti baru tersebuat dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa.[14]
IV.
SIMPULAN
Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.
Pada
umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun
apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima
berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dlam satu surat dakwaan.
Pemecahan
berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang
terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi
secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan
pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan
saksi.
Dalam
pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan
untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Di Bidang
Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas dan
asas Oportunitas.
Dalam
pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut
umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan
merupakan tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah,
Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar
Grafika.
Harahap,
M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP
(penyidikan dan penuntutan). Jakarta: (Sinar Grafika).
KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1981
Sutarto,
Suryono. 2005. Hukum Acara Pidana Jilid I (cetakan ke-IV). Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
[1] Andi hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta:
Sinar Grafika. Hal. 162
[2] Suryono Sutarto. 2005. Hukum Acara Pidana Jilid I (cetakan ke-IV).
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hal. 86
[3] KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981
[4] Suryono sutarto, op. cit.,hal. 99
[5] Suryono sutarto, op. cit., hal. 99-100
[6] KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981
[7] M. Yahya harahap. 2000. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP
(penyidikan dan penuntutan). Jakarta: (Sinar Grafika). hal. 431
[8] Andi hamzah, Op.cit., hal. 166
[9] Andi hamzah, Op.cit., hal. 166
[10] Suryono sutarto, op. cit., hal. 102
[11] Suryono sutarto, Ibid.,hal. 103
[12] Suryono sutarto, Ibid.,hal. 105
[13] M. Yahya Harahap, Op. cit., hal.425-427
[14] M. Yahya Harahap, Ibid.,
hal.427
No comments:
Post a Comment