PRINSIP KETUHANAN, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN DALAM HUKUM
PENYELENGGARAAN NEGARA
I.
PENDAHULUAN
Suatu
kenyataan yang sosio historis bahwa masalah yang pertama-tama muncul dalam
Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW bukanlah masalah teologi, melainkan justru masalah
politik, meskipun pada akhirnya persoalan politik ini menjelma menjadi
persoalan teologis.[1]
Problem mengenai politik dalam Islam ini seperti dilukiskan oleh Al-Syahrastani
(479-548) sebagai pertentangan paling besar (Al-fitnah al kubra)
dikalangan umat Islam.
Salah
satu persoalan yang menjadi wacana dimasa lalu hingga masa kini yaitu yang
terkait antara agama dengan negara. Ada yang mengatakan bahwa agama hanya
berurusan dengan kehidupan spiritual saja, tanpa ada pengaruhnya dalam
persoalan masyarakat dan negara.
Terlepas
dari persoalan itu sesunggugnya agama dengan negara
ada kaitannya meskipun negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu
ekstensi dari agama.
II.
RMUSAN
MASALAH
1.
Prinsip
Ketuhanan
2.
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
III.
PEMBAHASAN
A.
Prinsip
Ketuhanan
1.
Cita
Ketuhanan dan Demokrasi
Sejarah
ketatanegaraan dimasa lalu telah mengajarkan kepada kita bahwa umat manusia
tidak pernah berhenti memikirkan hubungan antara prinsip ketuhanan dengan
persoalan kenegaraan. Seperti dalam sejarah bangsa-bangsa Eropa yang
beranggapan bahwa tuhan diwujudkan dalam diri raja, sehingga pengertian
kedaulatan raja dam kedaulatan tuhan berhimpit satu sama lain, yang kemudian
dikenal sebagai konsep teokrasi. Raja berkuasa sangat absolut.
Dalam
sistem teokrasi yang absolut demikian,
akal dan kebebasan manusia terkungkung secara ketat. Oleh karena itu dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan yang terus meningkat dari waktu ke waktu muncul
reaksi untuk mengatasi dominasi penguasa yang mengatasnamakan tuhan yang
absolut tersebut. Reaksi masyarakat absolut itulah yang kemudian melahirkan
gerakan sekulerisme.[2]
Salah
satu kesimpulan yang dapat dicatat dari pengalaman sejarah ialah bahwa wilayah
kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan
satu sama lain, tetapi tidak bgitu mudah dipisahkan satu sama lain secara ketat
dan kaku. Dalam sejarah dunia Islam, termasuk juga Islam di indonesia, konsep
raja-raja atau raja pendeta juga ada yaitu ketika konsep khalifah ar Rasul yang
rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan
sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun menurun.
Ketika
perkataan khalifah Ar Rasul sebagai konsep politik disalah pahami dan
dicampur adukan pengertiannya dengan
perkataan khalifah Allah sebagai khalifah filosofis. Khalifah ar
rasul adalah pengganti rasul setelah nabi meninggal dunia. Sedangkan khalifah
Allah artinya konsep yang berkenaan dengan kedudukan setiap individu
manusia sebagai pengganti atau bayangan tuhan di muka bumi, karena diidentikan
dengan khalifah Allah, maka para penguasa yang menyandang predikat sebagai
khalifah menganggap dirinya sebagai wakil tuhan untuk memimpin negara. Padahal
konsep-konsep kemaha esaan tuhan (tuhan sebagai pemegang kedaulatan/kekuasaan
tertinggi), konsep kemufakatan dan konsep musyawarah merupakan prinsip-prinsip
pokok yang sangat penting dalam sistem moral dan sosial seperti yang sudah
dicontohkan oleh empat khalifah pertama (Al Khulafau Rasyidin) yang
diselewengkan menjadi sistem keturunan.[3]
Dalam dinamika
kekuasaan dengan konsep-konsep kepemimpinan raja-dewa, raja-pendeta, raja-nabi
dan khalifah ar rasul ataupun khalifatullah yang disalah artikan
tersebut diatas kurang lebih sama saja pada hakikatnya sama-sama bersifat
teokratis seperti yang pernah dialami oleh
bangsa Eropa yang pernah diatasi dengan konsep sekulerisme dalam sejarah Barat,
namun terlepas dari perdebatan mengenai soal sekularisme itu, bangsa Indonesia
justru menganut paham kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa sekaligus dengan paham
kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dalam satu kesatuan sistem
konstitusional yang moderen. Bangsa indonesia mewujudkan paham kedaulatan itu
dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Pandangan
demikian kiranya lebih sesuai dengan prinsip tauhid menurut ajaran agama Islam
yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dan sejalan pula dengan
prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama pancasila. Dalam ajaran
tauhid, tuhan dipahami sebagai Dzat Yang maha Esa, tidak ada contoh yang
menyamainya dalam kehidupan Ia dzat yang suci dan mutlak. Karena itu diyakini
hanya Allah sajalah yang bersifat maha kuasa sedangkan makhluknya relatif dan
nisbi serta lemah dan tidak berkuasa. Semua manusia sama kedudukannya diantara
sesama semuanya lemah, tetapi sekaligus semuanya sama-sama kuat karena
dianugerahi oleh Allah sebagai Khalifatullah fil ardh.
Oleh
sebab itu, adanya keyakinan bahwa Allah maha kuasa menyebabkan berkembangnya
dokotrin persamaan manusia/paham egalitirianisme dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam andangan tauhid setiap manusia adalah khalifah Allah, maka setiap orang
kata Nabi adalah pemimpin yang mempunyai tanggung jawab dibidangnya
masing-masing seperti yang tertuang dalam hadits berikut :
عن ابن عمر رضي الله
عنهماان رسول الله ص م يقول كلكم ر اع وكلكم منسول عن رعىته الاءمام راع ومنسول عن
رعيته وا لرجل راع في اهله وهو منسول عن رعيته والمرءة راعيته في بىت زوجها ومنسولة
عن رعيتها والخادم راع في ما ل سيد ه ومنسول عن رعيته وكلكم راع ومنسول عنرعيته
Artinya: Dari Umar R.A sesungguhnya Rasul bersabda:
kalian adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban. Penguasa adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, suami
adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya, istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, pelayan adalah pemimpin dalam
mengelolaharta tuannya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya.
Dengan
demikan sistem konstitusional Indonesia adalah paham kedaulatan rakyat dan
sekaligus kedaulatan hukum.
2.
Hukum
dan Persoalan Syariat Islam
Prinsip
Ketuhanan Yang maha Esa, pertama-tama dirumuskan sebagai sebagai salah satu
dasar kenegaraan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kalimat
pembukaan itu dinyatakan “.....berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” awaknya
berasal dari perkataan “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islambagi
pemeluk-pemeluknya”. Dalam rumusan piagam Jakarta. Perubahan dalam rumusan tersebut kemudian diadopsikan sebagai
rumusan naskah pembukan Undang-Undang Dasar 1945 dengan mencoret tujuh kata
tersebut diatas. Kaerna hal itu menyebabkan perdebatan dan kesalahpahaman
dikalangan rakyat Indonesia yang memeluk agama berbeda-beda.
Dikalangan masyarakat luas
sekurang-kurangnya ada tiga kelompok pendapat mengenai soal ini.
Pertama, kelompok
yang berpendapat bahwa pencoretan itu terjadi karena pertimbangan untuk
memelihara persatuan diantara sesama warga bangsa yang menganut berbeda-beda
agama.[4]
Pandangan kelompok ini cenderung bersifat sangat pragmatis dan berusaha untuk
tidak hitam putih dalam memahami permasalahan.
Kedua., kelompok
yang berpendapat bahwa pemberlakuan syari,at Islam dikalangan masyarakat yang
mayoritas penduduknya menganut agama Islam merupakan kewajiban yang mutlak
sifatnya.[5]
Kelompok yang kedua ini cenderung sangat idealis dan bahkan cenderung memandang
persoalannya dari sudut pandang ideologi.
Ketiga, kelompok
yang berpendapat lebih realistis. Syariat Islam itu memang harus dan wajib
diberlakukan dan bahkan sesungguhny ia memang berlaku sampai kapanpun
dikalangan umat islam. Kedudukan
syari’at Islam tidaklah perlu diperjuangkan lagi secara politik, karena dengan
sendirinya sudah berlaku seiring dengan dianutnya ajaran Islam oleh sebagian
besar penduduk Indonesia.
Kesimpulannya
ketentuan dari tujuh kata itu, sama sekali tidak berarti Indonesia telah
terbentuk negara Islam dengan Piagam Jakarta. Karena dasar negara Islam telah
ditolak, maka dengan tujuh kata itu hanya dapat diartikan bahwa hukum Islam
berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagaimana halnya poitik hukun Hindia
Belanda sebelum tahun 1929. Salah paham yang kemuidian terjadi sebenarnya tidak
perlu dengan menghapuskan ketuuh kata dalam Piagam Jakarta itu, tetapi cukup
dengan mengubahnya dengan tujuh kata baru yang berbunyi “....dengan kewajiban
menjalankan ketentuan agama bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan baru itu berarti
bahwa pemeluk agama Islam wajib menjalakan hukum Islam, pemeluk agama kristen
wajib menjalankan hukum kristen, pemeluk agama Hindu wajib menjalankan Hukum
Hindu, dan pemeluk agama Budha wajib menjalankan hukum Budha.[6]
B.
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
1.
Hak dan
Kewajiban Asasi Manusia
Ketentuan mengenai
hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat
dalam Undang-Undang Dasar. Berikut ini materi dari rumusan Undang-Undang Dasar
yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia :
1)
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.[7]
2)
Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.[8]
3)
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan
dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
4)
Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat deskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
5)
. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih tmpat
tinggal diwilyah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
6)
Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan
hati nuraninya.
7)
Setiap orang berhak untuk berkumpul, berserikat
dan mengeluarkan
pendapat.
8)
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya serta setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
sarana yang tersedia.
9)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya serta Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram
serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
10) Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat
martabat kemanusiaannya dan berhak memperoleh suaka politik I dari
negara lain.
11) Setiap
warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta
untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
Untuk mengimbangi adanya hak asasi manusia diperlukan
juga adnya kewajiban yang harus ditanggung oleh setiap warga negara Indonesia,
diantaranya adalah:
1)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orng lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh UU dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai
agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat
yang demokratis.
3)
Negara bertanggung jawab atas perlindungan,
pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban
asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai
manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.
Keadilan dan Keadaban
Dalam
rumusan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, prinsip
kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang adil yang langsung
dirangkaikan dengan kata beradab, karena sifat adil itu merupakan sifat
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Qs. Al Baqarah:11,193,251).
Secara
empirik keadilan juga sangat berdekatan dengan keadaban (civility) sifat
berkeadilan dan berkeadaban merupakan konsekuensi logis dari tingginya kualitas
ketakwaan suatu masyarakat.[9] Peradaban tidak mungkin tumbuh dalam struktur sosial
yang tidak berkeadilan. Begitu juga tidak akan ada keadilan jika peradaban
dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa tidak berkembang. Oleh karena itu,
dalam upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat, penting
untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Kaitannya dengan hukum keadilan merupakan konsekuensi
sistem hukum di Indonesia menganut paham legal realism-plus atau
Rechtsvinding-plus, adalah adanya keharusan setiap hakim untuk mengedepankan
terwujudnya keadilan masyarakat. Sebagai pemberi putusan yang pertanggung
jawaban utamanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemudian juga kepada bangsa dan
negara, hakim disamping juga harus behati-hati juga hendaknya mengedepankan dan
berorientasi pada kepentingan umat, bukan untuk kepentinan perorangan.[10]
Tuntutan keadilan dalam sistem hukum Indonesia diatas
merupakan tuntutan keadilan masyarakat dapat dibaca didalam penjelasan bahwa
dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis, serta berada
dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun
ketengah-tengah masyarakar untuk mengenal , merasakan, dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam hidup masyarakat. Dengan
demikian hakim dapat memberi putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
IV.
KESIMPULAN
Dari
uraian makalah diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip ketuhanan dalam hukum
penyelenggaraan negara adalah prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila
pertama pancasila dengan sistem konstitusional paham kedaulatan rakyat dan
sekaligus kedaulatan hukum.
Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab,memegang
teguh hak asasi manusia yang tertuang dalam undang-undang tentang hak asasi
manusia.
Dan prinsip keadilan tertuang dalam sila kedua
pancasila kemanusiaan yang adil dan beradab, prinsip
kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang adil yang langsung
dirangkaikan dengan kata beradab, karena sifat adil itu merupakan sifat
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Qs. Al Baqarah:11,193,251).
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan
untuk menyempurnakan pembuatan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin
DAFTAR
PUSTAKA
Yusdani, Fiqih
Politik Muslim, Doktrin, Sejarah dan Pemikirannya, Asmara Book:Yogyakarta,
th. 2011
Asshiddiqie Jimly, Jakarta: Setjen dan
Kepaniteraan MKRI, Th. 2006
Prof. Dr. Suny Ismail, S.H., M.C.L, dkk,
Hukum Islam di Indonesia, Bandung:PT Rosda Karya, Th.1991
PRINSIP KETUHANAN, KEMANUSIAAN, DAN KEADILAN DALAM HUKUM
PENYELENGGARAAN NEGARA
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Politik Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu
: DR. Ali Imron
Disusun oleh:
Musta’in (102111047)
Nizam Rulista Al Ghifari (102111049)
Umi Sakinah (102111063)
Andriana Maulaningrum (102111072)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
[1] Yusdani, Fiqih Politik Muslim, Doktrin,
Sejarah dan Pemikirannya, Asmara Book:Yogyakarta, th. 2011, hal. 1
[2] Jimly Asshiddiqie, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Th. 2006,
hal.86
[3] Idem
[4] Idem, hal.93
[5] Idem, hal.97
[6] Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., M.C.L, dkk, Hukum Islam di Indonesia,
Bandung:PT Rosda Karya, Th.1991, hal. 75
[7] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945
[9] Jimly Asshiddiqie, Loc Cit, hal.
[10] Yusdani, hal.294
No comments:
Post a Comment