Menu

Friday, 1 November 2013

makalah Asbab Al-Nuzul/Asbab Al-Wurud Dan Implikasinya Dalam Pemahaman Maqashid Al-Syari’ah




ASBAB AL-NUZUL/ASBAB AL-WURUD DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMAHAMAN MAQASHID AL-SYARI’AH

I.                  PENDAHULUAN
Al-Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW. diyakini oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam. Kedua sumber ini tidak hanya dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan saja, tetapi juga disebarluaskan ke berbagai lapisan masyarakat.
Seluruh ayat yang terhimpun dalam mushaf Al-Quran tidak dipermasalahkan oleh umat Islam tentang periwayatannya. Seluruh lafazh yang tersusun dalam setiap ayat tidak pernah mengalami perubahan, baik pada zaman Nabi maupun sesudah zaman Nabi. Jadi kajian yang banyak dilakukan oleh umat Islam terhadap Al-Quran adalah kandungan dan aplikasinya, serta yang berhubungan dengannya.
Oleh karena itu, Al-quran diyakini oleh umat Islam sebagai firman Allah yang telah teruji reputasi kemukjizatannya. Al-Quran juga telah mengikis habis keraguan orang-orang akan kehebatannya dengan bukti-bukti yang telah diuji coba di hadapan orang-orang yang tidak memercayainya dan ternyata mereka tidak mampu menandinginya. Hal ini diungkapkan oleh Al-Quran:

@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ    
Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

Untuk hadist Nabi, yang dikaji tidak hanya kandungan dan aplikasi petunjuk serta yang berhubungan dengannya, tetapi juga Asbab Al-Wurudnya. Penelitian diperlukan karena hadist yang sampai kepada umat Islam telah melalui jalan periwayatan yang panjang, sepanjang perjalanan sejarah kehidupan umat Islam. Di samping itu, perjalanan hadist yang disampaikan dari generasi ke generasi, memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke dalam periwayatan itu, baik unsur sosial maupun budaya dan masyarakat generasi periwayatan hadist itu hidup.
Pengetahuan tentang maqashid syari’ah adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Quran dan As-Sunnah. Maqashid al-syariah sebagai tujuan Allah dan rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam, sehingga ayat dan hadis yang jumlahnya terbatas secara kuantitatif dapat dikembangkan untuk merespon pelbagai permasalahan yang tidak terbatas. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad.

II.               RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan membahas tentang Asbab Al-Nuzul/Asbab Al-wurud dan implikasinya dalam pemahaman maqashid al-syari’ah. Pembahasan tersebut terbagi dalam beberapa poin berikut:
A.                Maqashid Al-Syari’ah
B.                 Asbab Al-Nuzul
C.                 Asbab Al-Wurud
D.                Implikasi Asbab Al-Nuzul dan/atau Asbab Al-Wurud Dalam Pemahaman  Maqashid Al-Syari’ah






III.           PEMBAHASAN
A.                Maqashid Al-Syari’ah
Maqashid, jamak dari maqshid, berarti tujuan[1]. Syariah berarti syariat, jadi berarti tujuan- tujuan syariat. Maqashid al-syariah, menurut Allal al-Fasi dapat didefinisikan sebagai rahasia-rahasia yang diletakkan oleh Syari’ di setiap hukum yang ditetapkan.[2]
Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad. Misalnya, syara mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan menegakkan agama Allah. Juga disyariatkan hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyariatkannya hukuman pencurian untuk memelihara harta seseorang, disyariatkannya hukuman khamr untuk memelihara akal, dan disyaraiatkan hukuman qishash untuk memelihara jiwa seseorang. Dengan demikian, setiap hukum itu mengandung kemaslahatan bagi umat manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[3]
Dalam menjaga kemaslahatan manusia, setiap mujtahid dalam mengistinbatkan hukum dari suatu kasus yang sedang dihadapi, harus berpatokan kepada tujuan-tujuan syara’ dalam mensyariatkan hukum, sehingga hukum yang akan ditetapkannya dapat sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok, seorang mukallaf akan mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[4]
Peran maqashid al-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam tidak dapat dipandang sebelah mata. Banyak ulama menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah, sudah ada petunjuk yang mengacu kepada peranan penting maqashid al-syariat dalam pembentukan hukum Islam. Seperti tindakan Rasulullah yang pernah melarang ziarah kubur, lalu kemudian beliau membolehkan. Larangan Rasulullah untuk berziarah kubur disebabkan oleh kekhawatiran akan ada pemujaan yang berlebihan terhadap roh-roh orang yang dikubur atau kultus individu roh. Pada masa awal Islam, iman kaum Muslim masih belum kokoh. Banyak hal yang masih tercampur dengan kebiasaan dan budaya jahiliyyah. Ketika situasi berubah dan tingkat keimanan umat Islam telah kuat, praktik ziarah kubur akhirnya diijinkan karena illatnya, yakni kemungkinan penyalahgunaan ziarah, tak ditemukan lagi.


B.                 Asbab Al-Nuzul
Dipandang dari segi peristiwa nuzul-nya, ayat Al-Quran ada dua macam. Pertama, ayat yang diturunkan tanpa ada keterkaitanya dengan sebab tertentu, tetapi semata-mata sebagai hidayah bagi manusia. Kedua,ayat Al-Quran yang diturunkan lantaran adanya sebab atau kasus tertentu. Ayat-ayat macam kedua inilah yang dibahas dalam kaitan pembicaraan Asbab Al-Nuzul.
Secara etimologis,  Asbab Al-Nuzul merupakan rangkaian dari dua kata, yaitu Asbab dan Al-Nuzul. Kata Asbab merupakan jama’ dari kata sabab yang berarti sebab atau beberapa sebab. Dan Al-Nuzul  yang berarti turun. Di sini Asbab Al-Nuzul dapat diartikan sebagai turunya sesuatu, atau sesuatu yang menyebabkan adanya peristiwa.[5]
Sedangkan secara terminologis, terdapat banyak definisi tentang Asbab Al-Nuzul yang telah diformulasikan para ulama’. Diantaranya adalah:
1.                  Imam Az-Zarqani dalam Manahil Irfan memberikan definisi sebagai berikut: ”Asbab Al-Nuzul adalah segala hal yang menyebabkan sepotong ayat atau beberapa ayat diturunkan, atau untuk menerangkan hokum sesuatu yang terjadi pada saat terjadinya sesuatu itu.”
2.                  Imam Subhi Ash Shalih dalam Mabahistnya mendefinisikan Asbab Al-Nuzul sebagai berikut: ”Asbab Al-Nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan sepotong ayat atau beberapa ayat diturunkan sebagai bukti adanya peristiwa, atau sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan atau untuk menjelaskan hokum sesuatu yang terjadi pada itu.”   
Asbab Al-Nuzul ialah suatu peristiwa atau kejadian tertentu, kemudian turunlah satu atau beberapa ayat Al-Quran mengenai peristiwa itu,atau suatu pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW. untuk mengetahui hukum syara’ atau juga untuk menafsirkan sesuatu yang berkaitan dengan agama, kemudian turun satu atau beberapa ayat.[6]
Peristiwa atau kejadian dan pertanyaan itu tentu saja terjadi pada masa Nabi SAW. Kemudian turun satu atau beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan hukum kasus yang terjadi atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW. karena hakikatnya, Nabi SAW hanyalah sebagai pembawa risalah.
Dengan sederhana, cara mengetahui asbab al-nuzul dapat dilakukan melalui periwayatan yang shahih dengan melihat dari ungkapan perawi yang mengatakan “sabab nuzul al-ayah kadza”. Ada kalanya asbab al-nuzul tidak diungkap dengan kata sebab, tetapi diungkap dengan kalimat “fa nazalat”. Misalnya perawi mengatakan “suila al-Nabi saw an kadza, fanazalat…”. Selain itu, terkadang perawi mengungkapkan asbab al-nuzul dengan pernyataan “nuzilat hadzihi al-ayah fi kaza.” Menurut jumhur ulama tafsir, apabila ungkapan perawi demikian, maka hal itu merupakan pernyataan tegas dan dapat dipercaya sebagai asbab al-nuzul ayat al-Qur’an. Akan tetapi ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip al-Zarqani, berpendapat bahwa ungkapan “nuzilat hadzihi al-ayah fi kaza” terkadang menyatakan sebab turunnya ayat, namun terkadang juga menunjukkan kandungan ayat yang diturunkan tanpa sebab al-nuzul.[7]
Mengetahui Asbab Al-Nuzul sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia. Oleh sebab itu, para ulama’ sangat berhati-hati dalam memahami Asbab Al-Nuzul. Mengingat betapa pentingnya Asbab Al-Nuzul, maka bisa dikatakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau diambil hukum darinya sebelum mengetahui secara pasti tentang Asbab Al-Nuzulnya.
Asbab Al-Nuzul tidak mungkin diketahui berdasarkan pendapat, melainkan dari sumber riwayat yang shahih dan mendengarkan dari orang-orang yang menyaksikan turunya ayat atau dengan membahasnya dari para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama terpercaya. Dengan demikian, di dalam membahas Asbab Al-Nuzul, pendapat atau penafsiran tidak mempunyai peran yang berarti. Rosulullah SAW bersabda:

اتقواعنى الاماعلمتم فانه من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: ”Berhati-hatilah (dalam soal)riwayat dari sumberku, kecuali apa yang telah kalian ketahui. Karena sesungguhnya, barangsiapa yang sengaja berdusta atasku, maka bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api.”  (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Tirmidzi).


C.                Asbab Al-Wurud
secara etimologis, Asbab Al-Wurud merupakan gabungan dari dua kata. Pertama, Asbab, bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab atau segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain atau penyebab terjadinya sesuatu. Kedua, Al-Wurud, yanng merupakan bentuk isim masdar dari kata warada-yaridu-wurudan yang berarti datang atau sampai.[8]
Hasbi Al-Shiddieqy memberikan definisi Asbab Al-Wurud sebagai “ílmu yang menerangkan sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa beliau menuturkanya.”
Daniel Juned mengatakan bahwa dalam konteks Asbab Al-Wurud ini, bukan hanya hadist dalam makna tutur (qauliyah) sebagaimana terlihat dalam definisi Hasbi Al-Shiddieqy,melainkan juga aksi (fi’liyah) dan sikap (taqririyah)  Nabi SAW.[9]
Bahwa seperti halnya ayat-ayat Al-Quran yang tidak selalu ada sabab al-nuzulnya, demikian pula dengan hadist, tidak semua hadist selalu ada sabab al-wurudnya. Adapun untuk hadist yang memiliki sabab al-wurud, secara teknis ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sabab al-wurud, yaitu:[10]
1.                  Diketahui dalam satu rangkaian hadist itu sendiri. Untuk kasus hadist seperti ini, maka akan lebih mudah untuk memahami konteks pada saat hadist tersebut disampaikan Nabi SAW.
2.                  Sebab hadirnya hadist tidak tertuang dalam satu rangkaian redaksi hadist, namun diketahui melalui hadist lain dengan sanad yang berbeda. Untuk kasus sabab al-wurud jenis ini memang diperlukan usaha yang lebih komprehensip dalam melakukan eksplorasi hadist-hadist lain yang memiliki relevansi dan pesan yang serupa.
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadist juga dikenal hadist yang memiliki Asbab Al-Wurud khusus, ada pula yang tidak. Untuk kategori yang pertama, menggunakan perangkat ilmu yang disebut Asbab Al-Wurud dalam memaknai maknanya. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadist itu tidak memiliki Asbab Al-Wurud secara khusus. Di sinilah kemungkinan dilakukannya analisis pemahaman hadist (fighul hadist) dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis.[11]
a.                   Pendekatan Historis
Yang dimaksud pendekatan historis dalam memahami hadist di sini adalah memahami hadist dengan cara memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa yang terkait latar belakang munculnya hadist. Dengan kata lain, pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide dan gagasan yang terdapat dalam hadist dengan deteminasi-deter minasi sosial dan situasi historis-kultural yang mengitarinya untuk kemudian didapatkan konsep ideal moral yang dapat di kontekstualisasikan sesuai perubahan dan perkembangan zaman.

b.                  Pendekatan sosiologis
Pendekatan sosiologis dalam memahami hadist adalah cara untuk memahami hadist Nabi SAW. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadist.
Pendekatan sosiologis akan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku tersebut.
c.                   Pendekatan antropologis
Jika antropologi dikaitkan dengan hadist, maka hadist yang dipelajari adalah hadist sebagai fenomena budaya. Pendekatan antropologis tidak membahas salah benarnya suatu hadist dan segenap perangkatnya, seperti keshahihan sanadnya, matan dan lain sebagainya. Wilayah pendekatan ini hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul yang ada kaitanya dengan hadist tersebut.
Dengan demikian, pendekatan antropologi dalam memahami hadist dapat diartikan sebagai suatu pendekatan dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadist tersebut disabdakan. Dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang di anut dalam kehidupan masyarakat.

D.                Implikasi Asbab Al-Nuzul dan/atau Asbab Al-Wurud Dalam Pemahaman  Maqashid Al-Syari’ah
Beberapa ulama mengatakan tentang urgennya mengetahui asbab al-nuzul atau asbab al-wurud untuk mengetahui hakikat makna yang terkandung dalam ayat atau hadist.
Imam Al-Wahidi mengatakan : “tidak mungkin orang bisa mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan mengenai turunnya lebih dahulu”.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Id : “keterangan sebab turunya ayat adalah cara yang kuat dan penting dalam memahami makna-makna Al-quran.”
Imam Ibnu Taimiyah: “mengetahui ‘asbab al-nuzul’ sangat membantu untuk memahami ayat. Sesungguhnya dengan mengetahui ‘sebab’ akan mendapatkan ilmu musabbab.”[12]
Berikut ini adalah beberapa Implikasi Asbab Al-Nuzul dan/atau Asbab Al-Wurud Dalam Pemahaman  Maqashid Al-Syari’ah:[13]
1.                 Membantu memahami Maqashid al-Syari’ah dengan tepat. Seseorang tidak akan mengetahui penafsiran sebuah ayat atau hadist dengan benar, jika tidak mengetahui dengan tepat dalam konteks apa ayat atau hadist itu hadir. Konteks atau latar tetap menjadi hal yang urgent untuk diperhatikan dalam merespon sesuatu. Sebagai contoh, turunnya surat al-Nur:11 merupakan respon terhadap hadis ifki yang menyudutkan keluarga Nabi Muhammad.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# râä!%y` Å7øùM}$$Î/ ×pt6óÁãã ö/ä3YÏiB 4 Ÿw çnqç7|¡øtrB #uŽŸ° Nä3©9 ( ö@t/ uqèd ׎öyz ö/ä3©9 4 Èe@ä3Ï9 <͐öD$# Nåk÷]ÏiB $¨B |=|¡tFø.$# z`ÏB ÉOøOM}$# 4 Ï%©!$#ur 4¯<uqs? ¼çnuŽö9Ï. öNåk÷]ÏB ¼çms9 ë>#xtã ×LìÏàtã ÇÊÊÈ  
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah r.a. Ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H. Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. 'Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. tiba-tiba Dia merasa kalungnya hilang, lalu Dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat Dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan Dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" 'Aisyah terbangun. lalu Dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut Pendapat masing-masing. mulailah timbul desas-desus. kemudian kaum munafik membesar- besarkannya, Maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin.
2.                  Membantu memahami sesuatu dengan lebih arif dan komprehensif. Ibnu Taimiyah menjelaskan: mengetahui sebab itu akan menolong dalam memahami hadist atau ayat”. Karena mengetahui sebab itu dapat mengetahui musabbab (persoalan).
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  
Artinya: dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.”

Dalam hal shalat, ayat ini dapat dipakai sebagai landasan bagi orang yang tidak mempedulikan sebab turun bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja, barat, timur, utara, selatan bahkan atas dan bawah. Allah ada di mana-mana. Padahal, kalau kita mau jeli melihat sebab turunnya ayat tentu pendapat semacam ini akan dapat dihindari. Turunnya ayat ini sehubungan dengan kasus seorang sahabat yang berada dalam sebuah perjalanan dan tidak dapat memastikan arah kiblat secara tepat. Ia pun berijtihad menentukan arah kibat sesuai dengan keyakinannya. Ayat ini menegaskan bahwa kemana pun arah shalat yang telah diyakininya tidak akan mengurangi sahnya shalat. Ia tidak perlu mengulangi shalatnya di lain waktu ketika ia sudah yakin arah shalat yang benar. Dengan demikian, ayat ini tidak bersifat umum sebagaimana bunyi ayatnya, namun bersifat khusus seperti dalam kasus tersebut.
3.                  Mengetahui mana dalil yang bersifat pengkhususan (takhsis) bagi dalil lain yang masih bersifat umum (’am), yang bersifat membatasi (taqyid) bagi yang masih bersifat mutlak (mutlaq).
Adapun contohnya adalah hadist yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
Artinya: “shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadist tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnah. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang di maksud “shalat”dalam hadist itu adalah shalat sunnah bukan shalat fardhu.
Asbabul wurud hadist tersebut adalah bahwa ketika itu di Madinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, Nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnah sambil duduk. Maka Nabi bersabda :”Shalat orang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan Nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnah sambil berdiri.
4.                  Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkanya suatu keputusan tertentu.
5.                  Menjelaskan maksud sebuah hadist yang masih problematic (sulit dipahami).

IV.           KESIMPULAN
Pembahasan seputar asbab al-nuzul dan asbab al-wurud tak lepas dari semangat memperhatikannilai sosio-historisitas al-Qur’an dan hadis. Untuk itu, pencermatan terhadap Asbab mikro dan makro perlu dipertimbangkan dalam melakukan istinbat hukum—atau ijtihad dalam konteks lain—sehingga nilai aplikatif al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan hadis sebagai penjelasnya tetap terpelihara sepanjang waktu.


V.               PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya susun. Saya sadar makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saran yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin..




DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik, Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Al-Asyri, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/03/peran-asbab-al-nuzul-dalam-penggalian.html
Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
M. Syakur MF., ‘Ulumul Al-qur’an, Semarang: PKPI2-FAI UNWAHAS, 2007.
Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Abdul Sattar, konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan Pengaruhnya Terhadap Tampilan Redaksional Hadist, Semarang: 2012.
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: SUKA-Press, 2012.



[1] Atabik Ali,Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-Asyri, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003, hlm. 1793.
[2]http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/03/peran-asbab-al-nuzul-dalam-penggalian.html
[3] Ibid.
[4] Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 313-315
[5] M. Syakur MF., ‘Ulumul Al-qur’an, Semarang: PKPI2-FAI UNWAHAS, 2007, hlm.54.
[6] Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001, hlm. 30.
[7] http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/03/peran-asbab-al-nuzul-dalam-penggalian.html
[8] Abdul Sattar, konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan Pengaruhnya Terhadap Tampilan Redaksional Hadist, Semarang: 2012, hlm. 19-20
[9] Ibid, hlm. 20.
[10] Ibid, hlm. 21-26
[11] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: SUKA-Press, 2012, hlm. 64.
[12] Muhammad Qodirun Nur, loc. Cit., hlm. 24.
[13] Abdul Sattar, op. cit., hlm.29-32