ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH
I.
PENDAHULUAN
Diskursus tentang ayat-ayat yang muhkam
dan mutasyabih dalam al-quran masih sering diperdebatkan oleh para pakar
baik dari kalangan sarjana islam atau sarjana barat, khususnya mereka yang
mempunyai perhatian serius terhadap ilmu al-quran. Term muhkam dan mutasyabih
dalam al-quran sering kita temukan. Kalau kita mengamati secara sepintas
terhadap beberapa term tersebut dan berusaha untuk memahami maknanya, maka
seolah-olah antara ayat yang satu dengan yang lainnya saling kontradiktif.
Di satu sisi al-quran menyatakan
bahwa semua ayat dalam al-quran adalah muhkam.[1]
Berdasarkan firman Allah dalam surat surat Hud ayat 1 :
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AÎ7yz ÇÊÈ
Artinya: Alif
laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha tahu,
Didalam ayat tersebut diatas, kata muhkam
diartikan sebagai ayat yang kuat, kokoh, rapi, indah susunannya dan sama sekali
tidak mengandung kelemahan baik dalam hal lafadznya, rangkaian kalimatnya
maupun maknanya.[2]
Di sisi lain al-quran juga
menyatakan bahwa semua ayat dalam al-quran adalah mutasyabih.
Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Zumar ayat 23 :
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]Ïptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ßqè=ã_ tûïÏ%©!$# cöqt±øs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdßqè=ã_ öNßgç/qè=è%ur 4n<Î) Ìø.Ï «!$# 4 y7Ï9ºs yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o 4 `tBur È@Î=ôÒã ª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >$yd ÇËÌÈ
Artinya:
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah,
niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.
Kata mutasyabih dalam ayat
tersebut diartikan sebagai “kesamaan” ayat-ayat dalam hal balaghah dan i’jaz
serta dalam kesukaran membedakan mana bagian-bagian al-quran yang lebih afdhol.
Akan tetapi makna muhkam dan mutasyabih
yang terdapat di dalam dua ayat di atas, bukanlah yang menjadi maksud
pembahasan dalam makalah ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan membahas
salah satu cabang ulumul quran, yaitu ilmu muhkam dan mutasyabih.
Pembahasan tersebut terbagi menjadi 2 pembahasan sebagai berikut:
1.
Pengertian ilmu
muhkam dan mutasyabih.
2.
Dasar ilmu muhkam
dan mutasyabih, serta pendapat para ulama dan pengaruh dalam istinbat
hukum.
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istilah muhkam dan mutasyabih
yang menjadi arah pembahasan dalam makalah ini adalah yang pengertiannya
terdapat dalam firman Allah, surat Ali Imron ayat 7:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Artinya:
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Di dalam ayat tersebut telah
dinyatakan, bahwasanya muhkam adalah imbangan mutasyabih, sebagai
orang-orang yang rasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan orang-orang yang ada
kesesatan dalam jiwanya.[3]
Para ulama telah menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk
mendefinisikan muhkam dan mutasyabih.
Secara bahasa lafadz muhkam
dan mutasyabih memiliki makna yang beraneka ragam. Namun dari berbagai
makna tersebut, secara umum muhkam dapat berarti mencegah atau menahan.
Sedangkan kata mutasyabih dapat berarti serupa (mumatsalah)
antara yang satu dengan yang lainnya.[4]
Ada perbedaan pendapat antara ulama
mengenai definisi muhkam dan mutasyabih secara istilah. Akan
tetapi pada akhirnya pendapat mereka mengacu bahwa yang dimaksud dengan muhkam
adalah ayat-ayat yang jelas maknanya, jelas penunjukannya dan tidak mengandung
pengertian ganda, sehingga tidak memerlukan penjelasan lain untuk memahami
pengertian dan isinya. Dan inilah yang dikatakan sebagai pokok-pokok ajaran
yang terdapat dalam al-quran, yang harus menjadi rujukan dan landasan untuk
memahami ayat-ayat yang lainnya.[5]
Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah ayat-ayat yang
mengandung banyak penafsiran, karena memiliki kesamaan dengan ayat-ayat yang
lainya, baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.[6]
Kebanyakan ulama tidak
memperselisihkan ayat yang muhkam, karena dengan membacanya dapat
diketahui maksudnya. Yang menjadi perdebatan dalam kalangan ulama adalah ayat
yang mutasyabih, karena terdapat berbagai persoalan dan agar tidak terjerumus
dalam golongan yang sesat.
B.
Dasar Ilmu
Muhkam Dan Mutasyabih, Serta Pendapat Para Ulama Dan Pengaruh Dalam Istinbat
Hukum.
Ayat di atas secara eksplisit
menyebutkan bahwa ayat al-quran dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: muhkam
dan mutasyabih. Menurut Al-Raghib Al-Asfahani, bahwa pada hakikatnya
ayat-ayat al-quran bila dilihat dari ayat-ayat lain ada 3 (tiga) kategori,
yaitu:[7]
1.
muhkamat secara mutlak.
2.
mutasyabih secara mutlak.
3.
muhkamat dari satu segi dan mutasyabih dari segi lain.
Sebagian besar ulama tidak
memperdebatkan tentang masalah ayat-ayat yang muhkam. Tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai ayat-ayat yang mutasyabih. Ayat-ayat mutasyabih
bila dilihat dalam dari segi kalimatnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam,
yaitu:[8]
1.
mutasyabihat dari segi lafadznya.
2.
mutasyabihat dari segi maknanya.
3.
mutasyabihat dari segi lafadz serta maknanya sekaligus.
Dari ketiga bentuk mutasyabihat
di atas, Al-Raghib Al-Asfahani membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi 3
(tiga) kategori, yaitu:[9]
1.
mutasyabihat yang sama sekali tidak ada jalan bagi manusia untuk mengetahuinya,
seperti waktu datangnya hari kiamat, hakikat surga, hakikat neraka dan lain
sebagainya.
2.
Mutasyabihat yang dengan berbagai sarana manusia memiliki kemungkinan untuk
mengetahuinya, seperti kata-kata asing dan hukum-hukum yang ambigu.
3.
Mutasyabihat yang berada diantara keduanya, yang hakikatnya dapat diketahui
oleh Allah dan sebagian orang yang mendalam ilmunya, dan tidak dapat diketahui
oleh selain mereka.
Sebenarnya akar perbedaan pemahaman
terhadap ayat mutasyabihat tersebut bermuara pada masalah apakah harus waqaf
atau washal ketika membaca firman Allah surat Ali Imron ayat 7:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Apabila bacaan tersebut berhenti (waqaf)
pada lafadz jalalah, yaitu وما يعلم تآ ويله الاالله maka ayat-ayat mutasyabih tidak ada
yang dapat mengetahuinya kecuali Allah SWT semata. Apabila bacaanya diteruskan
(washal), yaitu وما يعلم تآ ويله الاالله
والراسخون فى العلم maka orang-orang yang memiliki ilmu mendalam
juga mampu mengetahui ayat-ayat yang mutasyabih. Sehingga hrurf wawu
(و) dalam ayat tersebut berfungsi sebagai
huruf athof, sementara lafadz الراسخونdi athofkan kepada
lafadz jalalah الله.[10]
Para ulama mengetahui maksudnya,
karena sesungguhnya Allah menyebut firman-Nya ini dalam rangka menguji para
ulama. Andaikata mereka tidak mengetahui makna mutasyabih, bergabunglah
mereka dengan orang awam.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi
dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas:
اللهم فقهه فى الدين وعلمه التآويل
Artinya: “wahai Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang fakih dalam
agama dan ajarkanlah ta’wil kepadanya”
Untuk mendudukan dua kubu yang
saling kontradiktif tersebut, ta’wil merupakan suatu alternative jawaban yang
dapat dikompromikan antara keduanya. Sebab, dengan ta’wil akan dapat dilihat
bahwa kedua pendapat diatas tidak terdapat pertentangan. Ta’wil sendiri dapat
digunakan untuk beberapa makna, antara lain:[11]
1.
Ta’wil dengan
makna tafsir (menerangkan atau menjelaskan), yaitu menafsirkan suatu kalam dan
menjelaskan maknanya, baik sesuai zhahirnya maupun tidak. Dalam hal ini antara
ta’wil dan tafsir tidak ada perbedaanya. Pemahaman ini merupakan dasar dari
golongan yang membaca washal ayat tersebut diatas. Maka jika dikatakan
bahwa ia mengetahui ayat-ayat mutasyabihat, maka maksudnya adalah ia
mengetahui tafsiranya.
2.
Ta’wil dengan
makna esensi yang dimaksud dari suatu perkataan. Artinya kalam itu merujuk
kepada makna hakikinya yang merupakan esensi yang sebenarnya. Pemahaman ini
adalah dasar dari golongan yang membaca waqaf dan menjadikan wawu(و) sebagai isti’naf. Sehingga dalam
hal ini tidak ada yang mengetahui hakikat zat Allah, esensin-Nya, hakikat hari
kiamat dan lainnya, kecuali Allah.
Dari keterangan diatas, maka menjadi
jelaslah bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat
tersebut. Perbedaan terjadi hanya karena kedua golongan tersebut mempunyai
kerangka berpikir yang berbeda ketika memahami makna ta’wil dan mengaplikasikanya
terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat.
Para ulama sendiri ketika memahami
ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat dalam al-quran, khususnya ayat-ayat
yang terkait dengan sifat-sifat Allah, dapat dikelompokan menjadi dua aliran,
yaitu:[12]
1.
Madzab salaf,
yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka ketika menghadapi ayat-ayat yang
demikian berusaha untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertianya
kepada Allah SWT.
Bagi kaum salaf, ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat dalam al-quran
tidak perlu dita’wilkan. Sebab yang mengetahui hakikat ayat-ayat itu hanyalah
Allah semata. Yang dilakukan mereka hanyalah berusaha mensucikan Allah dari
makna lahir kalimat-kalimat seperti itu, karena makna lahiriyah yang demikian
itu mustahil bagi Allah SWT.
2.
Madzab khalaf,
yaitu para ulama generasi berikutnya, seperti imam haramain. Mereka berpendapat
bahwa ayat-ayat mutasyabihat yang secara lahiriyah mustahil bagi Allah,
harus ditetapkan maknanya dengan
pengertian yang sesuai dan sedekat mungkin dengan dzat-NYA.
Ada beberapa ayat al-quran untuk
menjelaskan dua madzhab tersebut mengenai pendapat mereka tentang ayat-ayat mutasyabihat,
yaitu:[13]
a.
الرحمن
على العرش استوى
Artinya:
“ (Allah) Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy”. (Tha Ha: 5)
b.
وجاء
ربك والملك صفا صفا
Artinya:
“dan datanglah Tuhanmu, sedang para malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajr:
22)
c.
ويبقى
وجه ربك
Artinya:
“dan tetap kekal wajah Tuhanmu.” (Ar-Rahman: 27)
Madzab salaf mensucikan Allah dari
makna lahir kalimat-kalimat tersebut di atas, karena makna harfiyah demikian
itu mustahil bagi Allah. Mereka mengimani sepenuhnya rahasia kandungan makna
firman-firman Allah yang serupa itu, dan mereka menyerahkan hakikat maknanya
kepada Allah.
Lain halnya dengan madzab khalaf,
mereka mengartikan lafadz (استوى) dengan Maha Berkuasa menciptakan segala sesuatu tanpa susah
payah, lafadz (وجاء ربك) mereka artikan
dengan kedatangan perintah-Nya, lafadz (وجه ربك)
mereka artikan dengan Dzat Allah.
Sifat-sifat Allah dalam
manifestasinya menunjukan dua segi, yaitu:
a.
Segi manusiawi
yang bernisbah kepada manusia, yaitu dalam hal bentuk aktifitas jasmani.
b.
Segi hakiki
yang bernisbah kepada Allah. Penyebutan lafadz yang dinisbahkan kepada manusia
merupakan suatu cara untuk mendekatkan pengertian manusia kepada tujuan yang
dimaksud.
Ar-Razy dalam tafsirnya menerangkan
hikmat diterangkan sifat-sifat yang mutasyabih, beliau berkata: “sesungguhnya
al-quran melengkapi dakwah kepada orang-orang khusus dan dakwah kepada
orang-orang umum”.
IV.
KESIMPULAN
Secara bahasa lafadz muhkam
dan mutasyabih memiliki makna yang beraneka ragam. Namun dari berbagai
makna tersebut, secara umum muhkam dapat berarti mencegah atau menahan.
Sedangkan kata mutasyabih dapat berarti serupa (mumatsalah)
antara yang satu dengan yang lainnya.[14]
Ada perbedaan pendapat antara ulama
mengenai definisi muhkam dan mutasyabih secara istilah. Akan
tetapi pada akhirnya pendapat mereka mengacu bahwa yang dimaksud dengan muhkam
adalah ayat-ayat yang jelas maknanya, jelas penunjukannya dan tidak mengandung
pengertian ganda, sehingga tidak memerlukan penjelasan lain untuk memahami
pengertian dan isinya. Dan inilah yang dikatakan sebagai pokok-pokok ajaran
yang terdapat dalam al-quran, yang harus menjadi rujukan dan landasan untuk
memahami ayat-ayat yang lainnya.[15]
Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah ayat-ayat yang
mengandung banyak penafsiran, karena memiliki kesamaan dengan ayat-ayat yang
lainya, baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
pada hakikatnya ayat-ayat al-quran
bila dilihat dari ayat-ayat lain ada 3 (tiga) kategori, yaitu:[16]
4.
muhkamat secara mutlak.
5.
mutasyabih secara mutlak.
6.
muhkamat dari satu segi dan mutasyabih dari segi lain.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya
susun. Saya sadar makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saran
yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah yang selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin..
DAFTAR
PUSTAKA
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu-Ilmu al- Qur’an, Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu Al Qur-an,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Mashur, Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: Rineka
cipta, 1992.
Hermawan, Acep, ‘Ulumul Quran, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2011.
El-Mazni,
Aunur Rafiq, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004.
http://maragustamsiregar.wordpress.com/2010/12/16/ilmu-muhkam-dan-mutasyabih-dalam-alquran-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/
[1]
El-Mazni, Aunur Rafiq, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004, hlm. 264-265.
[2] Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008,
hlm. 185
[3] M. Hasbi
Ash-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur-an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2002, hlm 170 .
[4] Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008,
hlm. 185
[5] Ibid., hlm.
190.
[6] Bandingkan
dengan M. Hasbi Ash-Shidieqy, op.cit., hlm. 170-171
[7] Op.cit., hlm.
191
[8] Ibid., 191
[9] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008,
hlm. 400-401
[10] Op. cit., hlm.
192-193. Bandingkan dengan M. Hasbi Ash-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur-an,
hlm. 170-171
[11] Op. cit. hlm
195-196
[12] Ibid. hal
197-198
[13] Op. cit. hlm.
404-405
[14] Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008,
hlm. 185
[15] Ibid., hlm.
190.
[16] Op.cit., hlm.
191
No comments:
Post a Comment