Menu

Friday 1 November 2013

makalah ulumul quran tentang ilmu muhkam dan mutasyabih



ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH

I.                   PENDAHULUAN
Diskursus tentang ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam al-quran masih sering diperdebatkan oleh para pakar baik dari kalangan sarjana islam atau sarjana barat, khususnya mereka yang mempunyai perhatian serius terhadap ilmu al-quran. Term muhkam dan mutasyabih dalam al-quran sering kita temukan. Kalau kita mengamati secara sepintas terhadap beberapa term tersebut dan berusaha untuk memahami maknanya, maka seolah-olah antara ayat yang satu dengan yang lainnya saling kontradiktif.
Di satu sisi al-quran menyatakan bahwa semua ayat dalam al-quran adalah muhkam.[1] Berdasarkan firman Allah dalam surat surat Hud ayat 1 :
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz ÇÊÈ    
Artinya: Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,
Didalam ayat tersebut diatas, kata muhkam diartikan sebagai ayat yang kuat, kokoh, rapi, indah susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam hal lafadznya, rangkaian kalimatnya maupun maknanya.[2]
Di sisi lain al-quran juga menyatakan bahwa semua ayat dalam al-quran adalah mutasyabih. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Zumar ayat 23 :
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ߊqè=ã_ tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdߊqè=ã_ öNßgç/qè=è%ur 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# 4 y7Ï9ºsŒ yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o 4 `tBur È@Î=ôÒムª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >Š$yd ÇËÌÈ  
Artinya: Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.

Kata mutasyabih dalam ayat tersebut diartikan sebagai “kesamaan” ayat-ayat dalam hal balaghah dan i’jaz serta dalam kesukaran membedakan mana bagian-bagian al-quran yang lebih afdhol.
Akan tetapi makna muhkam dan mutasyabih yang terdapat di dalam dua ayat di atas, bukanlah yang menjadi maksud pembahasan dalam makalah ini.

II.                RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan membahas salah satu cabang ulumul quran, yaitu ilmu muhkam dan mutasyabih. Pembahasan tersebut terbagi menjadi 2 pembahasan sebagai berikut:
1.      Pengertian ilmu muhkam dan mutasyabih.
2.      Dasar ilmu muhkam dan mutasyabih, serta pendapat para ulama dan pengaruh dalam istinbat hukum.

III.             PEMBAHASAN
A.                Pengertian
Istilah muhkam dan mutasyabih yang menjadi arah pembahasan dalam makalah ini adalah yang pengertiannya terdapat dalam firman Allah, surat Ali Imron ayat 7:

uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ 

Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Di dalam ayat tersebut telah dinyatakan, bahwasanya muhkam adalah imbangan mutasyabih, sebagai orang-orang yang rasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya.[3] Para ulama telah menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih.
Secara bahasa lafadz muhkam dan mutasyabih memiliki makna yang beraneka ragam. Namun dari berbagai makna tersebut, secara umum muhkam dapat berarti mencegah atau menahan. Sedangkan kata mutasyabih dapat berarti serupa (mumatsalah) antara yang satu dengan yang lainnya.[4]
Ada perbedaan pendapat antara ulama mengenai definisi muhkam dan mutasyabih secara istilah. Akan tetapi pada akhirnya pendapat mereka mengacu bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah ayat-ayat yang jelas maknanya, jelas penunjukannya dan tidak mengandung pengertian ganda, sehingga tidak memerlukan penjelasan lain untuk memahami pengertian dan isinya. Dan inilah yang dikatakan sebagai pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam al-quran, yang harus menjadi rujukan dan landasan untuk memahami ayat-ayat yang lainnya.[5] Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah ayat-ayat yang mengandung banyak penafsiran, karena memiliki kesamaan dengan ayat-ayat yang lainya, baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.[6]
Kebanyakan ulama tidak memperselisihkan ayat yang muhkam, karena dengan membacanya dapat diketahui maksudnya. Yang menjadi perdebatan dalam kalangan ulama adalah ayat yang mutasyabih, karena terdapat berbagai persoalan dan agar tidak terjerumus dalam golongan yang sesat.

B.                 Dasar Ilmu Muhkam Dan Mutasyabih, Serta Pendapat Para Ulama Dan Pengaruh Dalam Istinbat Hukum.
Ayat di atas secara eksplisit menyebutkan bahwa ayat al-quran dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: muhkam dan mutasyabih. Menurut Al-Raghib Al-Asfahani, bahwa pada hakikatnya ayat-ayat al-quran bila dilihat dari ayat-ayat lain ada 3 (tiga) kategori, yaitu:[7]
1.      muhkamat secara mutlak.
2.      mutasyabih secara mutlak.
3.      muhkamat dari satu segi dan mutasyabih dari segi lain.
Sebagian besar ulama tidak memperdebatkan tentang masalah ayat-ayat yang muhkam. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ayat-ayat yang mutasyabih. Ayat-ayat mutasyabih bila dilihat dalam dari segi kalimatnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:[8]
1.      mutasyabihat dari segi lafadznya.
2.      mutasyabihat dari segi maknanya.
3.      mutasyabihat dari segi lafadz serta maknanya sekaligus.
Dari ketiga bentuk mutasyabihat di atas, Al-Raghib Al-Asfahani membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:[9]
1.      mutasyabihat yang sama sekali tidak ada jalan bagi manusia untuk mengetahuinya, seperti waktu datangnya hari kiamat, hakikat surga, hakikat neraka dan lain sebagainya.
2.      Mutasyabihat yang dengan berbagai sarana manusia memiliki kemungkinan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing dan hukum-hukum yang ambigu.
3.      Mutasyabihat yang berada diantara keduanya, yang hakikatnya dapat diketahui oleh Allah dan sebagian orang yang mendalam ilmunya, dan tidak dapat diketahui oleh selain mereka.
Sebenarnya akar perbedaan pemahaman terhadap ayat mutasyabihat tersebut bermuara pada masalah apakah harus waqaf atau washal ketika membaca firman Allah surat Ali Imron ayat 7:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ  
Apabila bacaan tersebut berhenti (waqaf) pada lafadz jalalah, yaitu وما يعلم تآ ويله الاالله   maka ayat-ayat mutasyabih tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah SWT semata. Apabila bacaanya diteruskan (washal), yaitu وما يعلم تآ ويله الاالله والراسخون فى العلم   maka orang-orang yang memiliki ilmu mendalam juga mampu mengetahui ayat-ayat yang mutasyabih. Sehingga hrurf wawu (و) dalam ayat tersebut berfungsi sebagai huruf athof, sementara lafadz   الراسخونdi athofkan kepada lafadz jalalah الله.[10]
Para ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firman-Nya ini dalam rangka menguji para ulama. Andaikata mereka tidak mengetahui makna mutasyabih, bergabunglah mereka dengan orang awam.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas:
اللهم فقهه فى الدين وعلمه التآويل
Artinya: “wahai Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang fakih dalam agama dan ajarkanlah ta’wil kepadanya
Untuk mendudukan dua kubu yang saling kontradiktif tersebut, ta’wil merupakan suatu alternative jawaban yang dapat dikompromikan antara keduanya. Sebab, dengan ta’wil akan dapat dilihat bahwa kedua pendapat diatas tidak terdapat pertentangan. Ta’wil sendiri dapat digunakan untuk beberapa makna, antara lain:[11]
1.      Ta’wil dengan makna tafsir (menerangkan atau menjelaskan), yaitu menafsirkan suatu kalam dan menjelaskan maknanya, baik sesuai zhahirnya maupun tidak. Dalam hal ini antara ta’wil dan tafsir tidak ada perbedaanya. Pemahaman ini merupakan dasar dari golongan yang membaca washal ayat tersebut diatas. Maka jika dikatakan bahwa ia mengetahui ayat-ayat mutasyabihat, maka maksudnya adalah ia mengetahui tafsiranya.
2.      Ta’wil dengan makna esensi yang dimaksud dari suatu perkataan. Artinya kalam itu merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi yang sebenarnya. Pemahaman ini adalah dasar dari golongan yang membaca waqaf dan menjadikan wawu(و) sebagai isti’naf. Sehingga dalam hal ini tidak ada yang mengetahui hakikat zat Allah, esensin-Nya, hakikat hari kiamat dan lainnya, kecuali Allah.
Dari keterangan diatas, maka menjadi jelaslah bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Perbedaan terjadi hanya karena kedua golongan tersebut mempunyai kerangka berpikir yang berbeda ketika memahami makna ta’wil dan mengaplikasikanya terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat.
Para ulama sendiri ketika memahami ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat dalam al-quran, khususnya ayat-ayat yang terkait dengan sifat-sifat Allah, dapat dikelompokan menjadi dua aliran, yaitu:[12]
1.      Madzab salaf, yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka ketika menghadapi ayat-ayat yang demikian berusaha untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertianya kepada Allah SWT.
Bagi kaum salaf, ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat dalam al-quran tidak perlu dita’wilkan. Sebab yang mengetahui hakikat ayat-ayat itu hanyalah Allah semata. Yang dilakukan mereka hanyalah berusaha mensucikan Allah dari makna lahir kalimat-kalimat seperti itu, karena makna lahiriyah yang demikian itu mustahil bagi Allah SWT.
2.      Madzab khalaf, yaitu para ulama generasi berikutnya, seperti imam haramain. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat yang secara lahiriyah mustahil bagi Allah, harus ditetapkan  maknanya dengan pengertian yang sesuai dan sedekat mungkin dengan dzat-NYA.
Ada beberapa ayat al-quran untuk menjelaskan dua madzhab tersebut mengenai pendapat mereka tentang ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:[13]
a.       الرحمن على العرش استوى
Artinya: “ (Allah) Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy”. (Tha Ha: 5)
b.      وجاء ربك والملك صفا صفا
Artinya: “dan datanglah Tuhanmu, sedang para malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajr: 22)
c.       ويبقى وجه ربك
Artinya: “dan tetap kekal wajah Tuhanmu.” (Ar-Rahman: 27)
Madzab salaf mensucikan Allah dari makna lahir kalimat-kalimat tersebut di atas, karena makna harfiyah demikian itu mustahil bagi Allah. Mereka mengimani sepenuhnya rahasia kandungan makna firman-firman Allah yang serupa itu, dan mereka menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah.
Lain halnya dengan madzab khalaf, mereka mengartikan lafadz (استوى) dengan Maha Berkuasa menciptakan segala sesuatu tanpa susah payah, lafadz (وجاء ربك) mereka artikan dengan kedatangan perintah-Nya, lafadz (وجه ربك) mereka artikan dengan Dzat Allah. 
Sifat-sifat Allah dalam manifestasinya menunjukan dua segi, yaitu:
a.       Segi manusiawi yang bernisbah kepada manusia, yaitu dalam hal bentuk aktifitas jasmani.
b.      Segi hakiki yang bernisbah kepada Allah. Penyebutan lafadz yang dinisbahkan kepada manusia merupakan suatu cara untuk mendekatkan pengertian manusia kepada tujuan yang dimaksud.
Ar-Razy dalam tafsirnya menerangkan hikmat diterangkan sifat-sifat yang mutasyabih, beliau berkata: “sesungguhnya al-quran melengkapi dakwah kepada orang-orang khusus dan dakwah kepada orang-orang umum”.

IV.             KESIMPULAN
Secara bahasa lafadz muhkam dan mutasyabih memiliki makna yang beraneka ragam. Namun dari berbagai makna tersebut, secara umum muhkam dapat berarti mencegah atau menahan. Sedangkan kata mutasyabih dapat berarti serupa (mumatsalah) antara yang satu dengan yang lainnya.[14]
Ada perbedaan pendapat antara ulama mengenai definisi muhkam dan mutasyabih secara istilah. Akan tetapi pada akhirnya pendapat mereka mengacu bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah ayat-ayat yang jelas maknanya, jelas penunjukannya dan tidak mengandung pengertian ganda, sehingga tidak memerlukan penjelasan lain untuk memahami pengertian dan isinya. Dan inilah yang dikatakan sebagai pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam al-quran, yang harus menjadi rujukan dan landasan untuk memahami ayat-ayat yang lainnya.[15] Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah ayat-ayat yang mengandung banyak penafsiran, karena memiliki kesamaan dengan ayat-ayat yang lainya, baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
pada hakikatnya ayat-ayat al-quran bila dilihat dari ayat-ayat lain ada 3 (tiga) kategori, yaitu:[16]
4.      muhkamat secara mutlak.
5.      mutasyabih secara mutlak.
6.      muhkamat dari satu segi dan mutasyabih dari segi lain.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya susun. Saya sadar makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saran yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin..



DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu-Ilmu al- Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu Al Qur-an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Mashur, Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: Rineka cipta, 1992.
Hermawan, Acep, ‘Ulumul Quran, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
El-Mazni, Aunur Rafiq, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004. 
http://maragustamsiregar.wordpress.com/2010/12/16/ilmu-muhkam-dan-mutasyabih-dalam-alquran-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/



[1] El-Mazni, Aunur Rafiq, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004, hlm. 264-265.
[2] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008, hlm. 185
[3] M. Hasbi Ash-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur-an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002, hlm 170 .
[4] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008, hlm. 185
[5] Ibid., hlm. 190.
[6] Bandingkan dengan M. Hasbi Ash-Shidieqy, op.cit., hlm. 170-171
[7] Op.cit., hlm. 191
[8] Ibid., 191
[9] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, hlm. 400-401
[10] Op. cit., hlm. 192-193. Bandingkan dengan M. Hasbi Ash-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur-an, hlm. 170-171
[11] Op. cit. hlm 195-196
[12] Ibid. hal 197-198
[13] Op. cit. hlm. 404-405
[14] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008, hlm. 185
[15] Ibid., hlm. 190.
[16] Op.cit., hlm. 191

No comments: