Menu

Friday 1 November 2013

makalah hukum perdata tentang perwalian, adopsi



      I.         

   PENDAHULUAN
Dalam negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 menganut tiga sistem hukum yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat, dimana Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya.
Hal ini menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesi.Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW) yang notabenenya merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat).
Perwalian tidak lain merupakan suatu perbuatan hukum yang melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban sehingga dalam pelaksanaannya dituntut harus sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Sering orang berbicara atau bahkan melakukan atau mengemban tugas dan kewajiban sebagai wali tetapi tidak pernah tahu secara tepat di mana masalah perwalian itu diatur dan bagaimana perwalian itu harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga terjadilah tindakan-tindakan yang justru menyimpang atau menyeleweng dari tujuan sesungguhnya lembaga perwalian. Padahal, aturan hukum mengenai perwalian telah lama ada sebagaimana tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

   II.            PERMASALAHAN
Dalam makalah ini ada beberapa permasalahan yang akan dibahas diantaranya yaitu:
1.      Pengertian perwalian, adopsi, dan pengasuhan.
2.      Syarat-syarat.
3.      Anak sah dan anak luar kawin.

III.            PEMBAHASAN
a)      Pengertian perwalian, adopsi, dan pengasuhan.
Perwalian menurut KUH Perdata yaitu pada Pasal 330 ayat (3) menyatakan :“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”. Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan perwalian itu ada beberapa pengertian diantaranya:
Menurut Riduan Syahrani bahwa perwalian itu sama halnya seperti orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan – perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, kecuali atau pengampunya sedangkan penyelesain hutang – hutang piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh balai harta peninggalan.[1]
Sedangkan Prof. Subekti S.H mengatakan Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang. Anak yang berada dibawah perwalian, adalah[2]
1)      Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
2)      Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.
3)      Anak yng lahir dari luar pekawinan.
Menurut Abdul Kadir, perwalian pada dasarnya adalah setiap orang dewasa adalah cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum karena mmenuhi syarat umur menurut hukum. Akan tetapi, apabila orang dewasa itu dalam keadaan sakit ingatan atau gila, tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena boros, dia disamakan dengan orang yang belum dewasa dan oleh hukum dinyatakan tidak cakap atau tidak mampu melkukan perbuatan hukum diatur dalam hukum 330 KUHPerdata.[3]
pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.[4]
Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi antara lain:
Dalam kamus umum bahasa indonesia dijumpai arti kata anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Dalam ensiklopedia umum disebutkan:Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. : anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.[5]
Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-undang hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no. 557. Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang telah beristri atau telah pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Jadi disini hanya anak laki-laki yang dapat di angkat ( tetapi menurut perkembangan yurisprudensi sekarang ini, anak perempuan pun boleh diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak.[6]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses, perbuatan, atau cara mengasuh. pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia dewasa.ataubiasadisebutjugadenganmelakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.

b)      Syarat-syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pengangkatan anak adalah:
1)      Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-laki.
2)      Suami istri bersama-sama.
3)      Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat (persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1)      Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang tuanya.
2)       Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.
3)      Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak.
4)      Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak, maka diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah dewasa dan bapak mendiang suaminya.
Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari pihak bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke empat, yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia.
Disamping itu perbedaan umur antara anak yang akan di angkat dengan ayah angkatny, sekurang-kurangnya 18 tahun dan dengan ibunya sekurang-kurangnya 15 tahun.[7]
Sedangkan menurut kitab undang-undang hukum perdata pasal 331 a dan b menyatakan bahwa perwalian mulai berlaku:
1.      Bial oleh hakim di angkat seorang wali yang hadir, pada saat pengangkatan itu dilakukan, atau apabila pengangkatan itu dihadirinya, pada waktu  pengangkatan  diberitahukan kepadanya.
2.      Bila seorang wali diangkat  oleh salah satu dari orang tua, pada saat pengangkatan itu, karena meninggalnya pihak yang mengangkat, memperoleh kekuatan untuk berlaku dan pihak yang diangkat menyatakan kesanggupannya untuk menerima pengangkatan itu.
3.      Bila seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali oleh hakim atau oleh salah seorang dari kedua orang tua, pada saat ia,  dengan bantuan atau kuasa hakim, menyatakan sanggup menerima pegangkatan itu.
4.       Bila suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali,  pada saat menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.
Perwalian berakhir :
1)      Bila anak belum dewasa, setelah berada dibawah perwalian, kembali kekuasaan orang tua, karena bapak atau ibunya mendapat kekuasaan kembali, pada saat penetapan sehubungan dengan itu diberitahukan kepada walinya.
2)      Bila anak belum dewasa, setelah berada dibawah perwalian, kembali dibawah kekuasaan orang tua   berdasarkan pasal 206 a atau 323a, pada saat berlangsungnya perkawinan.
3)       Bila anak belum dewasa yang lahir diluar perkawinan  diakui menurut undang-undang, pada saat berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan sahnya si anak, atau pada saat pemberian surat pengesahan yang diatur dalam pasal 274.
4)      Bila dalam hal yang diatur dalam pasal 453 orang yang dibawah pengampuan memperoleh kembali kekuasaan orang tuanya, pada saat pengampuan itu berakhir.[8]
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
a.       Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata. Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.
b.       Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri. Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :“Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain” Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.
c.       Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata menentukan :“Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.[9]


c)      Anak sah dan anak luar kawin.
Pada garis besarnya Hukum Perdata juga membagi anak dalam dua bagian yaitu anak sah dan anak di luar perkawinan.
Menurut pasal 42  UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.[10]
Secara a contrario pasal tersebut menegaskan bahwa anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau sebagai akibat hubungan yang tidak sah. Jadi sejalan dengan ketentuan tersebut pengertian anak diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah atau tegasnya anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah.[11]Anak yang lahir di luar pernikahan dapat diakui oleh ayah dan ibunya. Melalui pengakuan anak, anak di luar pernikahan memperoleh pertalian dengan orang yang mengakuinya, tapi terbatas dengan yang mengakuinya saja. Pertalian dengan keluarga ayah dan ibunya baru terjawab melalui pengesahan anak yang mengharuskan mereka berdua nikah secara sah.[12] Hanya saja Hukum Perdata tidak mengenal pengakuan terhadap anak hasil zina.
Berdasarkan dua hukum di atas, dapat dipahami adanya motivasi yang berbeda dalam masalah pengakuan anak. Pengakuan dan pengesahan anak oleh Hukum Perdata lebih banyak dimotivasi oleh kebutuhan hukum pasangan suami isteri yang hidup bersama di luar nikah jika mereka sampai melahirkan keturunan, maka dibutuhkan legislasi hukum dalam bentuk pengakuan dan pengesahan anak agar anak yang terlanjur dilahirkan mempunyai status sebagai anak sah jika orang tuanya menghendaki.
Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah :
1)      Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.
2)      Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.
3)      Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li’an (diingkari) oleh suaminya.
4)      Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan.
5)      Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan.[13]

IV.            KESIMPULAN
Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pengangkatan anak adalah:
1.      Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-laki.
2.      Suami istri bersama-sama.
3.      Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat (persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1)      Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang tuanya.
2)       Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.
3)      Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak.
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan anak diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah atau tegasnya anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah.



   V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan, jika ada kesalahan dan kekurangan, itu semata-mata keterbatasan kami, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapakan dari Bapak dosen dan kawan-kawan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
http//:www.pengangkatan anak (adopsi) olehwasispriyanto,SH, MH.com
Muderis, Adopsi suatu tinjauan dari tiga sistem hukum, Jakarta: Sinar Grafika
Elise T. Sulistini, petunjuk praktis menyelesaikan perkara-perkara perdata, Jakarta: Bina aksara
RiduanSyahrani, SelukBelukdanAsas-AsasHukumPerdata. Bandung: PT alumni, 2006
Subekti, Pokok-PokokHukum Perdata.PT Intermasa, Bandung: 2003
SubektidanR.Tijrosudibo,KitabUndang-UndangHukumPerdata.PT. PradnyaParamita. Bandung: 2004.
Soedharyo Soimin, kitab undang-undang hukum perdata, Jakarta: sinar grafika, 2001
Undang-undang perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata-2/



[1]Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT alumni, 2006.hal.45-48.
[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.PT Intermasa, Bandung: 2003.hal.52
[3]SubektidanR.Tijrosudibo, KitabUndang-UndangHukumPerdata.PT. PradnyaParamita. Bandung: 2004. hal.133-134
[4] http//:www.pengangkatan anak (adopsi) olehwasispriyanto,SH, MH.com
[5]Muderis, Adopsi suatu tinjauan dari tiga sistem hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 4-5
[6]Elise T. Sulistini, petunjuk praktis menyelesaikan perkara-perkara perdata, Jakarta: Bina aksara, hal. 104
[7]Elise T. Sulistini, petunjuk praktis menyelesaikan perkara-perkara perdata, Jakarta: Bina aksara, hal. 104-105
[8]Soedharyo Soimin, kitab undang-undang hukum perdata, Jakarta: sinar grafika, 2001, hal. 90-91
[9] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata-2/
[10]Undang-undang perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, hal. 18
[11]http://www.dahran.net/dahran/articles.php?action=show&id=466
[12]Subekti, Pokok-PokokHukumPerdata(Cet. XVII; Jakarta: Intermasa, 1987), h. 48.
[13] http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam/

No comments: