ASBAB AL-NUZUL/ASBAB AL-WURUD DAN
IMPLIKASINYA DALAM PEMAHAMAN MAQASHID AL-SYARI’AH
I.
PENDAHULUAN
Al-Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW.
diyakini oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam. Kedua sumber ini tidak
hanya dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan saja, tetapi juga disebarluaskan
ke berbagai lapisan masyarakat.
Seluruh ayat yang terhimpun dalam mushaf
Al-Quran tidak dipermasalahkan oleh umat Islam tentang periwayatannya. Seluruh
lafazh yang tersusun dalam setiap ayat tidak pernah mengalami perubahan, baik
pada zaman Nabi maupun sesudah zaman Nabi. Jadi kajian yang banyak dilakukan
oleh umat Islam terhadap Al-Quran adalah kandungan dan aplikasinya, serta yang
berhubungan dengannya.
Oleh karena itu, Al-quran diyakini oleh
umat Islam sebagai firman Allah yang telah teruji reputasi kemukjizatannya.
Al-Quran juga telah mengikis habis keraguan orang-orang akan kehebatannya
dengan bukti-bukti yang telah diuji coba di hadapan orang-orang yang tidak
memercayainya dan ternyata mereka tidak mampu menandinginya. Hal ini
diungkapkan oleh Al-Quran:
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù't È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# w tbqè?ù't ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur c%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZÎgsß ÇÑÑÈ
Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya
jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
Untuk hadist Nabi, yang dikaji tidak hanya
kandungan dan aplikasi petunjuk serta yang berhubungan dengannya, tetapi juga Asbab
Al-Wurudnya. Penelitian diperlukan karena hadist yang sampai kepada umat
Islam telah melalui jalan periwayatan yang panjang, sepanjang perjalanan
sejarah kehidupan umat Islam. Di samping itu, perjalanan hadist yang
disampaikan dari generasi ke generasi, memungkinkan adanya unsur-unsur yang
masuk ke dalam periwayatan itu, baik unsur sosial maupun budaya dan masyarakat
generasi periwayatan hadist itu hidup.
Pengetahuan tentang maqashid syari’ah
adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami
redaksi Al-Quran dan As-Sunnah. Maqashid
al-syariah sebagai tujuan Allah dan rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum
Islam, sehingga ayat dan hadis yang jumlahnya terbatas secara kuantitatif dapat
dikembangkan untuk merespon pelbagai permasalahan yang tidak terbatas. Tujuan
hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan hukum Islam yang
dihasilkan melalui ijtihad.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam makalah ini akan membahas tentang
Asbab Al-Nuzul/Asbab Al-wurud dan implikasinya dalam pemahaman maqashid
al-syari’ah. Pembahasan tersebut terbagi dalam beberapa poin berikut:
A.
Maqashid
Al-Syari’ah
B.
Asbab Al-Nuzul
C.
Asbab Al-Wurud
D.
Implikasi
Asbab Al-Nuzul dan/atau Asbab Al-Wurud Dalam Pemahaman Maqashid Al-Syari’ah
III.
PEMBAHASAN
A.
Maqashid
Al-Syari’ah
Maqashid, jamak dari maqshid, berarti tujuan[1].
Syariah berarti syariat, jadi berarti tujuan- tujuan syariat. Maqashid
al-syariah, menurut Allal al-Fasi dapat
didefinisikan sebagai rahasia-rahasia yang diletakkan oleh Syari’ di setiap
hukum yang ditetapkan.[2]
Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam
menentukan hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad. Misalnya, syara’
mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan menegakkan agama Allah. Juga
disyariatkan hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan,
disyariatkannya hukuman pencurian untuk memelihara harta seseorang,
disyariatkannya hukuman khamr untuk memelihara akal, dan disyaraiatkan hukuman
qishash untuk memelihara jiwa seseorang. Dengan demikian, setiap hukum itu
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[3]
Dalam menjaga kemaslahatan manusia, setiap mujtahid dalam
mengistinbatkan hukum dari suatu kasus yang sedang dihadapi, harus berpatokan
kepada tujuan-tujuan syara’ dalam mensyariatkan hukum, sehingga hukum yang akan
ditetapkannya dapat sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Dengan
mewujudkan dan memelihara kelima pokok, seorang mukallaf akan mendapat
kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[4]
Peran maqashid al-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam tidak
dapat dipandang sebelah mata. Banyak ulama menyatakan bahwa sejak zaman
Rasulullah, sudah ada petunjuk yang mengacu kepada peranan penting maqashid
al-syariat dalam pembentukan hukum Islam. Seperti tindakan Rasulullah
yang pernah melarang ziarah kubur, lalu kemudian beliau membolehkan. Larangan
Rasulullah untuk berziarah kubur disebabkan oleh kekhawatiran akan ada pemujaan
yang berlebihan terhadap roh-roh orang yang dikubur atau kultus individu roh.
Pada masa awal Islam, iman kaum Muslim masih belum kokoh. Banyak hal yang masih
tercampur dengan kebiasaan dan budaya jahiliyyah. Ketika situasi berubah dan
tingkat keimanan umat Islam telah kuat, praktik ziarah kubur akhirnya
diijinkan karena illatnya, yakni kemungkinan penyalahgunaan ziarah, tak
ditemukan lagi.
B.
Asbab
Al-Nuzul
Dipandang dari segi peristiwa nuzul-nya, ayat Al-Quran ada
dua macam. Pertama, ayat yang diturunkan tanpa ada keterkaitanya dengan
sebab tertentu, tetapi semata-mata sebagai hidayah bagi manusia. Kedua,ayat
Al-Quran yang diturunkan lantaran adanya sebab atau kasus tertentu. Ayat-ayat
macam kedua inilah yang dibahas dalam kaitan pembicaraan Asbab Al-Nuzul.
Secara etimologis, Asbab Al-Nuzul merupakan rangkaian dari dua kata, yaitu Asbab dan Al-Nuzul. Kata Asbab merupakan jama’ dari kata sabab yang berarti sebab atau beberapa sebab. Dan Al-Nuzul yang
berarti turun. Di sini Asbab Al-Nuzul dapat diartikan sebagai turunya sesuatu,
atau sesuatu yang menyebabkan adanya peristiwa.[5]
Sedangkan secara
terminologis, terdapat banyak definisi tentang Asbab Al-Nuzul yang telah
diformulasikan para ulama’. Diantaranya adalah:
1.
Imam Az-Zarqani dalam Manahil Irfan memberikan definisi sebagai berikut: ”Asbab
Al-Nuzul adalah segala hal yang menyebabkan
sepotong ayat atau beberapa ayat diturunkan, atau untuk menerangkan hokum
sesuatu yang terjadi pada saat terjadinya sesuatu itu.”
2.
Imam Subhi Ash Shalih dalam Mabahistnya mendefinisikan Asbab
Al-Nuzul sebagai berikut: ”Asbab
Al-Nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan sepotong
ayat atau beberapa ayat diturunkan sebagai bukti adanya peristiwa, atau sebagai
jawaban terhadap suatu pertanyaan atau untuk menjelaskan hokum sesuatu yang
terjadi pada itu.”
Asbab
Al-Nuzul ialah suatu
peristiwa atau kejadian tertentu, kemudian turunlah satu atau beberapa ayat Al-Quran
mengenai peristiwa itu,atau suatu pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW.
untuk mengetahui hukum syara’ atau juga untuk menafsirkan sesuatu yang
berkaitan dengan agama, kemudian turun satu atau beberapa ayat.[6]
Peristiwa atau kejadian dan pertanyaan itu tentu saja terjadi pada
masa Nabi SAW. Kemudian turun satu atau beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan
hukum kasus yang terjadi atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Nabi
SAW. karena hakikatnya, Nabi SAW hanyalah sebagai pembawa risalah.
Dengan
sederhana, cara mengetahui asbab al-nuzul dapat dilakukan melalui periwayatan
yang shahih dengan melihat dari ungkapan perawi yang mengatakan “sabab nuzul
al-ayah kadza”. Ada kalanya asbab al-nuzul tidak diungkap dengan kata
sebab, tetapi diungkap dengan kalimat “fa nazalat”. Misalnya perawi
mengatakan “suila al-Nabi saw an kadza, fanazalat…”. Selain itu, terkadang
perawi mengungkapkan asbab al-nuzul dengan pernyataan “nuzilat hadzihi
al-ayah fi kaza.” Menurut jumhur ulama tafsir, apabila ungkapan perawi
demikian, maka hal itu merupakan pernyataan tegas dan dapat dipercaya sebagai
asbab al-nuzul ayat al-Qur’an. Akan tetapi ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip
al-Zarqani, berpendapat bahwa ungkapan “nuzilat hadzihi al-ayah fi kaza”
terkadang menyatakan sebab turunnya ayat, namun terkadang juga menunjukkan
kandungan ayat yang diturunkan tanpa sebab al-nuzul.[7]
Mengetahui Asbab Al-Nuzul sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat
yang mulia. Oleh sebab itu, para ulama’ sangat berhati-hati dalam memahami Asbab Al-Nuzul. Mengingat betapa
pentingnya Asbab Al-Nuzul, maka bisa
dikatakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau
diambil hukum darinya sebelum mengetahui secara pasti tentang Asbab Al-Nuzulnya.
Asbab Al-Nuzul tidak mungkin diketahui
berdasarkan pendapat, melainkan dari sumber riwayat yang shahih dan
mendengarkan dari orang-orang yang menyaksikan turunya ayat atau dengan
membahasnya dari para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama terpercaya. Dengan
demikian, di dalam membahas Asbab Al-Nuzul, pendapat atau
penafsiran tidak mempunyai peran yang berarti. Rosulullah SAW bersabda:
اتقواعنى الاماعلمتم
فانه من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: ”Berhati-hatilah
(dalam soal)riwayat dari sumberku, kecuali apa yang telah kalian ketahui.
Karena sesungguhnya, barangsiapa yang sengaja berdusta atasku, maka
bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Tirmidzi).
C.
Asbab
Al-Wurud
secara etimologis, Asbab Al-Wurud merupakan gabungan dari
dua kata. Pertama, Asbab, bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab atau
segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain atau penyebab
terjadinya sesuatu. Kedua, Al-Wurud, yanng merupakan bentuk isim masdar
dari kata warada-yaridu-wurudan yang berarti datang atau sampai.[8]
Hasbi Al-Shiddieqy memberikan definisi Asbab Al-Wurud sebagai “ílmu
yang menerangkan sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa beliau
menuturkanya.”
Daniel Juned mengatakan bahwa dalam konteks Asbab Al-Wurud
ini, bukan hanya hadist dalam makna tutur (qauliyah) sebagaimana
terlihat dalam definisi Hasbi Al-Shiddieqy,melainkan juga aksi (fi’liyah) dan
sikap (taqririyah) Nabi SAW.[9]
Bahwa seperti halnya ayat-ayat Al-Quran
yang tidak selalu ada sabab al-nuzulnya, demikian pula dengan hadist, tidak
semua hadist selalu ada sabab al-wurudnya. Adapun untuk hadist yang memiliki
sabab al-wurud, secara teknis ada dua cara yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sabab al-wurud, yaitu:[10]
1.
Diketahui dalam satu rangkaian hadist itu sendiri. Untuk kasus hadist
seperti ini, maka akan lebih mudah untuk memahami konteks pada saat hadist
tersebut disampaikan Nabi SAW.
2.
Sebab hadirnya hadist tidak tertuang dalam satu rangkaian redaksi
hadist, namun diketahui melalui hadist lain dengan sanad yang berbeda. Untuk
kasus sabab al-wurud jenis ini memang diperlukan usaha yang lebih komprehensip
dalam melakukan eksplorasi hadist-hadist lain yang memiliki relevansi dan pesan
yang serupa.
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadist juga
dikenal hadist yang memiliki Asbab
Al-Wurud khusus, ada
pula yang tidak. Untuk kategori yang pertama, menggunakan perangkat ilmu yang
disebut Asbab Al-Wurud dalam memaknai maknanya. Persoalannya
adalah bagaimana jika suatu hadist itu tidak memiliki Asbab Al-Wurud secara khusus. Di sinilah kemungkinan dilakukannya analisis pemahaman
hadist (fighul hadist) dengan pendekatan historis, sosiologis dan
antropologis.[11]
a.
Pendekatan Historis
Yang dimaksud pendekatan historis dalam
memahami hadist di sini adalah memahami hadist dengan cara memperhatikan dan
mengkaji situasi atau peristiwa yang terkait latar belakang munculnya hadist.
Dengan kata lain, pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan
cara mengkaitkan antara ide dan gagasan yang terdapat dalam hadist dengan
deteminasi-deter minasi sosial dan situasi historis-kultural yang mengitarinya
untuk kemudian didapatkan konsep ideal moral yang dapat di kontekstualisasikan
sesuai perubahan dan perkembangan zaman.
b.
Pendekatan sosiologis
Pendekatan sosiologis dalam memahami hadist
adalah cara untuk memahami hadist Nabi SAW. dengan memperhatikan dan mengkaji
keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya
hadist.
Pendekatan sosiologis akan menyoroti dari
sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku tersebut.
c.
Pendekatan antropologis
Jika antropologi dikaitkan dengan hadist,
maka hadist yang dipelajari adalah hadist sebagai fenomena budaya. Pendekatan
antropologis tidak membahas salah benarnya suatu hadist dan segenap
perangkatnya, seperti keshahihan sanadnya, matan dan lain sebagainya. Wilayah
pendekatan ini hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul yang
ada kaitanya dengan hadist tersebut.
Dengan demikian, pendekatan antropologi
dalam memahami hadist dapat diartikan sebagai suatu pendekatan dengan cara
melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadist tersebut
disabdakan. Dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada
tatanan nilai yang di anut dalam kehidupan masyarakat.
D.
Implikasi
Asbab Al-Nuzul dan/atau Asbab Al-Wurud Dalam Pemahaman Maqashid Al-Syari’ah
Beberapa ulama mengatakan tentang urgennya mengetahui asbab
al-nuzul atau asbab al-wurud untuk mengetahui hakikat makna yang terkandung
dalam ayat atau hadist.
Imam Al-Wahidi mengatakan : “tidak mungkin
orang bisa mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan
mengenai turunnya lebih dahulu”.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Id : “keterangan sebab
turunya ayat adalah cara yang kuat dan penting dalam memahami makna-makna
Al-quran.”
Imam Ibnu Taimiyah: “mengetahui ‘asbab
al-nuzul’ sangat membantu untuk memahami ayat. Sesungguhnya dengan mengetahui ‘sebab’
akan mendapatkan ilmu musabbab.”[12]
Berikut ini adalah beberapa Implikasi Asbab Al-Nuzul dan/atau Asbab Al-Wurud Dalam Pemahaman Maqashid Al-Syari’ah:[13]
1.
Membantu memahami Maqashid
al-Syari’ah dengan
tepat. Seseorang tidak akan mengetahui penafsiran sebuah ayat atau hadist
dengan benar, jika tidak mengetahui dengan tepat dalam konteks apa ayat atau
hadist itu hadir. Konteks atau latar tetap menjadi hal yang urgent untuk
diperhatikan dalam merespon sesuatu. Sebagai
contoh, turunnya surat al-Nur:11 merupakan respon terhadap hadis ifki yang
menyudutkan keluarga Nabi Muhammad.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# râä!%y` Å7øùM}$$Î/ ×pt6óÁãã ö/ä3YÏiB 4 w çnqç7|¡øtrB #u° Nä3©9 ( ö@t/ uqèd ×öyz ö/ä3©9 4 Èe@ä3Ï9 <ÍöD$# Nåk÷]ÏiB $¨B |=|¡tFø.$# z`ÏB ÉOøOM}$# 4 Ï%©!$#ur 4¯<uqs? ¼çnuö9Ï. öNåk÷]ÏB ¼çms9 ë>#xtã ×LìÏàtã ÇÊÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang
dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”
Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah r.a.
Ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H.
Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi
berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. dalam perjalanan
mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. 'Aisyah
keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. tiba-tiba Dia
merasa kalungnya hilang, lalu Dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu,
rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup.
setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat Dia duduk di tempatnya
dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat
ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya
seseorang sedang tidur sendirian dan Dia terkejut seraya mengucapkan:
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" 'Aisyah
terbangun. lalu Dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan
berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. orang-orang yang melihat
mereka membicarakannya menurut Pendapat masing-masing. mulailah timbul
desas-desus. kemudian kaum munafik membesar- besarkannya, Maka fitnahan atas
'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di
kalangan kaum muslimin.
2.
Membantu memahami sesuatu dengan lebih arif dan komprehensif. Ibnu
Taimiyah menjelaskan: “mengetahui
sebab itu akan menolong dalam memahami hadist atau ayat”. Karena mengetahui
sebab itu dapat mengetahui musabbab (persoalan).
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
Artinya: “dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Dalam hal shalat, ayat ini dapat dipakai sebagai landasan bagi
orang yang tidak mempedulikan sebab turun bahwa shalat dapat dilakukan dengan
menghadap ke arah mana saja, barat, timur, utara, selatan bahkan atas dan
bawah. Allah ada di mana-mana. Padahal, kalau kita mau jeli melihat sebab
turunnya ayat tentu pendapat semacam ini akan dapat dihindari. Turunnya ayat
ini sehubungan dengan kasus seorang sahabat yang berada dalam sebuah perjalanan
dan tidak dapat memastikan arah kiblat secara tepat. Ia pun berijtihad
menentukan arah kibat sesuai dengan keyakinannya. Ayat ini menegaskan bahwa
kemana pun arah shalat yang telah diyakininya tidak akan mengurangi sahnya
shalat. Ia tidak perlu mengulangi shalatnya di lain waktu ketika ia sudah
yakin arah shalat yang benar. Dengan demikian, ayat ini tidak bersifat umum
sebagaimana bunyi ayatnya, namun bersifat khusus seperti dalam kasus tersebut.
3.
Mengetahui mana dalil yang bersifat pengkhususan (takhsis) bagi dalil lain yang masih bersifat umum (’am), yang bersifat membatasi (taqyid) bagi yang masih bersifat mutlak
(mutlaq).
Adapun contohnya adalah hadist yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
Artinya: “shalat
orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil
berdiri” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadist tersebut masih
bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnah. Jika ditelusuri
melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang di maksud
“shalat”dalam hadist itu adalah shalat sunnah bukan shalat fardhu.
Asbabul wurud hadist tersebut adalah bahwa ketika itu
di Madinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka
kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu
itu, Nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnah
sambil duduk. Maka Nabi bersabda :”Shalat orang sambil duduk pahalanya
separoh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan Nabi
tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnah sambil
berdiri.
4.
Menjelaskan ‘illat
(sebab-sebab) ditetapkanya suatu keputusan tertentu.
5.
Menjelaskan maksud sebuah hadist yang masih problematic (sulit
dipahami).
IV.
KESIMPULAN
Pembahasan seputar asbab al-nuzul dan asbab al-wurud tak lepas dari
semangat memperhatikannilai sosio-historisitas al-Qur’an dan hadis. Untuk itu,
pencermatan terhadap Asbab mikro dan makro perlu dipertimbangkan dalam
melakukan istinbat hukum—atau ijtihad dalam konteks lain—sehingga nilai
aplikatif al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan hadis sebagai penjelasnya tetap
terpelihara sepanjang waktu.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya susun. Saya sadar makalah ini
banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saran yang membangun sangat saya
harapkan untuk perbaikan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amiin..
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik, Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Al-Asyri,
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/03/peran-asbab-al-nuzul-dalam-penggalian.html
Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fiqh,
Semarang: Dina Utama, 1994.
M. Syakur MF., ‘Ulumul Al-qur’an, Semarang:
PKPI2-FAI UNWAHAS, 2007.
Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an
Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Abdul Sattar, konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan
Pengaruhnya Terhadap Tampilan Redaksional Hadist, Semarang: 2012.
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era
Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: SUKA-Press, 2012.
[1] Atabik Ali,Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-Asyri, Yogyakarta: Multi
Karya Grafika, 2003, hlm. 1793.
[2]http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/03/peran-asbab-al-nuzul-dalam-penggalian.html
[7]
http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/03/peran-asbab-al-nuzul-dalam-penggalian.html
[8] Abdul Sattar, konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan Pengaruhnya
Terhadap Tampilan Redaksional Hadist, Semarang: 2012, hlm. 19-20
[11] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga
Kontemporer, Yogyakarta: SUKA-Press, 2012, hlm. 64.
No comments:
Post a Comment