I.
PENDAHULUAN
Pengadilan Agama
adalah pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara – perkara tertentu kekuasaan kehakiman itu sendiri
merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakan hukum
dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 demi
terselenggaranya Negara yang merdeka, yakni guna mengesahkan hukum
dan keadilan, maka segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak –
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang. [1]
Pengadilan Agama
adalah peradilan khusus kekuasaan pengadilan Agama ditunjukkan kepada tiga hal:
1) Kewengangannya
meliputi hukum keluarga Islam yang bersumber dari Alquran, sunah,
ijtihad
2) Kewenangan itu
hanya berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu mereka yang memeluk agama
Islam
3) Tenaga – tenaga
teknis pada peradilan Agama dipersyaratkan agama Islam
Di dalam
ketentuan Undang – Undang Peradilan Agama nomor 7 tahun 1989 pasal 49 ayat (1,2
dan 3) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara – perkara di tingkat pertama antara orang –
orang Islam yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, kewarisan, wasiat dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,wakaf dan shadaqah.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian Kumulasi
2.
Dasar Hukum Kumulasi
3.
Macam-macam Kumulasi
4.
Kumulasi Harta Bersama dalam Perceraian
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Kumulasi
Kata kumulasi
berasal dari bahasa latin cumulatus artinya
kumpulan tugas, kumpulan jabatan seseorang dalam masalah hukum,
maka kumulasi dapat diartikan penggabungan beberapa gugatan di muka hakim.
Menurut Mukti Arto kumulasi adalah gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan
beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama,
dalam satu proses perkara.[2]
Sedangkan menurut
Abdul Kadir Muhammad kumulasi sebagai pengumpulan, yakni pengumpulan beberapa
orang penggugat atau tergugat ataupun gabungan beberapa gugatan menjadi satu
gugatan saja atau dijadikan satu perkara dalam satu surat gugatan.[3]
Menurut beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kumulasi diartikan pengumpulan atau
penggabungan beberapa tuntutan atau gabungan beberapa pihak dalam satu surat
gugatan.
2. Dasar Hukum
Kumulasi
Pada dasarnya
undang – undang tidak melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa
orang tergugat. Penggabungan gugatan diperkenangkan apabila menguntungkan
proses, yaitu apabila antara gugatan yang digabungkan itu ada koneksitas dan
penggabungannya memudahkan pemeriksaan, serta akan dapat mencegah kemungkinan
adanya putusan saling bertentangan. Dasar hukum
kumulasi akan di fokuskan pada undang – undang nomor 7 tahun 1989 tentang
pengadilan agama khususnya yang terdapat dalam pasal 66 ayat (5) sebagai
berikut : permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama – sama dengan permohonan cerai talak
ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Pasal 86 ayat
(1) undang – undang nomor 7 tahun1989 berbunyi sebagai berikut: gugatan soal
pengusaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat
di ajukan bersama – sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan
perceraian memperoleh kekuasaan hukum tetap.
3. Macam – Macam
Kumulasi
Dalam praktek, penggabungan gugatan dapat terjadi
dalam 3 hal bentuk yaitu:
Perbarengan
Penggabungan
model ini dapat terjadi apabila seorang penggugat mempunyai beberapa tuntutan
yang menuju kepada suatu akibat hukum
saja. Apabila suatu tuntutan sudah terpenuhi maka tuntutan yang lainnya akan
terpenuhi pula. Penggabungan semacam ini akan menghemat waktu, tenaga dan lebih
praktis karena tiga perkara yang tujuannya sama dapat diselsesaikan sekaligus.[4]
Penggabungan Subyektif
Penggabungan model ini
dapat terjadi apabila penggugat lebih dari satu orang melawan lebih dari satu
orang tergugat, atau sebaliknya seorang penggugat melawan lebih dari satu orang
tergugat atau sebaliknya. Dalam
penggabungan subyektif, diharuskan ada keterkaitan erat mengenai masalah hukum
yang dihadapi penggugat dan yang terjadi tergugat sama.[5]
Penggabungan
Objektif
Yang dimaksud
kumulasi objektif adalah apabila dari salah satu objek gugatan dalam satu
perkara sekaligus. Meskipun penggabungan objek ini tidak diatur secara khusus
dalam peraturan perundang – undangan, tetap diperkenankan karena akan
memudahkan proses berperkara dan tidak bertentangan dengan prinsip – prinsip keadilan.[6]
Menurut Sudikno
Mertokusumo ada 3 hal dalam kumulasi objek yang tidak diperkenankan yaitu:
1) Penggabungan
antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus (perceraian) dengan acara
biasa ( misalnya mengenai pelaksanaan perjanjian)
2) Penggabungan dua
atau lebih tuntutan yang salah satu diantaranya hakim tidak berwenang secara
relatif untuk memeriksanya
3) Penggabungan
antara tuntutan mengenai besit dengan tuntutan mengenai besit dengan tuntutan
mengenai eigendom.
4. Kumulasi Harta
Bersama Dalam Perceraian
Ketentuan
hukum masalah harta bersama sebagian besar di periksa dalam sidang terbuka dan seluruh proses pemeriksaan yang
berkenaan dengan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup
untuk umum.
Prinsip
persidangan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Dalam perkara perceraian, pemeriksaan dilakukan dalam tertutup untuk umum
sesuai pasal 68 ayat (2) dan pasal 80 ayat (2) undang-undang nomor 7 tahun
1989. Sedang perkara yang menyangkut masalah harta, pemeriksaannya dilakukan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Perkara kumulasi
perceraian dengan gugatan harta bersama sifatnya adalah relatif berdasarkan
ketentuan pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) undang-undang nomor 7 tahun
1989 maka gugatan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan harta bersama;
apabila kedua perkara tersebut diajukan bersama-sama dalam satu gugatan
perceraian/permohonan talak atau terjadinya penggabungan tersebut karena adanya
gugatan rekonvensi dari tergugat/termohon maka kedua perkara tersebut harus
diperiksa sesuai ketentuan hukum acara yang melekat pada perkara tersebut;
untuk gugatan perceraian/permohonan talak acaranya adalah khusus maka harus
diperiksa dalam persidangan tertutup untuk umum, sedangkan untuk gugatan harta
bersama acaranya adalah acara umum/mengikat hukum acara tentang keberadaan
yakni sifatnya terbuka untuk umum maka pemeriksaannya harus dilakukan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Bahwa apabila kedua perkara tersebut diperiksa dalam
sidang tertutup yakni mengikuti acara pemeriksaan gugatan perceraian/permohonan
talak dengan dalil apapun juga, maka pemeriksaan terhadap harta bersama adalah
tidak sah apabila perkara tersebut diajukan upaya hukum (banding) maka Majlis
Hakim di tingkat banding patut untuk membatalkan putusan yang menyangkut harta
bersama.
Sebelum mengajukan perkara kumulasi disarankan agar
memperhitungkan untung ruginya karena
dalam hal kumulasi perkara diserahkan sepenuhnya kepada penggugat/termohon.
Berkaitan dengan pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat
(2) undang-undang nomor 7 tahun 1989, perlu adanya aturan atau petunjuk yang
khusus menyangkut tata cara pemeriksaannya karena perkara gugatan perceraian
dengan gugatan harta bersama berbeda hukum acaranya.
Dalam menghadapi perkara kumulasi, teknik
pemeriksaan dapat dilakukan secara bertahap sebagai berikut:
Tahap pertama : Pemeriksaan gugatan
perceraian dengan segala aspeknya sampi kepada tahap kesimpulan keseluruhannya
dilakukan dalam sidang kuhsus untuk umum.
Tahap kedua : Kemudian baru dilanjutkan dengan pemeriksaan gugatan pembagian
harta bersama sampai kepada tahap kesimpulan keseluruhannya dilakukan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Tahap ketiga : Rapat permusyawaratan hakim yang dilakukan secara rahasia.
Tahap keempat : pembacaan putusan mengenai kedua perkara yang digabung
tersebut dalam sidang terbuka untuk umum.
Dengan demikian, keseluruhan pemeriksaan, baik
gugatan perceraian, maupun harta bersama yang digabung menjadi sah putusannya
karena pemeriksaannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Apabila dalam praktek hakim menemukan perkara kumulasi gugatan
perceraian dan gugatan pembagian harta bersama, maka pertama-tama yang dilakukan
terlebih dahulu adalah memilah-milah dalil posita dan petitum yang berhubungan
dengan harta bersama karena kalau hal ini tidak dilakukan maka akan kebingungan
dalam pemeriksaan perkara apabila sudah sampai pada jawaban, Replik dan Duplik.
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian makalah
diatas dapat disimpulkansebagai berikut:
1.
Kumulasi
adalah pengumpulan
atau penggabungan beberapa tuntutan atau gabungan beberapa pihak dalam satu
surat gugatan.
2.
Dasar hukum kumulasi adalah Pasal 86 ayat (1) undang – undang nomor 7 tahun1989.
3. Macam – Macam
Kumulasi antara lain, Perbarengan,
Penggabungan Subyektif, Penggabungan
Objektif
Menurut Sudikno
Mertokusumo ada 3 hal dalam kumulasi objek yang tidak diperkenankan yaitu:
(1) Penggabungan
antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus (perceraian) dengan acara
biasa ( misalnya mengenai pelaksanaan perjanjian)
(2) Penggabungan dua
atau lebih tuntutan yang salah satu diantaranya hakim tidak berwenang secara
relatif untuk memeriksanya
(3) Penggabungan
antara tuntutan mengenai besit dengan tuntutan mengenai besit dengan tuntutan
mengenai eigendom
(4) Dalam
menghadapi perkara kumulasi, teknik pemeriksaan
dilakukan secara bertahap .
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, dan kami sadar dalam penyusunan makalah ini
pasti banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun penyajiannya
dan juga dengan sangat minimnya referensi yang kami cantumkan. Untuk itu kritik saran kami harapkan dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Arto, Mukti. 1996. Praktis
Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kadir Muhammad, Abdul.
1978. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Bandung: Alunium
Manan, Abdul. 2000. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Yayasan Al hikmah
Print, Darwa. 1992. Strategi Menyusun dan Mengenai
Gugatan Perdata. Jakarta: Citra Aditya
Sutannadi. 1999. Peranan Keadilan Agama dalam Rumah
Tangga dan Nilai Solusi, Makalah disamapikan pada seminar 10 tahun Undang –
undang Peradilan Agama. Jakarta.
[1]
Sutannadi. Peranan Keadilan Agama
dalam Rumah Tangga dan Nilai Solusi, Makalah disamapikan pada seminar 10
tahun Undang – undang Peradilan Agama. Jakarta.1999
[2]
Mukti Arto. Praktis Perkara
Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3]
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Acara
Perdata Indonesia. Bandung: Alunium
[4]
Abdul Manan. Hukum Acara Perdata
di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al hikmah
[5]
Darwa Print. Strategi Menyusun
dan Mengenai Gugatan Perdata. Jakarta: Citra Aditya
[6]
Ibid. Abdul Manan