Menu

Tuesday, 8 January 2013

makalah tentang kesaksian orang tua dalam perceraian


        I.         


   PENDAHULUAN
Cerai merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.
Perceraian bagi anak adalah “tanda kematian” keutuhan keluarganya, rasanya separuh “diri” anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi.
Dalam sosiologi, terdapat teori pertukaran yang melihat  perkawinan sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan kehilangan yang terjadi diantara sepasang suami istri. Karena perkawinan merupakan proses integrasi dua individu yang hidup dan tinggal bersama, sementara latar belakang sosial-budaya, keinginan serta kebutuhan mereka berbeda, maka proses pertukaran dalam perkawinan ini harus senantiasa dirundingkan dan disepakati bersama.
Amanah dan tanggungjawab ini hanya dapat dilaksanakan oleh kedua pasangan suami isteri dengan baik dan sempurna, jika keduanya menjadikan dasar ikatan atau perjanjian yang suci ini dengan bersumberkan iman dan taqwa kepada Allah swt. Selagi kedua pasangan ini menjadikan sumber pegangan mereka berpandukan dengan ajaran Islam, Insya Allah tujuan dan matlamat perkawinan yang didambakan akan berkekalan hingga ke akhir hayat mereka.

      II.            PERMASALAHAN
Dalam makalah ini ada permaslahan yang akan dibahas yaitu saksi orang tua dalam perceraian.

 III.            PEMBAHASAN
1.                  saksi orang tua dalam perceraian
Pada dasarnya melakukan perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, atau dengan kata lain terjadi yang namanya perceraian diantara suami istri. Menurut aturan Islam, perceraian diibaratkan seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit akibat lukanya, dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan "yang menyakitkan"  yang harus dijalani.itulah alasan mengapa jika tidak dapat rujuk lagi maka perceraian yang di ambil. Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut "talak" atau "furqoh" adapun arti dari talak adalah membuka ikatan membatalakan perjanjian. Adapun yang di maksud dengan putusnya perkawinan adalah berkhirnya perkawinan yang telah di bina oleh pasangan suami istri yang di sebabkan oleh beberapa hal seperti kematian,  perceraian dan atas putusan pengadilan. [1]
Dalil dasar hukum perceraian talak (QS.Al-Baqarah 2:229)
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Sedangkan dalam sebuah matan hadis sudah dijelaskan bahwa meskipun di perbolehkan melakukan perceraian tetapi perbuatan itu sangat di benci oleh Allah STW.
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ.
Artinya:
“Kami (Abu Daud) mendapatkan cerita dari Kasir bin Ubaid; Kasir bin Ubaid diceritakan oleh Muhammad bin Khalid dari Muhammad bin Khalid dari Mu’arraf in Washil dari Muharib bin Ditsar; dari Ibnu Umar dari Nabi SAW yang bersabda:”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian”.[2]
Dalam yurisprudensi perkara perceraian sudah di jelaskan bahwa di pengadilan agama perceraian itu dapat terjadi jika:
a.       “ dikarenakan perselisihan yang terus menerus dan sudah tidak dapat didamaikan kembali serta sudah tidak satu atap lagi/tidak serumah karena tidak disetujui oleh keluarga kedua belah pihak, maka dapat dimungkinkan jatuhnya ikrar talak”. {Putusan MARI nomor 285 K/AG/2000 Tanggal 10 November 2000}.
b.       “Suami isteri yang telah pisah tempat tinggal selama 4 (empat) tahun dan tidak saling memperdulikan sudah merupakan fakta adanya perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan gugatan perceraian” {Putusan MARI nomor 1354 K/Pdt/2000 Tanggal 8 September 2003}.
c.       “Perceraian dapat dikabulkan apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 19 f Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”. {Putusan MARI nomor 237 K/AG/1998}.
d.       “Bahwa dalam hal perceraian tidak perlu dilihat dari siapa penyebab percekcokan atau salahsatu pihak telah meninggalkan pihak lain, tetapi yang perlu dilihat adalah perkawinan itu sendiri apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan lagi atau tidak”.(putusan MARI nomor 534 K/pdt/1996 tanggal 18 juni 1996)
e.        “Hakim berkeyakinan bahwa rumah tangga kedua belah pihak antara Pemohon dan Termohon benar telah retak dan sulit untuk dirukunkan kembali, maka cukup alasan bagi hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk menjatuhkan talak satu kepada Termohon”.(putusan MARI nomor 09 K/AG/1994 tanggal 25 nopember 1884)
f.        “Perceraian tidak dapat dikabulkan apabila tidak memenuhi alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 f PP No. 9 Tahun 1975”.(putusan MARI nomor 237 K/AG/1995 tanggal 30 agustus 1995)
g.        “Perceraian dapat dikabulkan karena telah memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, Pasalhuruf f PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 f Kompilasi Hukum Islam”.(putusan MARI nomor 138 K/AG/1995 tanggal 26 juli 1996.
Dalam perceraian sering kali hakim mengharuskan adanya seorang saksi Hakim biasanya meminta saksi minimal 2 orang saksi.
Pada prinsipnya hakim mengharuskan untuk mendengar dan memeriksa keluarga dekat suami isteri. Jika ternyata keluarga dekat tidak ada atau jauh dan sulit untuk dihadirkan ke dalam persidangan, maka hakim dapat memerintahkan para pihak untuk menghadirkan siapa saja orang yang dekat dengan mereka, bila tidak dapat menghadirkanya setelah diperintahkan untuk waktu yang cukup maka tidak perlu menghadapkannya, bila duduk perkaranya sudah sukup terang, sebab keterangan mereka adalah kepentingan para pihak. Bila pihak Tergugat yang tidak mampu atau tidak mau menghadirkannya maka hakim dapat menganggap tergugat mengakui dalil-dalil Penggugat Saksi keluarga didengar keteranganya tentang sebab-sebab dan sifat-sifat perselisihan antara suami isteri, karena merekalah yang paling dekat, lebih tahu tentang situasi rumah tangga suami isteri.
Dan nilai kesaksian saksi dari keluarga itu sendiri Saksi keluarga dan orang-orang dekat adalah saksi yang kedudukannya sama dengan saksi-saksi dalam perkara, maka pemeriksaannya dilaksanakan pada tahap pembuktian, karenanya mereka didudukan secara formil harus disumpah dan keterangan yang mereka berikan memenuhi syarat materiil yakni keterangan yang mereka berikan berdasar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sendiri, yang kemudian keterangan yang mereka berikan saling berkesesuaian dengan saksi atau alat bukti lain dan yang mereka berikan sah serta bernilai alat bukti olehnya bernilai kekuatan pembuktian.
Bila mereka diajukannya sebelum pembuktian maka sebagai perdamaian saja.
Keterangan mereka disumpah berarti bertentangan dengan Paal 145 dan 146 HIR/172 Rbg. Hal itu tidak mengapa, karena apa yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah kehendak dari Undang-undang itu sendiri yang merupakan aturan pengecualian dan ketentuan khusus dalam perkara perceraian atas dasar alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, tidak bisa diterapkan dalam perkara perceraian  yang lain. Rasionya keterlibatan keluarga sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Pada umumnya keluarga akan bersikap lebih ingin mempertemukan dan meyatukan kembali ikatan perkawinan. Jarang yang berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangga anak atau adiknya, kecuali jika keadaannya sudah benar-benar parah. Biasanya orang yang selalu dekat dengan suami atau isteri siapa lagi kalau bukan keluarga, jarang orang tua yang tidak tahu segala peristiwa yang terjadi dalam rumah tangga suami isteri.
Apabila keluarga tidak bersedia di sumpah dalam memberikan keterangannya hanya dapat di jadikan sebagai bukti persangkaan hakim yang hanya dapat di jadikan alat bukti permulaan sehingga harus di tambah dengan bukti lainnya.
Pada umumnya dalam perkara perdata, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah surat (bukti tertulis) kecuali perkara perceraian, kemudian saksi, karenanya dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 KUH Perdata, surat menduduki tempat teratas dari seluruh alat bukti. Lain halnya dengan perkara pidana, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah saksi karena hampir semua perbuatan pidana (feit) itu disaksikan/diketahui, karenanya pula dalam Pasal 184 KUHAP, saksi menduduki tempat teratas dari seluruh  alat bukti.
1. Surat
Sekalipun sudah dinazegelen (pemateraian terlambat) di kantor pos, masih harus diperlihatkan/dicocokan dengan aslinya oleh Hakim  yang memeriksa perkara, dan hingga kini Mahkamah Agung tidak menerima surat bukti yang tidak ada aslinya. Namun secara kasuistis (dalam kondisi tertentu) masih dimungkinkan adanya kompromi, yaitu :
a. Surat asli tidak dapat diperlihatkan, dalam hal ini adalah bijaksana jika hakim tidak serta merta menolaknya, karena dapat saja surat aslinya itu berada pada pihak lawannya yang justru akan diajukannya.
b. Surat asli yang sudah tidak mungkin ditemukan, misalnya antara lain, surat menyurat sebagai alas hak (rechts titel) dari harta benda bantuan dari bank dunia pasca tsunami Aceh, maka surat berupa fotokopi itu dapat menjadi bukti permulaan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1996 tanggal 17 September 1998, yang menyatakan bukti fotokopi kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta tidak dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain, maka tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan.
c. Surat bukti berupa fotokopi dari fotokopi dapat diterima sebagai bukti guna menunjang pengakuan Tergugat (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1498 K/Pdt/2006 tanggal 23 Januari 2008).
2. Saksi
a. Untuk keterangan saksi haruslah diperhatikan syarat formiel dan syarat materiil dari kesaksian, juga keterangan saksi tidak perlu dikonfrontir (cross examination)  dengan pihak lawan (tidak berlaku mutlak) karena pasti dibantah, anjurkan untuk disampaikan pada kesimpulan. Lain halnya dengan perkara pidana yang mencari kebenaran materiil(materiel warheid) serta hakimpun harus meyakini kebenaran akan keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).
b. Saksi de Auditu/Hearsay
Testimonium de Auditu adalah kesaksian yang keterangannya didapat dari orang lain, bukan dengan cara melihat, mendengar dan mengalami sendiri akan peristiwanya.Dalam khazanah Peradilan Islam,  dikenal dengan  Syahadah Istifadhah atau kesaksian bersifat Muan’an yakni kesaksian yang didapat dari orang lain.Kesaksian ini dapat terjadi pada perkara pengesahan nikah dan wakaf, karena peristiwanya telah lama terjadi.Menurut putusan Mahkamah  Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November1959,  Testimoniu de Auditu tidak  dapat  digunakan  sebagai alat bukti    langsung,
c. Saksi Keluarga/Orang Dekat
Penerapan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun  1975 jo.Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, adalah bersifat imperatif, yaitu mendengarkan keterangan pihak keluarga serta orang dekat dengan suami istri.Sifat imperatifnya bagi Pengadilan adalah dapat dilihat dari pendirian Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan sela, dengan memerintahkan Pengadilan Agama untuk melakukan pemeriksaan tambahan, yakni memeriksa pihak keluarga atau orang dekat dengan suami istri sebagai saksi, dikarenakan belum didengar keterangannya.Pendirian Mahkamah Agung ini mengandung anti bahwa pemerikasaan saksi yang berasal dari keluarga  atau orang dekat dari suami istri itu sebagai keharusan, akan tetapi keharusannya itu bukanlah yang dapat mengancam batalnya putusan Pengadilan Agama. Kalau demikian berarti Mahkamah Agung menganggap bahwa sifat imperatifnya itu bukanlah sebagai pelanggaran yang berkualitas tinggi yang dapat membatalkan putusan Pengadilan Agama, melainkan cukup dengan pemeriksaan tambahan saja.Apabila pendirian Mahkamah Agung tersebut, dikaitkan dengan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, maka tujuannya harus dipahami, yaitu untuk mengetahui/membuktikan bahwa rumah tangga suami istri itu sudah sulit untuk didamaikan, sehingga menurut penulis jika seandainya telah diyakini bahwa rumah tangga tersebut sudah sangat sulit untuk dirukunkan kembali, maka secara mafhum mukhalafah (a contrario), dengan hanya diajukan saksi masing-masing satu saja karena ketiadaan saksi lagi oleh suami istri  yang meskipun secara kuantitas tidak mencapai batas minimal dari pada kesaksian, tidaklah akan mengakibatkan minimumnya pembuktian saksi, sehingga tidak melanggar ketentuan Pasal 169 HIR, yaitu unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi).
Sedangkan nilai kekuatan dan batas minimal pembuktian alat bukti saksi yaitu nilai kekuatan pembuktiannya bersifat bebas (vrij bewijskracht) nilai kekuatan pembuktian saksi bersifat bebas, di simpulkan dari pasal 1908 KUH perdata, pasal 172 HIR, menurut pasal tersebut hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasarkan nilai kesamaan atau saling berhubungannya saksi satu dengan yang lain. Jadi berbeda dengan alat bukti akta, memiliki nilai kekuatan yang sempurna dan mengikat. Maksud pengertian nilai kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah
1.               Kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan dianggap: tidak sempurna dan tidak mengikat, hakim tidak wajib terikatn  untuk menerima atau menolak kebenarannya.
2.               Dengan demekian hakim bebas dengan sepenuhnya  menerima atau menolak kebenarannya, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pembuktian.
Sedangkan dalam hal batas minimal pembuktiannya
1)   Unus testis nullus testis
Prinsipnya di tegaskan dalam pasal 1905 KUH perdata , pasal 169 HIR bahwa seorang saksi bukan kesaksian, berarti seorang saksi saja  belum mencapai batas miniamal pembuktian.
2)      Paling sedikit dua orang saksi, jika alat bukti yang hendak di ajukan terdiri dari saksi maka,  bertitik tolak dari ketentuan pasal 169 HIR agar tercapai  batas minimal pembuktian saksi yang akan di hadirkan  di persidangan,  paling sedikit dua orang saksi yang memenuhi syarat formil  dan materiil.
3)      Paling sedikit satu orang saksi  di tambah satu alat bukti yang lain, penggarisan ini di jelaskan oleh pasal 1905 KUH perdata  pasal 169 HIR yang mengatakan  keterangan saksi saja tanpa alat bukti yang lain di depan sidanng, tidak boleh di percaya, karena tidak mencapai batas minimal pembuktian. Berarti kalau alat bukti yang ada di persidangan  hanya terdiri dari seorang saksi saja tidak mencapai batas minimal pembuktian palling tidak harus di tamabah alat bukti yang lain seperti akta, persangkaan dll.[3]
Sedangkan di tinjau dari sifatnya  alat bukti yang di sebut dalam pasal 1866 KUH perdata, pasal 164 HIR dapat di klasifikasikan
1)                  Alat bukti langsung (Direct evidence)
Disebut alat bukti langsuang karena  di ajukan secara fisik oleh pihak  yang berkepintinagn di depan persidangan. Alat buktinya di ajukan dan di tampilkan  dalam proses pemeriksaan secara fisik yang tergolong alat bukti langsung adalah  alat bukti surat dan alat bukti saksi.
Alat bukti tidak langsung maksudnya pembuktian yang di ajukan  tidak bersifat fisik, tetapi yang di peroleh dari kesimpulan dari hal atau peristiwa  yang terjadi di persidangan yang termasuk alat bukti tak langsung adalah  alat bukti persangkaan  (vermoeden).[4]
3. Sumpah
Pengaturan sumpah tambahan (Suppletoir Eed/Aanvullend Eed) ditemui pada Pasal 155 HIR/Pasal 182 R.Bg/Pasal 1941 KUH Perdata yang dalam khazanah Peradilan Islam di kenal dengan  Yamien aI Istizhaar, di mana  Hakim  baru diperkenankan melakukan sumpah tambahan, jika dalil gugatan atau bantahan tidak terbukti secara sempurna.Dalam penerapan sumpah tambahan ini sangat diperlukan kepiawaian dan rasa keadilan dari hakim  dalam  pengalokasian (pembebanannya), kepada  siapa yang lebih pantas, Penggugat atau Tergugat, karena akan membawa resiko, mengingat disaat para pihakhanya mampu mengajukan bukti permulaan yang dianggap berbobot sama, padahal sesungguhnya takarannya tidak sama persis,  Hakim di sini berwenang, bukan berkewajiban 3 untuk memerintahkan salah satu pihak untuk bersumpah, yang tentu saja apabila salah (tidak tepat) dalam pengalokasiannya (pembebanannya), maka akan merugikan pihak yang seharusnya lebih berhak untuk bersumpah.Apabila Hakim berpendapat bahwa tidak ada pihak yang pantas untuk dibebani sumpah tersebut (Hakim tidak yakin), sebaiknya sumpah tersebut jangan dibebankan dan perkara ditolak saja.
4.Descente/Plaatselijke Onderzoek/Plaaatsopneming/Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat (PS) atau lebih tepat disebut sidang pemeriksaan setempat (SPS), dapat dilakukan sebelum atau sesudah pemeriksaan alat bukti (tergantung urgensi), jangan sampai terjadi kesalahan  Hakim  di mana dilakukan setelah pemeriksaan alat bukti, sementara  perkara tersebut diputus dengan dinyatakan gugatan tidak diterima  (niet onvanklijke verklaard/NO) di karenakan pada waktu  pemeriksaan setempat baru didapat fakta bahwa objek perkara tidak diketemukan/tidak jelas identitas dan keberadaanya. Padahal dari jawab berjawab sebelum tahap pembuktian, Hakim sudah dapat mengetahui kapan sidang pemeriksaan setempat itu dilakukan (sebelum atau sesudah pembuktian). Pemeriksaan setempat juga atas inisiatif Hakim dan dapat juga atas permintaan para pihak (perhatikan SEMA Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat).
5. Novum Untuk Perkara Peninjauan Kembali (PK).
Dalam perkara peninjauan kembali, adanya novum (bukti baru) dalam hal ini bukti surat adalah suatu bukti yang menentukan yang tidak/belum pernah diajukan dalam perkara sebelumnya, bukan yang dibuat/diadakan setelah perkara diputus dan telah berkekuatan hukum tetap.Terhadap bukti (surat) baru tersebut disidangkan dengan Hakim Tunggal atas dasar PHS dari Ketua Pengadilan Agama, dan yang disumpah adalah yang menemukan surat itu (Pemohon Peninjauan Kembali) dengan kata/lafaz sumpahnya menyebut kapan surat tersebut didapat/diketemukan yang dituangkan dalam berita acara persidangan.Serang, 2 April 2012
 IV.            KESIMPULAN
Pada umumnya dalam perkara perdata, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah surat (bukti tertulis) kecuali perkara perceraian, kemudian saksi, karenanya dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 KUH Perdata, surat menduduki tempat teratas dari seluruh alat bukti. Lain halnya dengan perkara pidana, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah saksi karena hampir semua perbuatan pidana (feit) itu disaksikan/diketahui, karenanya pula dalam Pasal 184 KUHAP, saksi menduduki tempat teratas dari seluruh  alat bukti. Untuk keterangan saksi haruslah diperhatikan syarat formiel dan syarat materiil dari kesaksian, juga keterangan saksi tidak perlu dikonfrontir (cross examination)  dengan pihak lawan (tidak berlaku mutlak) karena pasti dibantah, anjurkan untuk disampaikan pada kesimpulan. Lain halnya dengan perkara pidana yang mencari kebenaran materiil(materiel warheid) serta hakimpun harus meyakini kebenaran akan keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).
Saksi de Auditu/Hearsay Testimonium de Auditu adalah kesaksian yang keterangannya didapat dari orang lain, bukan dengan cara melihat, mendengar dan mengalami sendiri akan peristiwanya.Dalam khazanah Peradilan Islam,  dikenal dengan  Syahadah Istifadhah atau kesaksian bersifat Muan’an yakni kesaksian yang didapat dari orang lain.Kesaksian ini dapat terjadi pada perkara pengesahan nikah dan wakaf, karena peristiwanya telah lama terjadi.Menurut putusan Mahkamah  Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November1959, Saksi Keluarga/Orang Dekat Penerapan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun  1975 jo.Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, adalah bersifat imperatif, yaitu mendengarkan keterangan pihak keluarga serta orang dekat dengan suami istri.Sifat imperatifnya bagi Pengadilan adalah dapat dilihat dari pendirian Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan sela, dengan memerintahkan Pengadilan Agama untuk melakukan pemeriksaan tambahan, yakni memeriksa pihak keluarga atau orang dekat dengan suami istri sebagai saksi, dikarenakan belum didengar keterangannya.Pendirian Mahkamah Agung ini mengandung anti bahwa pemerikasaan saksi yang berasal dari keluarga  atau orang dekat dari suami istri itu sebagai keharusan, akan tetapi keharusannya itu bukanlah yang dapat mengancam batalnya putusan Pengadilan Agama.


    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan, jika ada kesalahan dan kekurangan, itu semata-mata keterbatasan kami, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapakan dari Bapak dosen dan kawan-kawan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
M. yahya Harahap. Hukum acara perdata. Sinar grafika. Jakarta: 2005



[3] Harahap yahya. Hukum acara perdata. Sinar grafika. Jakarta: 2005. Hal.548-549
[4] Ibid hal.558

No comments: