I.
PENDAHULUAN
Cerai
merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan
untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya
sebagai suami istri.
Perceraian
bagi anak adalah “tanda kematian” keutuhan keluarganya, rasanya separuh “diri”
anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai
dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam.
Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya
yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi.
Dalam sosiologi, terdapat teori pertukaran yang
melihat perkawinan sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan
kewajiban serta penghargaan dan kehilangan yang terjadi diantara sepasang suami
istri. Karena perkawinan merupakan proses integrasi dua individu yang hidup dan
tinggal bersama, sementara latar belakang sosial-budaya, keinginan serta
kebutuhan mereka berbeda, maka proses pertukaran dalam perkawinan ini harus
senantiasa dirundingkan dan disepakati bersama.
Amanah dan tanggungjawab ini
hanya dapat dilaksanakan oleh kedua pasangan suami isteri dengan baik dan
sempurna, jika keduanya menjadikan dasar ikatan atau perjanjian yang suci ini
dengan bersumberkan iman dan taqwa kepada Allah swt. Selagi kedua pasangan ini
menjadikan sumber pegangan mereka berpandukan dengan ajaran Islam, Insya Allah
tujuan dan matlamat perkawinan yang didambakan akan berkekalan hingga ke akhir
hayat mereka.
II.
PERMASALAHAN
Dalam makalah
ini ada permaslahan yang akan dibahas yaitu saksi
orang tua dalam perceraian.
III.
PEMBAHASAN
1.
saksi orang tua dalam perceraian
Pada dasarnya melakukan perkawinan adalah bertujuan untuk
selama-lamanya, tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang menyebabkan
perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa
putus dengan sendirinya, atau dengan kata lain terjadi yang namanya perceraian
diantara suami istri. Menurut aturan Islam, perceraian diibaratkan seperti
pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit
akibat lukanya, dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh
lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika
perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai
kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan "yang
menyakitkan" yang harus dijalani.itulah
alasan mengapa jika tidak dapat rujuk lagi maka perceraian yang di ambil.
Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut "talak" atau
"furqoh" adapun arti dari talak adalah membuka ikatan membatalakan
perjanjian. Adapun yang di maksud dengan putusnya perkawinan adalah berkhirnya
perkawinan yang telah di bina oleh pasangan suami istri yang di sebabkan oleh
beberapa hal seperti kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. [1]
Dalil dasar hukum perceraian talak (QS.Al-Baqarah 2:229)
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا
مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Sedangkan
dalam sebuah matan hadis sudah dijelaskan bahwa meskipun di perbolehkan
melakukan perceraian tetapi perbuatan itu sangat di benci oleh Allah STW.
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ.
Artinya:
“Kami
(Abu Daud) mendapatkan cerita dari Kasir bin Ubaid; Kasir bin Ubaid diceritakan oleh Muhammad
bin Khalid dari Muhammad bin Khalid dari Mu’arraf in Washil dari Muharib bin
Ditsar; dari Ibnu Umar dari Nabi SAW yang bersabda:”Perkara halal yang paling dibenci
Allah adalah perceraian”.[2]
Dalam yurisprudensi perkara perceraian sudah di jelaskan
bahwa di pengadilan agama perceraian itu dapat terjadi jika:
a. “ dikarenakan
perselisihan yang terus menerus dan sudah tidak dapat didamaikan kembali serta
sudah tidak satu atap lagi/tidak serumah karena tidak disetujui oleh keluarga
kedua belah pihak, maka dapat dimungkinkan jatuhnya ikrar talak”. {Putusan MARI
nomor 285 K/AG/2000 Tanggal 10 November 2000}.
b. “Suami isteri yang telah pisah tempat tinggal
selama 4 (empat) tahun dan tidak saling memperdulikan sudah merupakan fakta
adanya perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup
rukun dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan gugatan
perceraian” {Putusan MARI nomor 1354 K/Pdt/2000 Tanggal 8 September 2003}.
c. “Perceraian dapat
dikabulkan apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 19 f Peraturan pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975”. {Putusan MARI nomor 237 K/AG/1998}.
d. “Bahwa dalam hal perceraian tidak perlu
dilihat dari siapa penyebab percekcokan atau salahsatu pihak telah meninggalkan
pihak lain, tetapi yang perlu dilihat adalah perkawinan itu sendiri apakah
perkawinan itu masih dapat dipertahankan lagi atau tidak”.(putusan MARI nomor
534 K/pdt/1996 tanggal 18 juni 1996)
e. “Hakim berkeyakinan bahwa rumah tangga kedua
belah pihak antara Pemohon dan Termohon benar telah retak dan sulit untuk
dirukunkan kembali, maka cukup alasan bagi hakim mengabulkan permohonan Pemohon
untuk menjatuhkan talak satu kepada Termohon”.(putusan MARI nomor 09 K/AG/1994
tanggal 25 nopember 1884)
f. “Perceraian tidak dapat dikabulkan apabila
tidak memenuhi alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 f PP No. 9
Tahun 1975”.(putusan MARI nomor 237 K/AG/1995 tanggal 30 agustus 1995)
g. “Perceraian dapat dikabulkan karena telah
memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, Pasalhuruf f PP No. 9
Tahun 1975 dan Pasal 116 f Kompilasi Hukum Islam”.(putusan MARI nomor 138
K/AG/1995 tanggal 26 juli 1996.
Dalam perceraian sering kali hakim mengharuskan adanya
seorang saksi Hakim biasanya meminta
saksi minimal 2 orang saksi.
Pada prinsipnya hakim mengharuskan untuk mendengar dan memeriksa keluarga dekat
suami isteri. Jika ternyata keluarga dekat tidak ada atau jauh dan sulit untuk
dihadirkan ke dalam persidangan, maka hakim dapat memerintahkan para pihak
untuk menghadirkan siapa saja orang yang dekat dengan mereka, bila tidak dapat
menghadirkanya setelah diperintahkan untuk waktu yang cukup maka tidak perlu
menghadapkannya, bila duduk perkaranya sudah sukup terang, sebab keterangan
mereka adalah kepentingan para pihak. Bila pihak Tergugat yang tidak mampu atau
tidak mau menghadirkannya maka hakim dapat menganggap tergugat mengakui
dalil-dalil Penggugat Saksi keluarga didengar keteranganya tentang sebab-sebab
dan sifat-sifat perselisihan antara suami isteri, karena merekalah yang paling
dekat, lebih tahu tentang situasi rumah tangga suami isteri.
Dan nilai kesaksian
saksi dari keluarga itu sendiri Saksi keluarga dan orang-orang dekat adalah
saksi yang kedudukannya sama dengan saksi-saksi dalam perkara, maka
pemeriksaannya dilaksanakan pada tahap pembuktian, karenanya mereka didudukan
secara formil harus disumpah dan keterangan yang mereka berikan memenuhi syarat
materiil yakni keterangan yang mereka berikan berdasar pendengaran, penglihatan
atau pengalaman sendiri, yang kemudian keterangan yang mereka berikan saling
berkesesuaian dengan saksi atau alat bukti lain dan yang mereka berikan sah
serta bernilai alat bukti olehnya bernilai kekuatan pembuktian.
Bila mereka
diajukannya sebelum pembuktian maka sebagai perdamaian saja.
Keterangan mereka
disumpah berarti bertentangan dengan Paal 145 dan 146 HIR/172 Rbg. Hal itu
tidak mengapa, karena apa yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 adalah kehendak dari Undang-undang itu sendiri yang
merupakan aturan pengecualian dan ketentuan khusus dalam perkara perceraian
atas dasar alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, tidak bisa
diterapkan dalam perkara perceraian yang lain. Rasionya keterlibatan
keluarga sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Pada
umumnya keluarga akan bersikap lebih ingin mempertemukan dan meyatukan kembali
ikatan perkawinan. Jarang yang berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangga
anak atau adiknya, kecuali jika keadaannya sudah benar-benar parah. Biasanya
orang yang selalu dekat dengan suami atau isteri siapa lagi kalau bukan
keluarga, jarang orang tua yang tidak tahu segala peristiwa yang terjadi dalam
rumah tangga suami isteri.
Apabila keluarga tidak bersedia di sumpah dalam memberikan keterangannya
hanya dapat di jadikan sebagai bukti persangkaan hakim yang hanya dapat di
jadikan alat bukti permulaan sehingga harus di tambah dengan bukti lainnya.
Pada umumnya dalam perkara perdata, alat
bukti yang banyak dipergunakan adalah surat (bukti tertulis) kecuali perkara
perceraian, kemudian saksi, karenanya dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal
1866 KUH Perdata, surat menduduki tempat teratas dari seluruh alat bukti. Lain
halnya dengan perkara pidana, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah saksi
karena hampir semua perbuatan pidana (feit) itu disaksikan/diketahui, karenanya
pula dalam Pasal 184 KUHAP, saksi menduduki tempat teratas dari seluruh alat bukti.
1.
Surat
Sekalipun sudah
dinazegelen (pemateraian terlambat) di kantor pos, masih harus
diperlihatkan/dicocokan dengan aslinya oleh Hakim yang memeriksa perkara, dan hingga kini
Mahkamah Agung tidak menerima surat bukti yang tidak ada aslinya. Namun secara
kasuistis (dalam kondisi tertentu) masih dimungkinkan adanya kompromi, yaitu :
a. Surat asli tidak dapat
diperlihatkan, dalam hal ini adalah bijaksana jika hakim tidak serta merta
menolaknya, karena dapat saja surat aslinya itu berada pada pihak lawannya yang
justru akan diajukannya.
b. Surat asli yang sudah tidak
mungkin ditemukan, misalnya antara lain, surat menyurat sebagai alas hak
(rechts titel) dari harta benda bantuan dari bank dunia pasca tsunami Aceh,
maka surat berupa fotokopi itu dapat menjadi bukti permulaan, sebagaimana
putusan Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1996 tanggal 17 September 1998, yang
menyatakan bukti fotokopi kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta tidak
dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain, maka tidak dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan.
c. Surat bukti berupa fotokopi dari
fotokopi dapat diterima sebagai bukti guna menunjang pengakuan Tergugat
(Putusan Mahkamah Agung Nomor 1498 K/Pdt/2006 tanggal 23 Januari 2008).
2.
Saksi
a. Untuk keterangan saksi haruslah
diperhatikan syarat formiel dan syarat materiil dari kesaksian, juga keterangan
saksi tidak perlu dikonfrontir (cross examination) dengan pihak lawan (tidak berlaku mutlak)
karena pasti dibantah, anjurkan untuk disampaikan pada kesimpulan. Lain halnya
dengan perkara pidana yang mencari kebenaran materiil(materiel warheid) serta
hakimpun harus meyakini kebenaran akan keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond
a reasonable doubt).
b. Saksi de Auditu/Hearsay
Testimonium
de Auditu adalah kesaksian yang keterangannya didapat dari orang lain, bukan
dengan cara melihat, mendengar dan mengalami sendiri akan peristiwanya.Dalam
khazanah Peradilan Islam, dikenal
dengan Syahadah Istifadhah atau
kesaksian bersifat Muan’an yakni kesaksian yang didapat dari orang
lain.Kesaksian ini dapat terjadi pada perkara pengesahan nikah dan wakaf,
karena peristiwanya telah lama terjadi.Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11
November1959, Testimoniu de Auditu
tidak dapat digunakan
sebagai alat bukti langsung,
c. Saksi Keluarga/Orang Dekat
Penerapan
Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo.Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam,
adalah bersifat imperatif, yaitu mendengarkan keterangan pihak keluarga serta
orang dekat dengan suami istri.Sifat imperatifnya bagi Pengadilan adalah dapat
dilihat dari pendirian Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan sela, dengan
memerintahkan Pengadilan Agama untuk melakukan pemeriksaan tambahan, yakni
memeriksa pihak keluarga atau orang dekat dengan suami istri sebagai saksi,
dikarenakan belum didengar keterangannya.Pendirian Mahkamah Agung ini
mengandung anti bahwa pemerikasaan saksi yang berasal dari keluarga atau orang dekat dari suami istri itu sebagai
keharusan, akan tetapi keharusannya itu bukanlah yang dapat mengancam batalnya
putusan Pengadilan Agama. Kalau demikian berarti Mahkamah Agung menganggap
bahwa sifat imperatifnya itu bukanlah sebagai pelanggaran yang berkualitas
tinggi yang dapat membatalkan putusan Pengadilan Agama, melainkan cukup dengan
pemeriksaan tambahan saja.Apabila pendirian Mahkamah Agung tersebut, dikaitkan
dengan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 134
Kompilasi Hukum Islam, maka tujuannya harus dipahami, yaitu untuk mengetahui/membuktikan
bahwa rumah tangga suami istri itu sudah sulit untuk didamaikan, sehingga
menurut penulis jika seandainya telah diyakini bahwa rumah tangga tersebut
sudah sangat sulit untuk dirukunkan kembali, maka secara mafhum mukhalafah (a
contrario), dengan hanya diajukan saksi masing-masing satu saja karena
ketiadaan saksi lagi oleh suami istri
yang meskipun secara kuantitas tidak mencapai batas minimal dari pada
kesaksian, tidaklah akan mengakibatkan minimumnya pembuktian saksi, sehingga
tidak melanggar ketentuan Pasal 169 HIR, yaitu unus testis nullus testis (satu
saksi bukanlah saksi).
Sedangkan nilai kekuatan dan batas
minimal pembuktian alat bukti saksi yaitu nilai kekuatan pembuktiannya bersifat
bebas (vrij bewijskracht) nilai kekuatan pembuktian saksi bersifat bebas, di
simpulkan dari pasal 1908 KUH perdata, pasal 172 HIR, menurut pasal tersebut
hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasarkan nilai
kesamaan atau saling berhubungannya saksi satu dengan yang lain. Jadi berbeda dengan alat bukti akta, memiliki nilai
kekuatan yang sempurna dan mengikat. Maksud pengertian nilai kekuatan
pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah
1.
Kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di
persidangan dianggap: tidak sempurna dan tidak mengikat, hakim tidak wajib
terikatn untuk menerima atau menolak
kebenarannya.
2.
Dengan demekian hakim bebas dengan sepenuhnya menerima atau menolak kebenarannya, sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum pembuktian.
Sedangkan dalam hal batas minimal pembuktiannya
1)
Unus testis nullus testis
Prinsipnya
di tegaskan dalam pasal 1905 KUH perdata , pasal 169 HIR bahwa seorang saksi
bukan kesaksian, berarti seorang saksi saja
belum mencapai batas miniamal pembuktian.
2)
Paling sedikit dua orang saksi, jika alat bukti yang hendak di ajukan
terdiri dari saksi maka, bertitik tolak
dari ketentuan pasal 169 HIR agar tercapai
batas minimal pembuktian saksi yang akan di hadirkan di persidangan, paling sedikit dua orang saksi yang memenuhi
syarat formil dan materiil.
3)
Paling sedikit satu orang saksi
di tambah satu alat bukti yang lain, penggarisan ini di jelaskan oleh
pasal 1905 KUH perdata pasal 169 HIR
yang mengatakan keterangan saksi saja
tanpa alat bukti yang lain di depan sidanng, tidak boleh di percaya, karena
tidak mencapai batas minimal pembuktian. Berarti kalau alat bukti yang ada di
persidangan hanya terdiri dari seorang
saksi saja tidak mencapai batas minimal pembuktian palling tidak harus di
tamabah alat bukti yang lain seperti akta, persangkaan dll.[3]
Sedangkan
di tinjau dari sifatnya alat bukti yang
di sebut dalam pasal 1866 KUH perdata, pasal 164 HIR dapat di klasifikasikan
1)
Alat bukti langsung (Direct evidence)
Disebut
alat bukti langsuang karena di ajukan
secara fisik oleh pihak yang
berkepintinagn di depan persidangan. Alat buktinya di ajukan dan di
tampilkan dalam proses pemeriksaan
secara fisik yang tergolong alat bukti langsung adalah alat bukti surat dan alat bukti saksi.
Alat bukti
tidak langsung maksudnya pembuktian yang di ajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang di peroleh
dari kesimpulan dari hal atau peristiwa
yang terjadi di persidangan yang termasuk alat bukti tak langsung
adalah alat bukti persangkaan (vermoeden).[4]
3. Sumpah
Pengaturan sumpah tambahan (Suppletoir
Eed/Aanvullend Eed) ditemui pada Pasal 155 HIR/Pasal 182 R.Bg/Pasal 1941 KUH
Perdata yang dalam khazanah Peradilan Islam di kenal dengan Yamien aI Istizhaar, di mana Hakim
baru diperkenankan melakukan sumpah tambahan, jika dalil gugatan atau
bantahan tidak terbukti secara sempurna.Dalam penerapan sumpah tambahan ini
sangat diperlukan kepiawaian dan rasa keadilan dari hakim dalam
pengalokasian (pembebanannya), kepada
siapa yang lebih pantas, Penggugat atau Tergugat, karena akan membawa
resiko, mengingat disaat para pihakhanya mampu mengajukan bukti permulaan yang
dianggap berbobot sama, padahal sesungguhnya takarannya tidak sama persis, Hakim di sini berwenang, bukan berkewajiban 3
untuk memerintahkan salah satu pihak untuk bersumpah, yang tentu saja apabila
salah (tidak tepat) dalam pengalokasiannya (pembebanannya), maka akan merugikan
pihak yang seharusnya lebih berhak untuk bersumpah.Apabila Hakim berpendapat
bahwa tidak ada pihak yang pantas untuk dibebani sumpah tersebut (Hakim tidak
yakin), sebaiknya sumpah tersebut jangan dibebankan dan perkara ditolak saja.
4.Descente/Plaatselijke Onderzoek/Plaaatsopneming/Pemeriksaan
Setempat
Pemeriksaan setempat (PS) atau lebih
tepat disebut sidang pemeriksaan setempat (SPS), dapat dilakukan sebelum atau
sesudah pemeriksaan alat bukti (tergantung urgensi), jangan sampai terjadi
kesalahan Hakim di mana dilakukan setelah pemeriksaan alat
bukti, sementara perkara tersebut
diputus dengan dinyatakan gugatan tidak diterima (niet onvanklijke verklaard/NO) di karenakan
pada waktu pemeriksaan setempat baru
didapat fakta bahwa objek perkara tidak diketemukan/tidak jelas identitas dan
keberadaanya. Padahal dari jawab berjawab sebelum tahap pembuktian, Hakim sudah
dapat mengetahui kapan sidang pemeriksaan setempat itu dilakukan (sebelum atau
sesudah pembuktian). Pemeriksaan setempat juga atas inisiatif Hakim dan dapat
juga atas permintaan para pihak (perhatikan SEMA Nomor 7 Tahun 2001 tentang
Pemeriksaan Setempat).
5. Novum Untuk Perkara Peninjauan
Kembali (PK).
Dalam perkara peninjauan kembali, adanya
novum (bukti baru) dalam hal ini bukti surat adalah suatu bukti yang menentukan
yang tidak/belum pernah diajukan dalam perkara sebelumnya, bukan yang
dibuat/diadakan setelah perkara diputus dan telah berkekuatan hukum
tetap.Terhadap bukti (surat) baru tersebut disidangkan dengan Hakim Tunggal
atas dasar PHS dari Ketua Pengadilan Agama, dan yang disumpah adalah yang
menemukan surat itu (Pemohon Peninjauan Kembali) dengan kata/lafaz sumpahnya
menyebut kapan surat tersebut didapat/diketemukan yang dituangkan dalam berita
acara persidangan.Serang, 2 April 2012
IV.
KESIMPULAN
Pada umumnya dalam perkara perdata, alat
bukti yang banyak dipergunakan adalah surat (bukti tertulis) kecuali perkara
perceraian, kemudian saksi, karenanya dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal
1866 KUH Perdata, surat menduduki tempat teratas dari seluruh alat bukti. Lain
halnya dengan perkara pidana, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah saksi
karena hampir semua perbuatan pidana (feit) itu disaksikan/diketahui, karenanya
pula dalam Pasal 184 KUHAP, saksi menduduki tempat teratas dari seluruh alat bukti. Untuk keterangan saksi haruslah
diperhatikan syarat formiel dan syarat materiil dari kesaksian, juga keterangan
saksi tidak perlu dikonfrontir (cross examination) dengan pihak lawan (tidak berlaku mutlak)
karena pasti dibantah, anjurkan untuk disampaikan pada kesimpulan. Lain halnya
dengan perkara pidana yang mencari kebenaran materiil(materiel warheid) serta
hakimpun harus meyakini kebenaran akan keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond
a reasonable doubt).
Saksi de Auditu/Hearsay Testimonium de
Auditu adalah kesaksian yang keterangannya didapat dari orang lain, bukan
dengan cara melihat, mendengar dan mengalami sendiri akan peristiwanya.Dalam
khazanah Peradilan Islam, dikenal
dengan Syahadah Istifadhah atau
kesaksian bersifat Muan’an yakni kesaksian yang didapat dari orang
lain.Kesaksian ini dapat terjadi pada perkara pengesahan nikah dan wakaf,
karena peristiwanya telah lama terjadi.Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11
November1959, Saksi Keluarga/Orang Dekat Penerapan Pasal 22 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo.Pasal
134 Kompilasi Hukum Islam, adalah bersifat imperatif, yaitu mendengarkan
keterangan pihak keluarga serta orang dekat dengan suami istri.Sifat
imperatifnya bagi Pengadilan adalah dapat dilihat dari pendirian Mahkamah Agung
yang menjatuhkan putusan sela, dengan memerintahkan Pengadilan Agama untuk
melakukan pemeriksaan tambahan, yakni memeriksa pihak keluarga atau orang dekat
dengan suami istri sebagai saksi, dikarenakan belum didengar
keterangannya.Pendirian Mahkamah Agung ini mengandung anti bahwa pemerikasaan
saksi yang berasal dari keluarga atau
orang dekat dari suami istri itu sebagai keharusan, akan tetapi keharusannya
itu bukanlah yang dapat mengancam batalnya putusan Pengadilan Agama.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan, jika ada
kesalahan dan kekurangan, itu semata-mata keterbatasan kami, maka dari itu
kritik dan saran sangat kami harapakan dari Bapak dosen dan kawan-kawan demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
M. yahya Harahap. Hukum acara perdata. Sinar grafika.
Jakarta: 2005
No comments:
Post a Comment