KESAKSIAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ALQUR’AN
Makalah
Guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Tafsir Qur’an
Disusun oleh:
Arina Elhaque Mafazatin (102111011)
AHWALU ASY-SYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2010/2011
KESAKSIAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AL
QURAN
BAB I
PENDAHULUAN
·
Latar belakang
Salah satu problem yang menjadi perdebatan adalah tentang kesaksian
perempuan. Beberapa ulama berpendapat bahwa nilai persaksian perempuan adalah
separuh dari laki-laki. Pendapat lain mengatakan perempuan tidak memiliki hak
sama sekali untuk bersaksi baik dalam pernikahan, perceraian, dan hudud
(masalah pidana). [1]
Pemahaman demikian menarik untuk
dibahas karena secara tidak langsung hal itu sama dengan memposisikan laki-laki
di atas perempuan atau dengan kata lain derajat perempuan berada di bawah
laki-laki. Penafsiran tersebut bertolak belakang dengan prinsip Islam yang
digali dari Al Quran dan hadis bahwa semua manusia setara di hadapan Allah baik
laki-laki maupun perempuan. Pembedanya hanya tingkat ketakwaan.
Memang ada ayat yang menegaskan
bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri) (Q.s
An-nisa/34). Namun sebenarnya ayat ini hanyalah berupa anjuran bagi para
suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat
memperoleh kehidupan ideal dalam keluarga. Bukan berarti ayat ini meyatakan
bahwa laki-laki selalu berada di atas
perempuan.
Sebelum membahas tentang persoalan
kesaksian perempuan perlu dijelaskan tantang epistemologi definisi terelebih
dahulu tentang kesaksian. Untuk mengungkapkan definisi tentang kesaksian, dalam
bahasa arab dikenal dengan istilah syahadah[2].
Istilah itu dalam kamus arab punya arti banyak. Bisa berarti kabar yang
terputus, persaksian, wujud ikrar terhadap ke-Esaan Allah dan masih banyak
lagi. Maka dari itu syahadah mempunyai banyak arti tergantung pada
konteksnya.
·
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka makalah ini
membahas tentang posisi wanita dalam kehidupan sosial terutama dalam kasus
persaksian. Rincian pembahasan sebagai berikut:
·
Laki-laki dan perempuan dalam Al Quran
·
Persaksian perempuan dalam surat Al Baqarah
·
Kontroversi kesaksian perempuan
Bab II
PEMBAHASAN
·
Laki-laki dan Perempuan Dalam Al Quran
Dalam Al Quran, laki-laki dibahasakan dengan beberapa istilah.
Diantaranya ar rijal sebagai bentuk jamak dari ar rajul. Kata ar
rajul diartikan dengan laki-laki, lawan perempuan dari jenis manusia. Kata ar
rajul biasanya digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa. Contoh
penggunaan ar rajul digunakan dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 282 (persasksikanlah
dengan dua orang saksi laki-laki diantara kalian). Dalam tafsir jalalain
kata rijal dalam ayat tersebut diartikan sebagai laki-laki muslim yang
aqil baligh dan merdeka.
Kategori ar-rajul menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan
hanya mengacu kepada jenis kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu,
terutama sifat-sifat kejantanan (masculinity).
Kata ar rajul dalam berbagai bentukya terulang sebanyak 55 kali
dalam Al Quran dengan kecenderungan pengertian kata rajul bukan kepada
aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Buktinya
tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai persaksian yang sama.
Anak laki-laki di bawah umur, laki-laki hamba, dan laki-laki yang tidak normal
akalnya tidak termasuk dalam laki-laki yang bisa menjadi saksi. Atau masuk
dalam kategori ar rajul.
Selain itu kata rijal juga diartikan sebagai orang, baik
laki-laki maupun perempuan seperti dalam surat al-A’raf ayat 46 dan surat
al-Ahzab ayat 23.
Q.S Al-A’raf ayat 46 :
$yJåks]÷t/ur Ò>$pgÉo 4 n?tãur Å$#z÷äF{$# ×A%y`Í tbqèùÍ÷êt Dxä. öNà8yJÅ¡Î0 4 (#÷ry$tRur |=»ptõ¾r& Ïp¨Ypgø:$# br& íN»n=y öNä3øn=tæ 4 óOs9 $ydqè=äzôt öNèdur tbqãèyJôÜt ÇÍÏÈ
Artinya : Dan di antara keduanya (penghuni
surga dan neraka) ada batas; dan di atas A'raaf (tempat yang tertinggi di antar
surga dan neraka) itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua
golongan itu dengan tanda-tanda mereka. dan mereka menyeru penduduk surga: "Salaamun
'alaikum” (Artinya: Mudah-mudahan Allah melimpahkan Kesejahteraan atas kamu).
Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya).
Dalam ayat
tersebut kata rijal tidak hanya menunjukkan laki-laki tapi jenis manusia
tertentu baik laki-laki maupun perempuan. Kata rijal dalam al-A’raf ayat
46 menurut Ibnu Katsir ialah para penghuni suatu tempat di antara surga dan
neraka. Mirip dengan perkataan Rasyid Ridla yang mengatakan kata rijal
diartikan sebagai para pendosa yang berada di antara surga dan neraka. Orang
itu boleh jadi laki-laki atau perempuan.
Dalam tafsir jalalain kata rijal dalam surat al Ahzab ayat 23
diartikan sebagai orang-orang yang menyertai nabi (sahabat). Otomatis kata ini
tidak menunjuk pada laki-laki saja perempuan juga masuk dalam kategori kata rijal.
Adapun wanita dalam Al Quran disebut dengan kata an nisa yang
merupakan bentuk jama dari kata mar’ah. Pada umumnya kata an nisa
berarti perempuan yang berarti perempuan dewasa, berbeda dengan al untsa
yang berarti perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang sudah usia
lanjut. Kata an-nisa sepadan dengan ar rijal. Dalam bahasa inggris kata rijal
disebut dengan men jama’ dari man dan kata an nisa adalah women
jama’ dari woman.
Kata an nisa dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 59 kali
dalam Al Quran. Dalam Al Quran tidak hanya berarti perempuan. Ada juga yang
bermakna isteri-isteri seperti yang disebut dalam Al Baqarah ayat 222.
Selain menggunakan kata rijal dan nisa, Al Quran
juga menggunakan kata al dzakar dan al untsa untuk menunjukkan
laki-laki dan perempuan. Namun kata zakar dan unsta lebih
berkonotasi pada persoalan biologis (sex). Padanannya dalam bahasa inggris
adalah male dan female bukan man dan woman.
Perlu diketahui bahwa kata ar rajul tidak identik dengan al
zakar. Semua kata ar rajul masuk dalam kategori al dzakar
tetapi tidak semua al dzakar termasuk kategori ar rajul. Begitu
pula dengan kata al mar’ah (jama an nisa) tidak identik dengan al
untsa.
·
Persaksian perempuan dalam surat Al Baqarah
ayat 282
Pada zaman modern ini, persaksian dianggap penting karena menjadi
keharusan dalam tertib administrasi. Dalam surat Al Baqarah ayat 282 dijelaskan
pentingnya pencatatan dalam muamalah yang tidak tunai sehingga apabila timbul
perselisihan dapat diselesaikan dengan mudah.
Q.S Al Baqarah ayat 282 :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x. br& |=çFõ3t $yJ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u wur ó§yö7t çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& w ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJã uqèd ö@Î=ôJãù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4 wur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·Éó|¹ ÷rr& #·Î72 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºs äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤¶=Ï9 #oT÷r&ur wr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouÅÑ%tn $ygtRrãÏè? öNà6oY÷t/ }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ wr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 wur §!$Òã Ò=Ï?%x. wur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇËÑËÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah (jual beli) tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Dalam ayat tersebut Allah menganjurkan untuk mencatat transaksi yang
tidak tunai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam Al Quran. Transaksi
tersebut harus dibuktikan secara tertulis dan
juga harus terdapat seorang saksi.
Surat Al Baqarah ayat 282 pada dasarnya tidak menunjukkan inferioritas
(kerendahan) perempuan dan juga tidak bermaksud mendeskriminasikannya. Ayat ini
justru mengangkat posisi perempuan agar sejajar dengan laki-laki dalam
persaksian dan mendorong partisipasi perempuan yang sebelumnya diposisikan
hanya dalam wilayah domestik. Menurut Abbas Mahmud Al-Aqqad tujuan kesaksian
dalam ayat ini adalah untuk menegakkan keadilan, menjaga kebenaran, dan
menciptakan kemaslahatan. Karena itu, jangan sampai pemahaman kita terhadap
ayat ini kemudian berdampak pada diskriminasi, subordinasi, dan inferioritas
perempuan, sesuatu yang bertentangan dengan keadilan dan kemaslahatan itu
sendiri.[3]
Ayat ini juga harus dipahami dalam konteks khusus, karena pembicaraan
saksi dalam ayat ini spesifik untuk beberapa jenis perjanjian financial, mu’ammalah
yang tidak tunai untuk waktu yang telah ditentukan. Kita tidak bisa melakukan
generalisasi terhadap semua bentuk transaksi dan perjanjian. Penyebutan dua
perempuan juga bukan dimaksudkan jenis kelamin, tetapi lebih pada kualitas dan
kemampuan saksi sebagaimana perempuan saat itu yang kurang memiliki pengalaman
dan pengetahuan transaksi keuangan. Laki-laki dan perempuan tentu saja
mempunyai posisi yang sama untuk menjadi saksi asal yang bersangkutan adil,
jujur, dan memiliki pemahaman memadai terhadap hal yang disaksikan.
Ketentuan dua perempuan untuk menggantikan satu laki-laki ditetapkan
karena pada masa itu pengalaman kaum perempuan dalam transaksi bisnis dan
keuangan kurang memadai, mempertimbangkan kenyataan ini sebagai bentuk advokasi
terhadap perempuan Al Quran meminta bila perempuan dijadikan saksi maka harus
didampingi oleh perempuan lain, menjadi dua orang. Sebagaimana disebutkan dalam
ayat 282, kedua orang perempuan tersebut memiliki fungsi yang berbeda, satu
orang jadi saksi yang satu sebagai pengingat jika salah satunya lupa.[4]
Karena konteks seperti itu, Syekh Muhammad Abduh dengan bijak mengatakan
bahwa kesaksian dua perempuan itu tidak menujukkan adanya kewajiban yang harus
diikuti, tetapi sebagai anjuran saja. Al Quran justru memberi pilihan kemudahan
kepada masyarakat tentang persaksian, jika tidak ada laki-laki, maka juga
laki-laki dan perempuan, seandainya Al Quran memang menetapkan kesaksian dua
perempuan sebanding dengan satu laki-laki, pastilah Al Quran akan secara
konsisten menyatakan hal yang sama dalam ayat-ayat tentang kesaksian lainnya.[5]
Penafsiran Al Baqarah ayat 282 yang demikian
ini tentuannya bersifat kontekstual karena kenyataan perempuan saat itu yang
tidak berkesempatan bertransaksi keuangan dan bermu’ammalah dengan yang
lain. Ketentuan ini tidak memberikan cerminan apapun mengenai kemampuan moral
atau intelektual perempuan. Ini berkaitan dengan fakta bahwa perempuan kurang
akrab dengan prosedur perbisnisan dibanding laki-laki, karena itu disadari ada
kemungkinan terjadi kesalahan ketika menjadi saksi.[6]
Perlu dipahami bahwa stessing
(penekanan) syarat-syarat dalam kesaksian tersebut tidak terletak pada realitas
laki-laki dan perempuan, melainkan kembali kepada dua hal yang sangat mendasar.
Pertama, keadilan saksi dan integritas kepribadiannya. Kedua,
antara saksi dan perkara yang disaksikan ada hubungan, sehingga saksi
benar-benar berkompeten pada masalah tersebut.[7]
Dengan demikian, kesaksian orang yang tidak
memiliki kualitas keadilan dan integritas kepribadian, walaupun dia laki-laki,
maka ia tidak dapat diterima, sehingga penetapan saksi harus berdasarkan
kriteria dan kualifikasi tertentu yang telah disebutkan di atas. Sebab,
standarisasi saksi tidak didasarkan pada realitas laki-laki, sebagaimana
pencegah kesaksian, bukan juga karena realitas perempuan. Realitas
keperempuanan idak mengurangi signifikansi dan urgensi kesaksian perempuan. Signifikansi
dan urgensi kesaksiannya hanya terletak pada gradasi korelasi atau tingkat
hubungan yang terjalin.[8]
Dengan demikian sudah seharusnya kesejajaran
antara laki-laki dan perempuan dalam kesaksian direalisasikan, sehingga bukan
hanya sekedar wacana. Karena pada kenyataannya saat ini perempuan memiliki
kesempatan belajar yang sama dengan laki-laki dan adanya peran perempuan
diberbagai sektor dan kedudukan, serta memiliki akses yang sama dengan
laki-laki. Sehingga jelas bahwa permasalahan persaksian bukanlah hal yang
normatif namun kontekstual.
·
Kontroversi Kesaksian Perempuan
Nash yang menjadi dasar ketetapan
nilai kesaksian adalah surat al-Baqarah ayat 282 dan sunnah Nabi Muhammad SAW
yang menguatkan teks ayat al-Qur’an tersebut adalah (yang artinya) :
“...aku belum
pernah melihat wanita yang kurang akal dan agama yang paling menggoyahkan lubuk
hati laki-laki yang paling tegar selain kalian (wanita)”. Lalu mereka bertanya:
apakah kekurangan akal dan agama kami ya Rasul? Beliau (Rasulmenjawab: bukankah
kesaksian seorang wanita sebanding dengan separuh kesaksian laki-laki? Kami
menjawab: ya memang demikian. Rasul melanjutkan, itulah kekurangan akalnya.
Bkankah jika sedang mengalami haid wanita tidak dapat melaksanakan sholat dan
puasa? Kami menjawab: ya memang demikian. Rasul melanjutkan, itu adalah
kekurangan agamanya.
Ayat ini berbicara dalam bidang mu’ammalah. Sementara
jumlah kesaksian untuk zina ditegaskan dalam Q.S al-Nisa’: 15, yakni empat
orang saksi :
ÓÉL»©9$#ur úüÏ?ù't spt±Ås»xÿø9$# `ÏB öNà6ͬ!$|¡ÎpS (#rßÎhô±tFó$$sù £`Îgøn=tã Zpyèt/ör& öNà6ZÏiB ( bÎ*sù (#rßÍky Æèdqä3Å¡øBr'sù Îû ÏNqãç6ø9$# 4Ó®Lym £`ßg8©ùuqtFt ßNöqyJø9$# ÷rr& @yèøgs ª!$# £`çlm; WxÎ6y ÇÊÎÈ
Artinya
: dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (menurut jumhur
mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut
Pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina, homo sek dan
yang sejenisnya. menurut Pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud dengan
perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita), hendaklah
ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila
mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya.
Kaitannya
dengan ayat tersebut di atas, para ahli berbeda-beda penekanan penafsirannya.
Al-Qurtubi lebih menekankan pada pembahasan wilayah kasus yang dapat disaksikan
oleh perempuan. Sementara al-Jassas lebih menekankan pembahasan pada masalah
kemingkinan penggunaan sumpah dan saksi dalam pembuktian perkara. Sementara
Ibnu al Qayyim menekankan pada persoalan status kesaksian Muslim dan
non-Muslim.[9]
Umumnya
mayoritas dari para ahli (pemikir) setuju ketentuan hukum dibangun nash
adalah tergantung pada konteks. Karena itu, untuk memahami nash tidak
dapat lepas dari konteks yang melatar belakanginya. Permasalahan kesaksian
wanita yang bernilai setengah dari kesaksian laki-laki hal itu dikarenakan pada
masa tersebut pengalaman bermu’ammalah wanita dinilai kurang dari laki-laki,
karena mereka lurang diberi kesempatan untuk itu. Hal ini dapat diterima karena
tujuan kesaksian adalah untuk membantu hakim untuk mengetahui perkara secara
detail. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa unsur yang ingin dibangun dalam nash
adalah penekana terhadap persksian, bukan kepada nilai laki-laki atau
wanitanya, namun lebih kepada seberapa jauh saksi (yang bersangkutan)
mengetahui perkara tersebut secara mendetail.
Ada beberapa analisis yang dapat digunakan
untuk menjelaskan masalah nilai kesaksian perempuan. Analisis pertama,
bahwa masalah nilai kesaksian perempuan dapat digunakan teori ‘amm dan khas
yang umum digunakan dalam analisis Ushul Fiqh. Bahwa nilai kesaksian perempuan
yang hanya separoh dari nilai kesaksian laki-laki ini merupakan pengkhususan
dari konsep umum bahwa laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan dan
hukum, mempunyai status setara (equal). Sebab secara umum, sebagai subjek
hukum, setara antara laki-laki dan perempuan. Analisis kedua adalah
menggunakan teori pengelompokkan nash menjadi dua; nash normatif
universal dan nash praktis temporal dengan menggunakan teori ini, nash
nilai persaksian perempuan ini masuk kelompok nash praktis temporal.
Sebab ciri-ciri yang menempel pada nash ini memang memenuhi untuk
dimasukkan sebagai nash praktis temporal. Dengan masuknya nash
ini pada kelompok nash praktis temporal, berarti perlu dicarikan nilai
normatifnya. Nilai normatif ini pula yang berlaku untuk sepanjang zaman, semua
tempat dan kondisi, sesuai dengan konteks dalam arti luas; makro maupun mikro.
Ciri-ciri nash normatif universal adalah
mempunyai ajaran;
·
Universal
·
Prinsip
·
Fundamental
·
Tidak terikat dengan konteks; konteks waktu,
tempat, situasi, dan semacamnya.
Ciri-ciri nash praktis temporal adalah
mempunyai ajaran;
·
Detail
·
Rinci
·
Bersifat terapan
·
Dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata
·
Terikat dengan konteks; konteks ruang, waktu,
kondisi, situasi dan sejenisnya.
Dengan singkat nash normatif universal
adalah nash yang masih bersifat umum (mujmal) yang masih
membutuhkan rincian untuk dapat dipraktekkan. Sementara nash praktis temporal
adalah nash yang rinci dan dapat dipraktekkan secara langsung dalam
kehidupan sehari-hari. Nash nilai persaksian tersebut dikategorikan dalam
nash praktis-temporal. Nash praktis-temporal adalah jabaran dan
implementasi dari nash normatif-universal. Karena itu, untuk pemahaman dan
aplikasi ajaran dari nash tersebut untuk masa kini diperlukan pemahaman yang
kontekstual. Adapun unsur yang menjadi tolak ukur kesaksian adalah pengetahuan
tentang kasus yang dipersaksikan (apa yang terjadi) terhadap kasus tertentu.
Pengetahuan yang dimaksud dalam nash adalah pengetahuan yang berkaitan dengan
urusan-urusan perdagangan, sebab nash berbicara tentang perdagangan. Ketika
itu, pengetahuan masalah-masalah perdagangan didominasi oleh laum laki-laki,
sebab mereka ini yang terlibat dalam urusan-urusan tersebut ketika itu.
Dengan perubahan zaman, kondisi dan tuntutan, perempuanpun juga terlibat
dalam masalah-masalah perdagangan di zaman modern seperti sekarang.
Konsekuensinya, pengetahun mereka tentang urusan-urusan perdagangan juga
menjadi sama dengan laki-laki. Karena itu, unsur yang ditekankan nash dalam
kesaksian bukan laki-laki atau perempuannya, tetai tingkat pengetahuan tentang
masalah yang dipersaksikan. Dengan demikian, menjadi salah jika masalah
persaksian dikatkan dengan maalah laki-laki atau perempuan.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa
nilai kesaksian antara laki-laki dan perempuan sama nilainya. Yang membedakan
hanya pengetahuan mereka tentang duduk perkara yang dipersaksikan. Dan mereka
yang akan menjadi saksi harus memenuhi persyaratan tertentu yanag telah
ditetapkna. Jika ada laki-laki namun ia
tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka dapat digantikan oleh
perempuan yang lebih memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai saksi. Hal ini
berlaku dalam semua aspek. Saya selaku penyusun menyadari pasti makalah ini
banyak kekurangannya, oleh karena itu dimohon agar pembaca berkenan memberi
kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
DAFTAR PUSTAKA
Aqad, Abbas Mahmud.al mar’ah fi al qur’an. Beirut: Dar al Kutub
al ‘Araby.
Al Buthi, Sa’id Ramadhan. Perempuan antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam,
terj., Darsim Ermaya Imam Fajarruddin. Solo: Era Intermedia, 2002.
Hasyim Syafiq. Hal-Hal Yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu
Keperempuan Dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Muhsin, Amina Wadud.Wanita di dalam al Qur’an .Bandung: Penerbit
Pustaka, 1994.
Ridla, Muhammad Rasyid. Tafsir al Manar. Beirut: Dar al Fikr.
[1] Lihat Syafiq
Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam
Islam, (Bandung: Mizan, 2001), 230.
[2] Yuldi Hendri,
“Persaksian Perempuan Dalam Surat Al Baqarah Ayat 282,” Jurnal Studi Gender
dan Islam, VIII (Januari, 2009), hal. 33.
[4] Amina Wadud
Muhsin, Wanita di dalam al Quran, tej. Yazir Radianto (Bandung: Pustaka,
1994), hal. 115.
[7] Sa’id Ramadhan
al-Buthi, Perempuan antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam,
terj., Darsim Ermaya Imam Fajarrudin, (Solo: Era Intermedia, 2002), hal 176.
[9] Khoiruddin
Nasution, “Kontroversi Nilai Kesaksian Perempuan”,Musawa Jurnal Studi Gender
dan Islam,VIII (Januari, 2009), hal.84.
No comments:
Post a Comment