I.
PENDAHULUAN
Allah
SWT tidak menetapkan suatu hukum, kecuali untuk kemaslahatan hamba-Nya.
Kemaslahatan itu ada dua macam. Pertama, berupa manfaat bagi manusia, dan
kedua, berupa terhindarnya manusia dari kemudharatan (kesengsaraan). Oleh
karena itu yang menjadi pendorong untuk menetapkan sesuatu hukum syara’ ialah
mencari kemanfaatan dan menolak kemudharatan bagi manusia, dan pendorong inilah
yang menjadi tujuan yang dicapai dengan menetapkan hukum itu.
Qiyas merupakan
salah satu sumber hukum islam. Yang mana rukun qiyas adalah ashl (pokok), far’
(cabang), hukum ashl, ‘illat.‘Illat menempati urutan terpenting dalam
permasalahan qiyas, karena sangat menentukan ada tidaknya qiyas. Berdasarkan
ini, maka ulama’ begitu antusias untuk memperbincangkanya. Pada pembahasan kali
ini, akan membahas tentang ‘illat.
II.
PERMASALAHAN
Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai beberapa masalah yang berkaitan dengan ‘illat. Masalah
tersebut diantara lain adalah:
1.
Definisi ‘illat
2.
Syarat-syarat ‘illat
3.
Pembagian ‘illat
4.
Metode menentukan ‘illat
III.
PEMBAHASAN
1.
DEFINISI ‘ILLAT
‘Illat secara etimologi berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan
berubahnya keadaan sesuatu yang lain”. Misalnya, penyakit dikatakn ‘illat,
karena dengan adanya “penyakit”
tersebut, tubuh manusia berubah dari yang sehat menjadi sakit.
Sedangkan ‘illat secara terminologi adalah suatu sifat yanng
terdapat pada ashal (pokok) yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada
ashal dan untuk mengetahui hukum pada cabang yang hendak dicari hukumnya.
Misalnya, memabukan adalah suatu sifat
yang terdapat pada khamar yang menjadi dasar untuk menetapkan keharaanya, dan
untuk menetapkan keharaman setiap perasaan buah-buah yang memabukkan.[1]
2.
SYARAT-SYARAT ‘ILLAT
Syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati oleh para ahli ushul itu
ada 4 macam, yaitu[2]
:
1.
‘Illat itu harus berupa sifat
yang jelas, yakni dapat disaksikan oleh salah satu panca indra. Sebab,
‘illat itu gunanya untuk mengenal hukum yang akan diterapkan pada cabangnya,
maka ia harus berupa sifat yang jelas dapat dilihat pada ashalnya sebagaimana
dapat dilihat pada cabangnya. Misalnya, sifat yang membukkan yang dapat dilihat
pada khamar (sebagai ashal qiyas) juga harus dapat dilihat pada perasaan
(nabidz) buah-buahan yang memabukkan (sebagai cabang qiyas). Jika sifat itu
masih samar-samar, tidak dapat dilihat dengan jelas, maka ia tidak dapat
dipergunakanuntuk menetapkan ada atau tidaknya hukum pada cabang.
2.
‘Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti (mundhabith).
Artinya ia mempunyai hakikat yang nyata lagi tertentu yang memungkinkan untuk
mengadakan hukum pada cabang dengan tepat atau dengan sedikit perbedaan. Karena
asas qiyas itu ialah mempersamakan ‘illat hukum pada cabang dengan ashalnya.
Persamaan ini mengharuskan adanya ‘illat secara pasti, sehingga memungkinkan
persamaan hukum antara kedua peristiwa itu. Misalnya, diperbolehkan bagi
seseorang yang mengadakan perjalanan atau bagi orang yang sakit untuk tidak berpuasa dibulan ramadhan,
‘illatnya bukanlah menolak kemasyaqotan, sebab tidak semua orang yang sedang
mengadakan perjalan atau sakit itu merasa masyaqoh berpuasa, tetapi ‘illatnya
adalah bepergian atau sakit itu sendiri.
3.
‘Illat itu harus berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum.
Maksudnya hubungan antara ada atau tidaknya hukum itu sesuai dengan maksud
syara’ dalam mengadakan perundang-undangan, yaitu menarik kemaslakhatan dan
menolak kemadharatan. Misalnya, seorang yang mencuri harta milik orang lain
wajib dipotong tangannya. ‘Illat wajibnya ialah tindakan mencuri, dan ini
sesuai dengan hikmah hukum itu, yakni memelihara harta milik oarang lain.
4.
‘Illat itu bukan hanya terdapat pada ashal saja. Jadi ‘illat itu
harus berupa sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain masalah
pada ashal itu. Sebab maksud mencari ‘illat pada ashal itu ialah untuk
menerapkannya pada cabang. Misalnya, tidak boleh menetapkan ‘illat haramnya
meminum khamar ialah karena ia minuman yang berasal dari perasan anggur yang
sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang memabukkan). Sebab kalau dijadikan ‘illat,
maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang memabukkan yang bukan berasal
dari perasan anggur. Dengan demikian jadilah minuman-minuman yang lain yang
memabukkan itu tidak haram meminumnya, karena tidak dapat diqiyaskan pada khamar (yang jadi ashal qiyas). Yang
demikian ini tidak benar.
3.
PEMBAGIAN ‘ILLAT
Pembagian ‘illat ditinjau dari segi adanya anggapan dan
ketiadaannya anggapan Syari’ terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu
ushul fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu[3]:
1.
Munasib Muatstsar
Yaitu
suatu sifat yang sesuai dimana Syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan
sifat itu. Berdasarkan nash atau ijma’, sifat itu telah ditetapkan sebagai
‘illat hukum yang disusun berdasarkan kesesuain denganya. Misalnya firman ALLAH
SWT dalam surat Al-Baqarah : 222, yang artinya : “Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah “Haidh itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu,
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh.......”
Shighat
nash telah jelas bahwa ‘illat hukum ini adalah kotoran. Oleh karena itu, maka
kotoran tersebut yang mewajibkan menjauhkan diri dari wanita pada waktu haidhnya.
2.
Munasib Mulaim
Yaitu
sifat yang sesuai yang mana Syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan
sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai ‘illat hukum
menurut pandangan Syari’ itu sendiri,yang disusun sesuai dengan sifat itu.
Misalnya, keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah dalam
mengawinkan anak perempuan yang masih kecil. Hal itu disebabkan bahwasanya
berdasarkan nash yang diperoleh ketetapan mengenai tetapnya perwalian bagi
seorang ayah untuk mengawinkan putrinyayang masih perawan dan masih kecil. Baik
nash maupun ijma’ tidak menunjukan bahwasanya ‘illat bagi tetapnya kewalian
adalah keperawanan atau keadaan masih kecil, akan tetapi berdasarkan ijma’
diperoleh ketetapan penganggapan keadaan masih kecil sebagai ‘illat bagi
kewalian terhadap harta kekayaan anak perempuan yang masih kecil.
3.
Munasib Mursal
Yaitu
suatu sifat yang mana Syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan
tidak ada dalil syari’ yang menunjukan akan anggapan-Nya dengan salah stu
bentuk anggapan maupun penyia-nyiaan anggapan-Nya. Miasalnya, kemaslakhatan
yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas
tanah pertanian, pembuatan mata uang, dan maslakhat-maslakhat lainnya yang
disyariatka hukum atas dasar maslakhat itu, dan tidak ada dalil dari syari’
yang menganggap kemaslakhatan itu maupun dalil yang menyia-nyiakannya.
4.
Munasib Mulgha
Yaitu
sifat yang mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslakhatan,
namun Syari’ tidak menyusun sesuai denganya, dan syari’ tidak menunjukan
berbagai dalil yang menunjukan pembatalan anggapannya. Misalnya, persamaan anak
perempuan dan anak laki-laki dalam kekerabatan untuk mempersamakan mereka dalam
bagian warisan. Ini tidak sah menjadikanya sebagai dasar pembentukan hukum
atasnya.
4.METODE
MENENTUKAN ‘ILLAT
Adapun metode untuk mengetahui ‘illat yang paling masyhur
dikalangan ulama’ ushul fiqh itu ada tiga, yaitu[4]:
1.
Nash
Apabila nash Al-Quran atau dalam sunnah menunjukan bahwa ‘illat
suatu hukum adalah sifat ini. Maka sifat tersebut menjadi ‘illat berdasarkan
nash. Nash menunjukan bahwasanya ‘illat itu kadang kala jelas dan terkadang
berupa isyarat yang tidak terang-terangan. Apabila lafazh yang menunjukan
ke’illatan dalam nash itu tidak mengandung kemungkinan kecuali dalalah atas
ke’illatan, maka dalalah nash atas ke’illatan sifat itu adalah jelas dan pasti.
2.
Ijma’
Apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas ke’illatan suatu
sifat bagi suatu hukum syara’, maka ke’illatan sifat ini bagi hukum tersebut
ditetapkan berdasarkan ijma’. Misalnya, ijma’ para mujtahid, bahwasanya ‘illat
kewalian keharta-bendaan atas anak kecil adalah keadaannya yang masih kecil.
3.
As-Sibr wat-Taqsim
As-Sibr ialah percobaan, dan dari lafazh itu munculah lafazh :
al-misbar (alat untuk mengukur). Sedangkan Taqsim ialah pembatasan sifat-sifat
yang layak untuk menjadi ‘illat pada ashl (pokok).
Apabila ada kejadian hukum syara’ yang tidak ada nash atau ijma’
yang menunjukan ‘illat hukum ini, maka mujtahid akan menempuh jalur sibr dan
taqsim untuk mengetahui ‘illat hukum ini. Mujatahid akan membatasi sifat-sifat
yang terdapat pada kejadian suatu hukum, dan layak bila ‘illat itu merupakan
salah satu sifat dari sifat-sifat itu.
Ia mencoba dari satu sifat ke sifat yang lainya berdasarkan syarat-syarat yang
harus dipenuhinya dalam ‘illat dan macam pengakuan (i’tibar) yang diakui.
Berdasarkan percobaan ini, mujtahid menjauhkan sifat-sifat yang tidak layak dan
menyisakan sifat yamg layak untuk menjadi ‘illat. Denganpenyingkiran dan penyisaan
ini, ia dapat mengetahui kesimpulan bahwasanya sifat ini adalah ‘illat.
IV.
ANALISIS
‘Illat merupakan suatu sifat yang terdapat pada hukum syara’. Yang
mana dalam mempersamakan ‘illat satu kejadian hukum dengan kejadian hukum yang
lain dengan tujuan menetapkan hukum, terdapat kelemahan dan kelebihan mengenai
‘illat tersebut. Kelemahan ‘illat tersebut diantaranya adalah ‘illat timbul
dari pendapat pribadi, yang dimungkinkan dalam menentukan ‘illat tesebut
disertai dengan hawa nafsu.
Sedangkan kelebihan ‘illat adalah memudahkan menetapkan hukum suatu
kejadian yang tidak ada nashnya dengan melihat ‘illat hukum suatu kejadian yang
sudah ada nashnya.
V.
KESIMPULAN
‘Illat merupakan suatu sifat yang terdapat pada suatu ashal (pokok)
yang menjadi dasar hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya
hukum itu pada far’ (cabangnya).
‘Illat mempunyai syarat-syarat yang dipenuhi untuk dijadikan dasar
hukum pada far’ nya. Syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati oleh para ahli
ushul fiqh itu ada 4 macam, yaitu :
1.
‘Illat harus berupa sifat yang jelas
2.
‘Illat harus berupa sifat yang sudah pasti
3.
‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum
4.
‘Illat itu bukan hanya terdapat pada ashal saja
Pembagian ‘illat ditinjau dari segi adanya anggapan dan ketiadaannya
anggapan Syari’ terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh
membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu:
1.
Munasib Muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh)
2.
Munasib Mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok)
3.
Munasib Mursal (sifat yang sesuai lagi bebas)
4.
Munasib Mulgha (sifat sesuai yang sia-sia)
Adapun metode untuk mengetahui ‘illat yang paling masyhur
dikalangan ulama’ ushul fiqh itu ada tiga, yaitu:
1.
Dengan nash
2.
Dengan ijma’
3.
Dengan As-Sibr wat-Taqim
VI.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika
ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami.
Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Roy, Muhammad, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, Yogyakarta :
Safiria Insania press, 2004, cet. Ke 1
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung : Pusat
Penerbitan Universitas, 1995
Yahya, Mukhtar H., Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Bandung : Al-Ma’arif, 1986, cet. 1
Qarib Ahmad, Terjemah Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra
Group, 1994, cet. 1
http://imamuna.wordpress.com/2009/03/18/pelajaran-ketujuh-%E2%80%93-ushul-fiqih/
No comments:
Post a Comment