I.
PENDAHULUAN
Dalam Islam, nikah merupakan salah satu syariat
yang diajukan oleh Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan Syari’at Tuhan untuk
mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu pergaulan keluarga yang
penuh kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan
kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah warahmah.
Islam adalah agama yang mengandung syariat
(tata hukum) yang fleksibel dan luwes. Aturan hukumnya mampu disesuaikan dengan
kondisi kapan dan dimana hukum itu akan diterapkan. Sehingga tak heran jika
muncul sebuah adagium, ‘Islam sholihun li kulli zaman wa makan (Islam itu
sesuai dengan waktu dan tempat)’. Artinya keluwesan dari hukum Islam itu yang
menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Ajaran yang
terkandung di dalamnya tidak saklek yang akan menimbulkan kesan kaku dan tidak dapat
beradaptasi. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat
masa kini atau yang lebih kita kenal dengan masalah kontemporer.
Yang menjadi problematika
pada saat sekarang ini ialah masih bolehkah melakukan nikah secara sirri, baik
ditinjau dari kemajuan zaman yang serba modern maupun ditinjau dari hukum Islam
yang slalu fleksibel mengikuti perkembangan zaman/ cara nalar pikir manusia
yang terus maju sesuai dengan kemajuan tekhnologi.
II.
PERMASALAHAN
Dari problematika inilah pemakalah akan mencoba
memaparkan sedikit mengenai bolehkah nikah sirri di lakukan atau sebaliknya, yakni
dilarang secara tegas, baik dalam hukum negara maupun dalam hukum agama.
III.
PEMBAHSAN
1. Pengertian
Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang. Sesuatu yang sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan
sarana pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan beragam. Pernikahan
adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat. Jika unit-unit
keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan masyarakat yang
diwujudkan akan kokoh dan baik.
Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab, yaitu
Nikah al-Sirri (tarkib idhafi) atau al-nikah al- sirri (tarkib washfi). Secara
etimologis berarti nikah secara sembunyi-sembunyi atau rahasia.
Nikah sirri menurut hukum Islam – berdasarkan
penelusuran dalil secara tekstual – adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua
syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat Islam dalam
Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan
perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif,
nikah sirri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah
perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa
adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa
buku nikah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkâmu
al-Zawâj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi
perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya.
Sehingga langsung dapat disimpulkan, bahwa pernikahan ini bâthil menurut
jumhur ulama.
Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri
— seperti yang didefinisikan dalam fiqh — yakni nikah yang dirahasiakan dan
hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi,
wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak
seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang
lain
2. Metode Penentu Sah
Tidaknya Nikah Sirri[1]
Ada banyak sekali metode
yang dapat kita gunakan untuk menentukan suatu hukum yang di dalam al-Qur’an
belum dijelaskan, antara lain:
a. Dengan menggunakan Istishab
Istishab itu sendiri
menurut bahasa diartikan al-mushahabah (persahabatan) atau istimraru
al-suhbati (berlangsungnya persahabatan). Menurut istilah, al-istishab
didefinisikan dalam kemasan dua redaksi: pertama oleh al-Syaukani (w.
1255) yang mengatakan : yaitu eksisnya hukum suatu persoalan selama belum
ada kekuatan lain (dalil) yang mengubahnya.
Kedua oleh Ibnu al-Qayyim yang mendefinisikan: yaitu
berlangsungnya ketentuan hukum yang ditetapkan pada masa lampau dan penolakan
ketentuan hukum yang telah digugurkan pada masa lampau; dengan ungkapan lain
menetapkan ketentuan hukum masa lalu dengan penolakan dan atau penetapan untuk
tetap diberlakukan sampai ada ketentuan lain yang merubahnya.
Dengan metode ini dapat
dijelaskan bahwa nikah secara sirri itu tidak dilarang karena pada pada mulanya
nikah sirri itu diperbolehkan oleh Nabi, karena metode ini mengukuhkan yang
dulunya sudah ada yakni tidak haram nikah melalui jalan sirri. Tapi metode ini
berlaku jika ada keyakinan dan keragu-raguan.
b. Dengan Menggunakan Metode
Sad’dud darri’ah
Yakni menutup jalan
perbuatan dosa. Dengan menggunakan metode ini nikah sirri itu tidak dibolehkan.
Memang pada dasarnya nikah itu boleh bahkan wajib jika sudah memenuhi syarat,
tapi jika dilakukan dengan cara sirri ditambah lagi pada masa sekarang ini itu
bisa menjadi haram, karena akan sangat merugikan dari pihak wanita. Selain itu
juga melanggar undang-undang yang telah jelas melarang nikah sirri, bahkan
pelaku, wali dan yang menikahkan akan dikenai sanksi dan denda. Dan sikap
melanggar hukum negara adalah sikap tidak mencintai tanah air, padahal
mencintai tanah air adalah sebagian dari Iman.
c. Menggunakan madzab shahabi[2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban,
bahwa ada seorang laki-laki melangsungkan perkawinannya secara diam-diam.
Sehingga laki-laki ini seringkali keluar masuk di rumah perempuan yang
dinikahinya tersebut, kemudian ada salah seorang tetangga dari istrinya itu
melihat bahwa ia melakukan hubungan layaknya suami istri. Karena ketidaktahuan
tetangga tentang masalah sebenarnya, maka muncul kecurigaan dan akhirnya ia
menuduh laki-laki tersebut telah berbuat mesum dengan tetangganya, lalu ia
mengadukan masalah ini kepada Umar bin Khattab.
“Wahai Amirul Mukminin, laki-laki ini
keluar masuk di rumah tetanggaku, dan ia telah berbuat mesum dengannya, padahal
saya tidak pernah mengetahui kapan ia mengawininya,” kata tetangga perempuan
tadi.
“Apa yang bisa kamu katakan atas
tuduhan ini” tanya Umar kepada laki-laki yang dituduh.
“Aku telah mengawininya dengan mas
kawin yang sangat rendah, sehingga perkawinan ini aku rahasiakan” jawab
laki-laki itu merendah.
“Siapa yang menyaksikan kamu?” tanya
Umar kepada laki-laki tersebut.
“Saya meminta sebagian keluarganya
untuk menyaksikannya,” jawab laki-laki tadi.
Akhirnya hukuman atas si tertuduh bisa
dibatalkan, demikian pula orang yang menuduh tidak terkena hukuman. Kemudian
Umar berkata :”Publikasikan perkawinan ini dan lindungilah kehormatan.”
3.Prespektif
hokum positif[3]
Kemaslahatan harus diwujudkan untuk melindungi
kemurnian agama, keselamatan jiwa, keturunan, dan untuk melindungi harta.
Menegakkan hukum perkawinan Islam merupakan untuk menjaga kelestarian dan
kemurnian agama, kelestarian hidup manusia, kemurnian keturunan, dan lain
sebagainya. Tujuan pencatatan nikah
dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan umat manusia jelas akan
membawa kepada kemaslahatan umat itu sendiri. Kemaslahatan yang
dikehendaki Islam mempunyai ciri sebagai berikut: menarik manfaat, menolak
segala yang merusak, mempunyai daya tangkal terhadap kemungkinan bahaya dari
luar atau menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, dan dapat
mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sebab ada tidaknya hukum selalu
mengikuti argumentasi (illat ).
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974,
adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di samping
segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam, ada
ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur secara
administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh
institusi pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan
pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap
pelaksanaan syari’at dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak
akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum
Islam maupun hukum nasional).
Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang hukum
materil Peradilan Agama antara lain mencantumkan sanksi poligami dan nikah
sirri. Dalam Pasal 143 disebutkan, barang siapa melakukan pernikahan tidak di
hadapan pejabat pencatat nikah(sirri) akan didenda Rp 6 juta atau hukuman
paling lama 6 bulan penjara. Denda dan ancaman hukuman yang sama berlaku bagi
barang siapa melakukan poligami tanpa izin pengadilan dan tidak menceraikan
istri di depan pengadilan (Pasal 146). Sementara pada Pasal 147 menyebutkan,
barang siapa menghamili perempuan belum menikah dan menolak mengawininya di
depan pengadilan akan dipidanakan paling lama 3 bulan penjara. RUU tersebut
akan menjadi pelengkap bagi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU itu
menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai perkawinan
dalam hukum Islam. RUU tersebut menuai kontroversi, alasan yang mendukung RUU
tersebut adalah Nikah sirri sering dijadikan selubung bagi perselingkuhan
(poligami liar), di samping itu tidak ada perlindungan hukum bagi istri dan
anak.
Sementara alasan yang menolak RUU tersebut adalah nikah
sirri sah secara agama, serta sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi
merupakan kebijakan yang tidak proporsional dan berlebihan. Dalam masalah
pemidanaan ini, banyak pakar hukum pidana yang memberikan kriteria bagi
kriminalisasi, sebagaimana dalam simposium Hukum Pidana Nasional di Semarang
tahun 1980 yang di antaranya adalah:
1.
Perbuatan tersebut tidak disukai/tercela di mata masyarakat;
2.
Perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa dan berbahaya bagimasyarakat;
3.
Perbuatan tersebut dapat merugikan orang lain dan berpotensi mendatangkan
korban;
4.
Harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
Hukum tidak akan dapat dilaksanakan dengan
baik, bila tidak ada yang bertanggung jawab untuk mengendalikan, melaksanakan
dan menegakkannya. Lantas siapakah yang dapat mengendalikan hukum dengan baik?
tentu saja, tidak lain adalah pemerintah. Oleh karena itu, telah diyakini bahwa
kepemimpinan adalah bagian dari tujuan yang paling urgen dalam agama. Khalifah
berfungsi sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan urusan dunia.
Orang muslim belum lepas tanggung jawab, sehingga mereka menyatukan langkah dan
kesepakatan untuk menunjuk seorang pemimpin yang memimpin mereka berdasarkan
Kitabullah.
Ada tujuh kerugian pernikahan sirri bagi anak dan isteri
yang terjadi di lapangan:[4]
- Isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
- Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat.
- Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mîtsâqan ghalîzhâ) karena tidak tercatat secara hukum.
- Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran.
- Karena untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.
- Isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
- Apabila suami sebagai pegawai, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
IV.
KESIMPULAN
Nikah
sirri yang sering juga disebut dengan nikah di bawah tangan adalah nikah yang
hanya mengutamakan pemenuhan syarat dan rukun menurut agama saja. Dan tujuan
dari nikah sirri sendiri adalah untuk menolak pergaulan bebas, artinya dengan
melakukan nikah sirri hubungan yang biasanya berlangsung sebelum pernikahan dan
boleh jadi dilarang oleh agama, bisa berubah menjadi halal. Namun pernikahan
ini tidak memiliki kekuatan hukum apabila suatu saat ada pihak suami-istri yang
dirugikan.
Syari’ah
mengajarakan agar seseorang patuh dan memprioritaskan hukum Islam bersamaan
dengan menghormati kesepakatan bersama, sebagaimana yang tercantum dalam UU No.
1 Tahun 1974. Karena jika Islam itu sebagai ad-dien yang sempurna, maka
pemenuhan kewajiban kepada Allah mestinya harus sejajar dengan pemenuhan atas
janji- janji sesama manusia. Sebab bagaimanapun juga putusan yang termaktub
dalam undang-undang merupakan keputusan bersama. Maka pelanggaran terhadap
janji itu berarti khianat dan perbuatan yang tidak konsisten berarti juga dapat
dianggap menentang ajaran Allah. Pelarangan nikah sirri, selain karena
melanggar undang-undang adalah nikah sirri mempunyai implikasi yang sangat
kompleks. Yang meliputi implikasi sosial, psikologis, dan juga yuridis.
Tetap
membudayanya nikah sirri di masyarakat ini disebabkan karena kurang pahamnya
mereka dengan makna nikah resmi (tercatat) dan makna nikah sirri (yang tidak
tercatat), serta implikasi yang dapat ditimbulkan dari nikah sirri itu.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini masih
kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan
keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami
butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdul Aziz
Al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Risalah Gusti, Surabaya,
2003, Hlm. 170.
http://immdakwahpwt.blogspot.com/2011/09/nikah-siri-dalam-perspektif-ushul-fiqh.html
No comments:
Post a Comment