I.
PENDAHULUAN
Hukum
Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum keluarga diartikan
sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan [perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir].
Oleh karena
itu pemakalah ingin sedikit menguraikan masalah tentang Hukum Keluarga yang dia
ketahui.
II.
RUMUSAN MASALAH
Makalah ini
akan membahas tentang:
A. Pengertian hukum keluarga
B. Kekuasaan orang tua
C. Perwalian
D. Pengampuan
E. Adopsi
F. Keadaan tidak hadir
III.
Pembahasan
A. Pengertian hukum keluarga
Istilah
hukumkeluarga berasal dari terjemahan Familierecht ( Belanda ) atau law of familie (Inggris).
Dalam konsep Ali Afandi,[1]
hukum keluarga diartikan sebagaikeseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan
hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak
hadir).
Ada dua hal
penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan
yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa
orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara
seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya).[2]
Tahir
Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang
diterangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara
umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga,
perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga,
warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.[3]
Definisi Tahir Mahmud tersebut, pada
dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang lingkup
hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan
keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin,
perwalian, dan lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu luas,
karena menyangkut warisan, yang dalam hukum perdata BW merupakan bagian dari
hukum benda.
Dalam definisi ini setidaknya memuat
dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah
hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum
keluarga tertulis adalah kaidah-kaidah
hukum yang bersumber daru undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum
keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul,
tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, mamari
dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang menjadi kajian hukum keluarga
meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang
tua, pengampuan, dan perwalian.
Berdasarkan
definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada
dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi:
a) Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari
perkawinan
b) Peraturan perceraian
c) Peraturan kekuasaan orang tua
d) Peraturan kedudukan anak
e) Peraturan pengampuan (curatele) dan
f) Peraturan perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum
keluarga pada berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat hubungannya dengan
tata tertib umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan
pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai
undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi
ketentuan tersebut antara lain:
1) Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme,
sehingga perlu ditinggalkan dan menuju alam sosialisme Indonesia.
2) Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya
sementara ketentuan karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan
bersifat diskriminatif.
3) Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis,
sehingga berbeda jauh dengan kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan
hukum islam dan hukum adat.[4]
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan
menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum
perdata tidak tertulis. Sumber hukum
keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang
serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di
wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari
berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di
Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
(2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898
– 158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke
Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 -74; (4) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk (beragama Islam); (5)
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8)
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.[5]
B. Kekuasaan orang
tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa dewasa
atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang
tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.Dengan demikian kekuasaan orang
tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau [dalam halnya anak luar kawin
yang disahkan]. Oleh karena itu kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang
dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap
anak-anaknya yang belum dewasa. Demikian isi dari pasal 299. Menurut pasal 300
kekuasaan orang tua itu biasanya dilakukan oleh si ayah.
Jika bapak berada di laur kemungkinan melakukan kekuasaan
itu yang melakukan kekuasaan adalah si ibu.[6]
Selanjutnya pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah
adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa
diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua terhadap anak.
di
dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai
pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan
ia masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya
sebagai orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas
adalah :
1. Belum mencapai umur 21 tahun
2. Belum kawin.
Kembali
berbica tentang kekuasaan orang tua, dari kekuasaan itu diatur dalam pasal
298-310. Isi dari kekuasaan orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
1. Kekusaan terhadap pribadi seorang anak,
2. Kekuasaan terhadap kekayaan anak
Tentang
kekuasaan tentang peribadi seorang anak terdapat ketentuan sebagai berikut:
Pasal
298 dan 301:
Tiap
anak berapa pun umurnya, wajib menghormat dan menyegani orang tuanya. Orang tua
wajib memelihara dan mendidik srmua anak yang belum dewasa.
Dan kekuasaan terhadap harta kekayaan anak terdapat
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Ini
dimuat dalam pasal 307-318, yang perlu diperhatikan ialah pada pasal 307: Orang
yang memegang kekuasaan orang tua harus mengurus harta kekayaan si anak.[7]
C. Perwalian
Anak yang belum
mencapai umur 18 [delapan belas] tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Pewalian itu
mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya [pasal 30 UU
perkawinan].[8]
Yang dimaksud perwalian adalah pengawasan terhadap
pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak
itu tidak berada di tanah kekuasaan orang tua.Jadi dengan demikian anak yang
orang tuanya telah bercerai ataun jika salah satu dari mereka atau semua
meninggal dunia, berada dibawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka
kaerena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.
Anak yang berada di bawah perwalian disebut pupil, dan
disini ada 3 jenis perwalian :
1. Perwalian menurut undang-undang, yaitu yang disebut dalam
pasal 345.
Jika salah
satu orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua
yang masih hidup terhadap anak kawin yang belum dewasa.
Pasal 351.
Jika yang jadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi maka suaminya menjadi
kawan wali.
2. Perwalian dengan wasiat.
Menurut
pasal 355 ditentukan bahwa tiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua,
atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu
berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim. Perwalian seperti ini dapat dilakukan
dengan surat wasiat atau dengan akta notaris.
3. Perwalian datif, yaitu apabila tiada ada wali menurut
undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh hakim ditetapkan seorang wali
[pasal 359].
Jika
seandainya telah diputuskan suatu perceraian,
maka dengan demikian tiada ada lagi kekuasaan orang tua, dan salah
seorang dari orang tua harus di tetapkan sebagai wali.
Jika kedua
orang tua semuanya dipecat dari kekuasaan orang tua, maka Hakim juga harus
menetapkan seorang wali.
Menurut ketentuan dalam pasal 365 maka jika Hakim harus menetapkan seorang
wali, maka ia dapat juga menetapkan sebagai wali, suatu perkumpulan yang
berbadan hukum, suatu yayasan atau
lembaga yang bertujuan memelihara anak-anak belum dewasa.
Menurut
pasal 306 harus ada wali pengawas dan ini dilakukan oleh Balai Harta
Peninggalan. Selain dari Balai Harta Peninggalan masih ada juga suatu badan,
yang disebut Dewan Perwakilan, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari
anggota Balai Harta Peninggalan, yang tudasnya mengurusi anak yang di
percayakan kepadanya [416a].
Ketentuan-ketentuan
itu sudah diatur dalam stbld no. 166. Tentang siapa yang dapat ditetapkan
sebagai wali ada ketentuan –ketentuan sebagai berikut :
Pasal 332 : Tiap orang wajib menerima penetapan sebagai
wali, kecuali beberapa orang yang boleh mengajukan keberatan yaitu :
Pasal 332 a : seorang yang diangkat sebagai wali oleh
salah satu dari kedua orang tua; seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini
harus dinyatakan di kepaniteraan pegadilan negeri.
Pasal 347 : orang-orang yang berada di luar negeri dengan
tugas pemerintah, anggota-anggota ketentaraan dan angkatan laut; Orang-arang
yang bertugas Pemerintah di luar Karesidenan mereka.
Pasal 379 : Ini mengenai orang yang sama sekali tidak
boleh menjadi wali, diantaranya:
-
Pejabat-pejabat
pengadilan,
-
Orang yang
sakit ingatan,
-
Orang yang
belum dewasa,
-
Orang yang
di bawah pengampuan,
-
Orang yang
di pecat yang kekuasaan orang tua atau perwalian,
-
Para anggota
pimpinan Balai Harta Peninggalan.[9]
Isi
dari suatu perwalian ialah : sebagaimana juga di dalam hal kekuasaan orang tua,
ada 2 rupa:
Tugas
yang mengenai pribadi anak yang di bawah perwalian, dan pengurusan harta
kekayaan si anak.
Tentang
tugas mengenai pribadi seorang anak menurut pasal 383, maka itu terdiri dari perawatan
dan pendidikan anak itu dan juga perwalian di muka Pengadilan.
Pengurusan
harta kekayaan si anak, terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut :
Pasal
335 : Tiap wali sebagai jaminan atas pengurusan, harta
kekayaan si anak, di dalam waktu 1 bulan setelah perwaliannya mulai barjalan,
harus mengadakan tanggungan yang berupa ikatan tanggungan (borg), hipotik atau
gadai.
Pasal
386 : Wali harus mengadakan daftar perincian dari barang
kekayaan si anak, di dalam waktu 10 hari setelah mulai perwaliannya berjalan
yang harus dihadiri oleh wali pengawas (Balai Harta Peninggalan). Hal-hal
tersebut di atas adalah merupakan jaminan, bahwa harta kekayaan si anak dapat
pengurusan yang baik.
Selanjutnya
hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan adalah seperti berikut :
Pasal
389 : Wali harus menjual semua perabotan rumah tangga, dan
barang bergerak lainnya yang tidak memberikan hasil, yang jatuh kepada si anak.
Pasal
390 : keharusan menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu
dilakukan si ayah atau si ibu yang berhak atas hak petik hasil harta kekayaan
si anak, untuk kemudian memberikan barang itu kepada si anak.
Pasal
396 : wali untuk kepentingan si anak tidak boleh meminjam
uang, menjual atau menggadaikan barang tak bergerak dari si anak, dan tidak
boleh juga ia menjual surat berharga dan piutang, kalau tidak dengan izin
Pengadilan.
Pasal
395 : Di dalam hal penjualan barang tak bergerak itu di
izinkan oleh pengadilan maka penjual itu harus dilakukan di muka umum.
Pasal
400 : Wali tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha
(pacht) barang-barang si anak untuk kepentingan diri sendiri tanpa izin
Pengadilan.
Pasal
401 : Wali tidak boleh menerima wrisan yang jatuh pada si
anak, kecuali dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan
Dalam
berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: ( dalam hubungan
terhadap dengan keadaan anak; dan (2) dalam hubungan dengan tugas wali.[10]
1) Dalam hubungan terhadap dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena:
-
Si anak yang
di bawah perwalian telah dewasa (meenderjarig)
-
si anak (meenderjarig)
meninggal dunia
-
timbulnya
kembali kekuasaan orang tuanya (ouderlijkkemacth) dan
-
pengesahan
seorang anak luar kawin.
2) Dalam hubungan
dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir
karena:
-
Wali
meninggal dunia
-
Dibebaskan
atau dipecat dari perwalian (ontzettng of ontheffing) dan
-
Ada alasan
pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 B.W).
Sedangkan syarat utama untuk dipecat (otzet) sebagai
wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige itu
sendiri.
Pada setiap perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan
perhitungan tanggumg jawab penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal:
1. Perwalian yang sama sekali dihentikan yaitu kepada
minderjarige atau kepada ahli warisnya
2. Perwalian yang dihentikan karena diri (persoon)
wali, yaitu kepada yang menggantinya dan
3. Minderjarige yang sudah berada di bawah perwalian, kembali
lagi berada di bawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige
itu (Pasal 409 B.W).
D. Pengampuan
Dalam KUH Perdata [BW] ada ketentuan-ketentuan tentang
apa yang dinamakan “pengampuan” [“curatele”] yang tentunya hanya berlaku
bagi mereka yang tunduk pada KUH Perdata [BW].
Orang
yang sudah dewasa tetapi dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh
di bawah pengampuan, sekalipun kadang-kadang ia cakap menggunakan pikirannya.
Seorang dewasa juga boleh ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.
Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya
berdasarkan atas keadaannya: dungu, sakit otak atau mata gelap. Namun
berdasarkan keborosannya, pengampuan itu hannya boleh diminta ole para keluarga
sedarahnya.
Akibat ditaruhnya seseorang di bawah pengampuan,
perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya setelah itu semuanya batal demi
hukum. Pengadilan akan mengangkat seorang pengampu, sedangkan “pengampu
pengawas” adalah Balai Harta Peninggalan.
Pengampuan
berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang.
Acara
pembebasan dari pengampuan adalah sama dengan cara yang haru ditempuh sewaktu
mengajukan permohonan untuk menaruh orang itu di bawah pengampuan. Pembebasan
dari pengampuan itu juga harus dimuat dalam Berita Negara.[11]
E.
Adopsi
Adopsi adalah pengangkatan anak oleh seoarang dengan
maksud untuk menganggapnya anak itu sebagai anaknya sendiri. Didalam. BW hal
yang demikian itu tidak mungkin, karena BW memandang suatu perkawinan sebagai
bentuk hidup bersama bukan untuk mengadakan keturunan. Karena adopsi itu di
kalangan bangsa Tionghoa suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan, maka soal
adopsi ini mendapat pengaturan sendiri yaitu dalam Stbld. 1917-129 Bab II.
Adapun hal-hal yang penting untuk diperhatikan ialah
seperti berikut:
Adopsi dapat dilakukan oleh suami-istri bersama-sama [pasal ayat 2]. Kalau
adopsi dilakukan oleh seorang duda, maka ia harus tidak mempunyai keturunan di
dalam garis laki-laki [pasal 5 ayat 1]. Seorang janda yang tidak kawin lagi
dapat mengadakan adopsi. Jika dari suaminya yang telah meninggal dunia ia tidak
mempunyai keturunan laki-laki [pasal 5 ayat 3].
Orang yang diadopsi harus berumur paling sedikit 18 tahun
lebih muda dari lelaki dan 15 tahun lebih muda dari perempuan bersuami atau
janda yang melakukan adopsi [pasal 7 ayat 1]. Jika yang diadopsi itu seorang
keluarga sedarah maka dengan diadakannya adopsi itu, anak itu harus menduduki
derajat keturunan yang sama terhadap leluhurnya yang sama [pasal 7 ayat 2]
seperti belum diadopsi. Syarat-syarat untuk mengadakan adopsi adalah seperti
berikut [pasal 8] :
1) Persetujuan yang melakukan adopsi
2) Persetujuan orang tua atau ayah atau ibu dari orang yang
diadopsi
3) Persetujuan dari orang yang diadopsikan sendiri jika ia
telah berusia 15 tahun
4) Jika adopsi dilakukan oleh seorang janda maka perlu juga
persetujuan dari saudara lelaki yang
dewasa dan ayah dari suami yang telah meninggal dunia, dan jika orang-orang ini
telah meninggal dunia atau tidak berada di Indonesia, maka harus ada
persetujuan dari keluarga laki-laki yang telah dewasa dari pancer ayah suami
yang telah meninggal dunia hingga derjat ke-4.
Adapun akibat dari adopsi adalah sebagai berikut : Dengan
adopsi, orang yang diadopsi itu, jika ia mempunyai nama keluarga lain dari pada
orang yang melakukan adopsi, ia harus memakai nama keluarga [syeh] yang
melakukan adopsi itu [pasal II].[12]
Jika
adopsi itu dilakukan oleh suami-istri maka anak yang diadopsi itu dianggap
lahir di dalam perkawinan mereka, jika yang melakukan adopsi itu seorang duda,
maka yang diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan dengan istri yang
telah meninggal.
Jika
yang melakukan adopsi itu seorang janda, maka orang yang diadopsi itu dianggap
lahir di dalam perkawinan dengan suami yang telah meninggal dunia (pasal 12).
Dengan adopsi, maka hubungan keperdataan yang berdasarkan
epada keturunan darah antara orang yang diadopsi dengan orang tuanya atau
keluarganya sedarah dan semenda terputus kecuali di dalam hal :
1. Perderajatan di dalam hubungan kekeluargaan sedarah atau
semenda sebagai larangan untuk kawin.
2. Ketentuan-ketentuan di dalam bidang hukum pidana yang
berdasarkan keturunan sedarah; (tidak berlakunya pasal-pasal KUHP jika yang
melakukan kejahatan itu keluar sendiri. Juga di dalam hal persaksian.
3. Kompensasin ongkos perkara dan penggelan.
4. Pembuktian dengan saksi; (ketentuan-ketentun yang
mengenai persaksian keluarga).
5. Persaksian di dalam membuat akta otentik (pasal 14).
F.
Keadaan
tidak hadir
Keadan tidak hadirnya seorang adalah keadaan dimana
seorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui dimana orang itu
berada. Di dalam keadaan seperti ini terdapat ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
a) Tindakan sementara
Pasal 413. Jika tidak ditinggalkan suatu kuasa kepada
seorang wakil untuk mewakilinya atau mengurusi kepentingannya, dan jika ada
alasan yang mendesak, maka atas permintaan yang berkepentingan, atas tindakan
jaksa, Pengadilan harus mamarintahkan kepada Balai Harta Peninggalan untuk
mewakilinya atau mengurusi kepentingan orang yang tidak hadir itu.
b) Peryataan tentang dugaan seorang telah meninggal dunia.
Jika seorang telah sekian lamanya tidak hadir maka harus
diperhatikan apakah ia meninggalkan
surat kuasa atau tidak. Kalau ia tidak meninggalkan surat kuasa, maka berlaku
ketentuan dalam pasal 467 yan menentukan bahwa, jika keadaan itu telah
berlangsung 5 tahun maka atas permintaan yang berkepentingan ia dengan izin
pengadilan dipanggil untuk menghadap di muka pengadlan. Kalau orang itu tidak
menghadap maka pengadilan diulangi sampai 3 kali dengan antar waktu 3 bulan.
Pasal 468 : Jika
atas panggilan yang terakhir itu ia tidak menghadap, maka pengadilan boleh
menyatakan orang itu diduga telah meninggal dunia, sejak waktu ia meninggakan
tempat tinggalnya, atau kabar terakhir tentang keselamatanya.
Jika ada surat kuasa, maka menurut pasal 470 waktu tidak
hadir itu harus genap 10 tahun, agar supaya pengadilan dapat mengadakan
pernyataan dugaan telah meninggalnya seseorang.
Akibat dari pada pernyataan itu adalah bahwa para ahli
waris dapat tampilkemuka untuk menuntut haknya, tapi dengan disertai jaminan
agar supaya harta kekayaan berada di dalam pengutusan yang baik.
Demikian ini untuk menghadapi kemungkinan bahwa yang
tidak hadir itu datang kemali.
Harta warisan dapat dibagi-bagi. Terhadap ini semua harus
diadakan jamianan atau tanggungan yang harus disahkan oleh pengadilan.
Surat-surat wasiat dapat juga dibuka. Demikian isi pasal 472.
Pasal
473 : Jika tanggungan tiak dapat diberikan, maka harta-harta peninggalan harus
duurus oleh pihak ke 3.
Pasal474 : Terhadap harta peninggalan itu
para waris mempunyai hak petik hasil.
Pasal 476 : Jika
yang tak hadir pulang kembali, maka mereka yang telah menerima barang
kekayaannya dalam penguasaan atau pengurusan harus melakukan perhitungan,
pertanggungan jawab dan penyerahan kepada orang yang pulang kembali tadi.
IV.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahawa hukum
keluarga itu diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan
hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak
hadir).
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat saya sampaikan, saya sadar makalah ini masih kurang dari
kesempurnaan, jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan
pengetahuan saya. Maka dari itu, kritik dan saran sangat saya butuhkan demi
kesempurnaan isi makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, Ali,
Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Rineka Cipta,
1997.
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis,
Jakarta: Sinar Grafika,
Subekti R., Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta:
PT Intermasa, 1990.
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta: Kencana, 2008.
[1] Ali Afandi,
Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata, Jakarta:
Bina Aksara, hlm. 93.
[2] Titik
Triwulan Tutik, S.H., M.H. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta: Kencana, hlm. 73.
[3]
Salim H. S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika,
hlm. 55.
[4] Ali
Afandi, Op. Cit., hlm. 91.
[5]
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 75-76.
[6]
Pof. Ali Afandi, S.H.HUKUM WARIS HUKUM KELUARGA HUKU PEMBUKTIAN,Jakarta:PT
RINEKACIPTA,1997,hlm.155.
[7]
Ibid. Hlm.155
[8]
Prof. R. Subekti, S.H. Hukum Keluarga dan Hukum Waris,Jakarta:PT
Intermasa,1990, hlm.18.
No comments:
Post a Comment