Menu

Monday, 28 May 2012

makalah hukum perdata tentang hukum keluarga


I.            PENDAHULUAN
Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan [perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir].
Oleh karena itu pemakalah ingin sedikit menguraikan masalah tentang Hukum Keluarga yang dia ketahui.

II.            RUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan membahas tentang:
A.     Pengertian hukum keluarga
B.     Kekuasaan orang tua
C.     Perwalian
D.     Pengampuan
E.      Adopsi
F.      Keadaan tidak hadir

III.            Pembahasan
A.       Pengertian hukum keluarga
Istilah hukumkeluarga berasal dari terjemahan Familierecht  ( Belanda ) atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi,[1] hukum keluarga diartikan sebagaikeseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Ada dua hal penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya).[2]
                                    Tahir Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.[3]
                                    Definisi Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu luas, karena menyangkut warisan, yang dalam hukum perdata BW merupakan bagian dari hukum benda.
                                    Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah  kaidah-kaidah hukum yang bersumber daru undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, mamari dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
                        Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi:
a)      Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b)      Peraturan perceraian
c)      Peraturan kekuasaan orang tua
d)      Peraturan kedudukan anak
e)      Peraturan pengampuan (curatele) dan
f)       Peraturan perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum keluarga pada berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat hubungannya dengan tata tertib umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang bertentangan dengan ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi ketentuan tersebut antara lain:
1)      Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan dan menuju alam sosialisme Indonesia.
2)      Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3)      Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh dengan kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.[4]
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata  tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); (2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898 – 158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 -74; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai  Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.[5]


B.         Kekuasaan orang tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.Dengan demikian kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau [dalam halnya anak luar kawin yang disahkan]. Oleh karena itu kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Demikian isi dari pasal 299. Menurut pasal 300 kekuasaan orang tua itu biasanya dilakukan oleh si ayah.
Jika bapak berada di laur kemungkinan melakukan kekuasaan itu yang melakukan kekuasaan adalah si ibu.[6]
Selanjutnya pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua terhadap anak.
di dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan ia masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya sebagai orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah :
1.      Belum mencapai umur 21 tahun
2.      Belum kawin.
Kembali berbica tentang kekuasaan orang tua, dari kekuasaan itu diatur dalam pasal 298-310. Isi dari kekuasaan orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
1.      Kekusaan terhadap pribadi seorang anak,
2.      Kekuasaan terhadap kekayaan anak
Tentang kekuasaan tentang peribadi seorang anak terdapat ketentuan sebagai berikut:
Pasal 298 dan 301:
Tiap anak berapa pun umurnya, wajib menghormat dan menyegani orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik srmua anak yang belum dewasa.
Dan kekuasaan terhadap harta kekayaan anak terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Ini dimuat dalam pasal 307-318, yang perlu diperhatikan ialah pada pasal 307: Orang yang memegang kekuasaan orang tua harus mengurus harta kekayaan si anak.[7]

C.       Perwalian
Anak yang  belum mencapai umur 18 [delapan belas] tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,  berada di bawah kekuasaan wali. Pewalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya [pasal 30 UU perkawinan].[8]
Yang dimaksud perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orang tua.Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai ataun jika salah satu dari mereka atau semua meninggal dunia, berada dibawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka kaerena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.
Anak yang berada di bawah perwalian disebut pupil, dan disini ada 3 jenis perwalian :
1.      Perwalian menurut undang-undang, yaitu yang disebut dalam pasal 345.
Jika salah satu orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak kawin yang belum dewasa.
Pasal 351. Jika yang jadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi maka suaminya menjadi kawan wali.
2.      Perwalian dengan wasiat.
Menurut pasal 355 ditentukan bahwa tiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan  hakim. Perwalian seperti ini dapat dilakukan dengan surat wasiat atau dengan akta notaris.
3.      Perwalian datif, yaitu apabila tiada ada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh hakim ditetapkan seorang wali [pasal 359].
Jika seandainya telah diputuskan suatu perceraian,  maka dengan demikian tiada ada lagi kekuasaan orang tua, dan salah seorang dari orang tua harus di tetapkan sebagai wali.
Jika kedua orang tua semuanya dipecat dari kekuasaan orang tua, maka Hakim juga harus menetapkan seorang wali. Menurut ketentuan dalam pasal 365 maka jika Hakim harus menetapkan seorang wali, maka ia dapat juga menetapkan sebagai wali, suatu perkumpulan yang berbadan hukum, suatu yayasan  atau lembaga yang bertujuan memelihara anak-anak belum dewasa.
Menurut pasal 306 harus ada wali pengawas dan ini dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan. Selain dari Balai Harta Peninggalan masih ada juga suatu badan, yang disebut Dewan Perwakilan, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari anggota Balai Harta Peninggalan, yang tudasnya mengurusi anak yang di percayakan kepadanya [416a].
Ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam stbld no. 166. Tentang siapa yang dapat ditetapkan sebagai wali ada ketentuan –ketentuan sebagai berikut :
Pasal 332 : Tiap orang wajib menerima penetapan sebagai wali, kecuali beberapa orang yang boleh mengajukan keberatan yaitu :

Pasal 332 a : seorang yang diangkat sebagai wali oleh salah satu dari kedua orang tua; seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini harus dinyatakan di kepaniteraan pegadilan negeri.
Pasal 347 : orang-orang yang berada di luar negeri dengan tugas pemerintah, anggota-anggota ketentaraan dan angkatan laut; Orang-arang yang bertugas Pemerintah di luar Karesidenan mereka.

Pasal 379 : Ini mengenai orang yang sama sekali tidak boleh menjadi wali, diantaranya:
-          Pejabat-pejabat pengadilan,
-          Orang yang sakit ingatan,
-          Orang yang belum dewasa,
-          Orang yang di bawah pengampuan,
-          Orang yang di pecat yang kekuasaan orang tua atau perwalian,
-          Para anggota pimpinan Balai Harta Peninggalan.[9]
Isi dari suatu perwalian ialah : sebagaimana juga di dalam hal kekuasaan orang tua, ada 2 rupa:
Tugas yang mengenai pribadi anak yang di bawah perwalian, dan pengurusan harta kekayaan si anak.
Tentang tugas mengenai pribadi seorang anak menurut pasal 383, maka itu terdiri dari perawatan dan pendidikan anak itu dan juga perwalian di muka Pengadilan.
Pengurusan harta kekayaan si anak, terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut :
Pasal 335 : Tiap wali sebagai jaminan atas pengurusan, harta kekayaan si anak, di dalam waktu 1 bulan setelah perwaliannya mulai barjalan, harus mengadakan tanggungan yang berupa ikatan tanggungan (borg), hipotik atau gadai.
Pasal 386 : Wali harus mengadakan daftar perincian dari barang kekayaan si anak, di dalam waktu 10 hari setelah mulai perwaliannya berjalan yang harus dihadiri oleh wali pengawas (Balai Harta Peninggalan). Hal-hal tersebut di atas adalah merupakan jaminan, bahwa harta kekayaan si anak dapat pengurusan yang baik.
Selanjutnya hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan adalah seperti berikut :
Pasal 389 : Wali harus menjual semua perabotan rumah tangga, dan barang bergerak lainnya yang tidak memberikan hasil, yang jatuh kepada si anak.
Pasal 390 : keharusan menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu dilakukan si ayah atau si ibu yang berhak atas hak petik hasil harta kekayaan si anak, untuk kemudian memberikan barang itu kepada si anak.
Pasal 396 : wali untuk kepentingan si anak tidak boleh meminjam uang, menjual atau menggadaikan barang tak bergerak dari si anak, dan tidak boleh juga ia menjual surat berharga dan piutang, kalau tidak dengan izin Pengadilan.
Pasal 395 : Di dalam hal penjualan barang tak bergerak itu di izinkan oleh pengadilan maka penjual itu harus dilakukan di muka umum.
Pasal 400 : Wali tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha (pacht) barang-barang si anak untuk kepentingan diri sendiri tanpa izin Pengadilan.
Pasal 401 : Wali tidak boleh menerima wrisan yang jatuh pada si anak, kecuali dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan

Dalam berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: ( dalam hubungan terhadap dengan keadaan anak; dan (2) dalam hubungan dengan tugas wali.[10]
1)      Dalam hubungan terhadap dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena:
-          Si anak yang di bawah perwalian telah dewasa (meenderjarig)
-          si anak (meenderjarig) meninggal dunia
-          timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya (ouderlijkkemacth) dan
-          pengesahan seorang anak luar kawin.
2)       Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena:
-          Wali meninggal dunia
-          Dibebaskan atau dipecat dari perwalian (ontzettng of ontheffing) dan
-          Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 B.W).
Sedangkan syarat utama untuk dipecat (otzet) sebagai wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige itu sendiri.
Pada setiap perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggumg jawab penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal:
1.      Perwalian yang sama sekali dihentikan yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli warisnya
2.      Perwalian yang dihentikan karena diri (persoon) wali, yaitu kepada yang menggantinya dan
3.      Minderjarige  yang sudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di bawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal 409 B.W).

D.       Pengampuan
Dalam KUH Perdata [BW] ada ketentuan-ketentuan tentang apa yang dinamakan “pengampuan” [“curatele”] yang tentunya hanya berlaku bagi mereka yang tunduk pada KUH Perdata [BW].
            Orang yang sudah dewasa tetapi dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, sekalipun kadang-kadang ia cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa juga boleh ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya berdasarkan atas keadaannya: dungu, sakit otak atau mata gelap. Namun berdasarkan keborosannya, pengampuan itu hannya boleh diminta ole para keluarga sedarahnya.
Akibat ditaruhnya seseorang di bawah pengampuan, perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya setelah itu semuanya batal demi hukum. Pengadilan akan mengangkat seorang pengampu, sedangkan “pengampu pengawas” adalah Balai Harta Peninggalan.
            Pengampuan berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang.
            Acara pembebasan dari pengampuan adalah sama dengan cara yang haru ditempuh sewaktu mengajukan permohonan untuk menaruh orang itu di bawah pengampuan. Pembebasan dari pengampuan itu juga harus dimuat dalam Berita Negara.[11]

E.        Adopsi
Adopsi adalah pengangkatan anak oleh seoarang dengan maksud untuk menganggapnya anak itu sebagai anaknya sendiri. Didalam. BW hal yang demikian itu tidak mungkin, karena BW memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama bukan untuk mengadakan keturunan. Karena adopsi itu di kalangan bangsa Tionghoa suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan, maka soal adopsi ini mendapat pengaturan sendiri yaitu dalam Stbld. 1917-129 Bab II.
Adapun hal-hal yang penting untuk diperhatikan ialah seperti berikut: Adopsi dapat dilakukan oleh suami-istri bersama-sama [pasal ayat 2]. Kalau adopsi dilakukan oleh seorang duda, maka ia harus tidak mempunyai keturunan di dalam garis laki-laki [pasal 5 ayat 1]. Seorang janda yang tidak kawin lagi dapat mengadakan adopsi. Jika dari suaminya yang telah meninggal dunia ia tidak mempunyai keturunan laki-laki [pasal 5 ayat 3].
Orang yang diadopsi harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda dari lelaki dan 15 tahun lebih muda dari perempuan bersuami atau janda yang melakukan adopsi [pasal 7 ayat 1]. Jika yang diadopsi itu seorang keluarga sedarah maka dengan diadakannya adopsi itu, anak itu harus menduduki derajat keturunan yang sama terhadap leluhurnya yang sama [pasal 7 ayat 2] seperti belum diadopsi. Syarat-syarat untuk mengadakan adopsi adalah seperti berikut [pasal 8] :
1)      Persetujuan yang melakukan adopsi
2)      Persetujuan orang tua atau ayah atau ibu dari orang yang diadopsi
3)      Persetujuan dari orang yang diadopsikan sendiri jika ia telah berusia 15 tahun
4)      Jika adopsi dilakukan oleh seorang janda maka perlu juga persetujuan dari saudara lelaki  yang dewasa dan ayah dari suami yang telah meninggal dunia, dan jika orang-orang ini telah meninggal dunia atau tidak berada di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari keluarga laki-laki yang telah dewasa dari pancer ayah suami yang telah meninggal dunia hingga derjat ke-4.
Adapun akibat dari adopsi adalah sebagai berikut : Dengan adopsi, orang yang diadopsi itu, jika ia mempunyai nama keluarga lain dari pada orang yang melakukan adopsi, ia harus memakai nama keluarga [syeh] yang melakukan adopsi itu [pasal II].[12]
            Jika adopsi itu dilakukan oleh suami-istri maka anak yang diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan mereka, jika yang melakukan adopsi itu seorang duda, maka yang diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan dengan istri yang telah meninggal.
            Jika yang melakukan adopsi itu seorang janda, maka orang yang diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan dengan suami yang telah meninggal dunia (pasal 12).
Dengan adopsi, maka hubungan keperdataan yang berdasarkan epada keturunan darah antara orang yang diadopsi dengan orang tuanya atau keluarganya sedarah dan semenda terputus kecuali di dalam hal :
1.      Perderajatan di dalam hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda sebagai larangan untuk kawin.
2.      Ketentuan-ketentuan di dalam bidang hukum pidana yang berdasarkan keturunan sedarah; (tidak berlakunya pasal-pasal KUHP jika yang melakukan kejahatan itu keluar sendiri. Juga di dalam hal persaksian.
3.      Kompensasin ongkos perkara dan penggelan.
4.      Pembuktian dengan saksi; (ketentuan-ketentun yang mengenai persaksian keluarga).
5.      Persaksian di dalam membuat akta otentik (pasal 14).

F.        Keadaan tidak hadir
Keadan tidak hadirnya seorang adalah keadaan dimana seorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui dimana orang itu berada. Di dalam keadaan seperti ini terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a)    Tindakan sementara
Pasal 413. Jika tidak ditinggalkan suatu kuasa kepada seorang wakil untuk mewakilinya atau mengurusi kepentingannya, dan jika ada alasan yang mendesak, maka atas permintaan yang berkepentingan, atas tindakan jaksa, Pengadilan harus mamarintahkan kepada Balai Harta Peninggalan untuk mewakilinya atau mengurusi kepentingan orang yang tidak hadir itu.
b)   Peryataan tentang dugaan seorang telah meninggal dunia.
Jika seorang telah sekian lamanya tidak hadir maka harus diperhatikan apakah  ia meninggalkan surat kuasa atau tidak. Kalau ia tidak meninggalkan surat kuasa, maka berlaku ketentuan dalam pasal 467 yan menentukan bahwa, jika keadaan itu telah berlangsung 5 tahun maka atas permintaan yang berkepentingan ia dengan izin pengadilan dipanggil untuk menghadap di muka pengadlan. Kalau orang itu tidak menghadap maka pengadilan diulangi sampai 3 kali dengan antar waktu 3 bulan.
Pasal 468  : Jika atas panggilan yang terakhir itu ia tidak menghadap, maka pengadilan boleh menyatakan orang itu diduga telah meninggal dunia, sejak waktu ia meninggakan tempat tinggalnya, atau kabar terakhir tentang keselamatanya.
Jika ada surat kuasa, maka menurut pasal 470 waktu tidak hadir itu harus genap 10 tahun, agar supaya pengadilan dapat mengadakan pernyataan dugaan telah meninggalnya seseorang.
Akibat dari pada pernyataan itu adalah bahwa para ahli waris dapat tampilkemuka untuk menuntut haknya, tapi dengan disertai jaminan agar supaya harta kekayaan berada di dalam pengutusan yang baik.
Demikian ini untuk menghadapi kemungkinan bahwa yang tidak hadir itu datang kemali.
Harta warisan dapat dibagi-bagi. Terhadap ini semua harus diadakan jamianan atau tanggungan yang harus disahkan oleh pengadilan. Surat-surat wasiat dapat juga dibuka. Demikian isi pasal 472.
                                    Pasal 473 : Jika tanggungan tiak dapat diberikan, maka harta-harta peninggalan harus duurus oleh pihak ke 3.
Pasal474 : Terhadap harta peninggalan itu para waris mempunyai hak petik hasil.
                        Pasal 476 : Jika yang tak hadir pulang kembali, maka mereka yang telah menerima barang kekayaannya dalam penguasaan atau pengurusan harus melakukan perhitungan, pertanggungan jawab dan penyerahan kepada orang yang pulang kembali tadi.

IV.            KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahawa hukum keluarga itu diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).

V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan, saya sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan, jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan saya. Maka dari itu, kritik dan saran sangat saya butuhkan demi kesempurnaan isi makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika,
Subekti R., Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta: PT Intermasa, 1990.
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008.














[1] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 93.
[2] Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, hlm. 73.
[3] Salim H. S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 55.
[4] Ali Afandi, Op. Cit., hlm. 91.
[5] Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 75-76.
[6] Pof. Ali Afandi, S.H.HUKUM WARIS HUKUM KELUARGA HUKU PEMBUKTIAN,Jakarta:PT RINEKACIPTA,1997,hlm.155.
[7] Ibid. Hlm.155
[8] Prof. R. Subekti, S.H. Hukum Keluarga dan Hukum Waris,Jakarta:PT Intermasa,1990, hlm.18.
[9] Prof. Ali Afandi, S.H., op. Cit, hlm 157-158.
[10] Ibid, hlm. 91.
[11] Prof. R. Subekti, S.H., Op. Cit, hlm 20.
[12] Prof. Ali Afandi, S.H, Op. Cit, hlm 151.

No comments: