GEORG SIMMEL
Makalah
Disusun guna memenuhi
tugas
Mata kuliah: Sosiologi
Dosen pengampu: bapak
Sahidin
Disusun oleh:
1.
Musta’in (102111047)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
sosiologi di dunia modern sejak akhir abad 19 mulai tumbuh pesat seiring dengan
berkembangnya derivasi sosiologi ini. Dalam sosiologi komtemporer perspektif
yang dipakai agak berbeda dengan ide-ide formatif dari tokoh-tokoh sosiologi
formatif seperti Weber, Durkheim atau Simmel. Ini tidaklah mengherankansebab
memang sulit sekali untuk menganggap sosiologi sebagai sebuah formasi diskursif
dengan batas-batas dan ciri-ciri “ilmu pengetahuan normal” dalam pengertian
yang di pakai Thomas Khun.
II.
PERMASALAHAN
Dalam makalah ini
akan dibahas tentang Georg Simmel secara ringkas yang mencangkup:
1.
Biografi
2.
pemikiran
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Georg
Simmel[1]
Georg Simmel
dilahirkan pada tahun 1858 di Berlin, suatu daerah dia hidup pada masa
kanak-kanak, sebagai mahasiswa maupun sebagai guru besar. Orang tua Simmel
adalah orang yahudi yang beragama protestan. Latar belakang ini kemudian
menjadi halangan utama perkembangan karir Simmel selama hidupnya. Suasana anti
Semit di Berlin tidak dapat dihindari oleh Simmel, walaupun keluarganya
beragama protestan.
Simmel belajar di
Universitas Berlin. Di sinilah ia meraih gelar Doktor pada tahun 1881 dan
mengajar di perguruan tinggi itu mulai tahun 1885 sampai tahun 1914. Sebagai
gurubesar pada universitas tersebut, Simmel memberikan kuliyah-kuliyah yang
sangat popular dan banyak menulis, walaupun karirnya tidak begitu berkembang
oleh karena latar belakang etnik yang tidak menguntungkan pada waktu itu.
Pada tahun 1914,
Simmel diangkat sebagai guru besar tetap pada Universitas Strassbourg, dengan
bantuan temannya yaitu Max Weber. Simmel meninggal dunia pada tahun 1918,
dengan meninggalkan karya tulis yang tersebar.
Dalam bidang
sosiologi, pusat perhatiannya terarah pada proses interaksi yang dianggapnya
sebagai ruang lingkup primer sosiologi dan perkembanganya. Selanjutnya ia
menyelidiki masalah solidaritas dan konflik yang dikaitkanya dengan besar
kecilnya kelompok.
B.
Pemikiran
1.
Dyad dan Triad[2]
Simmel berpendapat
bahwa unit terkecil dalam kehidupan manusia yang menjadi ruang lingkup
perhatian sosiologi adalah dyad, yang merupakan unit atau kelompok yang terdiri
dari dua orang. Contohnya adalah, suami istri, dua orang sahabat karib dan
seterusnya. Dalam dyad tersebut kemungkinan besar yang terjadi adalah salah
satu pihak tenggelam dalam kedudukan dan peranan pihak lain. Oleh karena dyad
terdiri dari hanya dua pihak, maka tak ada pihak lain yang mungkin
menengahinya, sehingga Simmel berkesimpulan, kedua pihak tersebut sebenarnya
merupakan suatu kesatuan perasaan.
Dengan adanya
kemungkinan bahwa dalam dyad terjadi hubungan yang sangat erat yang menyatu,
maka ada pula kemungkinan terjadinya konflik atau pertikaian. Kesatuan perasaan
terkadang terganggu oleh tindakan masing-masing pihak, yang mungkin
mengakibatkan konflik. Ketiadaan pihak ketiga, menimbulkan situasi ketiadaan
pemisah apabila terjadinya gangguan pada keserasian hubungan dalam dyad
tersebut.
Apabila terjadi
kehadiran pihak ketiga, maka structural dan bentuk hubungan dalam dyad akan
mengalami perubahan secara mendasar. Pada umumnya, pihak ketiga melancarkan pengaruh
yang sifatnya moderat. Taraf keakraban dalam dyad agak menurun. Simmel juga
berpendapat bahwa dalam triad cenderung tidak stabil, oleh karena koheren
terkait dengan pembentukan suatu koalisi dua pihak yang berhadapan dengan pihak
lain. Dalam situasi tertentu dalam keluarga, ada kemungkinan ayah yang menjadi
pihak ketiga, pada situsi lain ibulah yang menjadi pihak ketiga, dan seterusnya.
Proses deprivasi
mengakibatkan terjadinya efek emosional pada diri pihak ketiga. Kalau pihak
ketiga tidak mendapatkan dukungan, pihak tadi memerlukan sesuatu yang akan dapat
mempertahankan kedudukannya.
Apabila terjadi koalisi yang kuat
dalam suatu triad, maka bentuk interaksi mungkin mempunyai sifat sebagai dyad.
Artinya, interaksi terjadi antara dua pihak, dengan satu pihak terdiri dari dua
orang. Simmel pernah mengemukakan sauatu hipotesa yang menyatakan, bahwa
semakin besar suatu kelompok, semakin besar pula kecenderungan terjadinya
bentuk interaksi seperti dyad. Selama terjadinya proses menuju sebagaiman dyad
dalam suatu kelompok besar, setiap pihak atau kategori cenderung menerima
anggota-anggota yang memiliki ciri-ciri pokok sama, misalnya pola sikap tindak,
kekayaan dan seterusnya. Terdapat banyak kesempatan pada pihak-pihak dalam
triad untuk melaksanakan pelbagai peranan. Pemilihan peranan tertentu akan
mengakibatkan konsekuensi tertentu pula. Terkadang pihak itu mengambil
keuntungan dari proses pertikaian yang terjadi. Simmel menyebut keadaan seperti
ini sebagai suatu tipe tertius gaudens.
2.
Hakikat Sosiologis
Pertikaian[3]
Memang
kadang-kadang membingungkan untuk mempermasalahkan apakah pertikaian merupakan
suatu bentuk kerja sama, terlepas dari hasil atau akibatnya. Akan tetapi,
apabila setiap interaksi antar manusia merupakan kerja sama, maka pertikaian
harus dianggap sebagai suatu bentuk kerja sama. Pertikaian ada untuk mengatasi
pelbagai dualisme yang berbeda, oleh karena merupakan salah satu cara untuk
mencapai taraf keseragaman tertentu, walupun dengan cara meniadakan salah satu
pihak yang bersaing.
Peranan positif dan
integrative dari antagonisme terbukti dari adanya struktur-struktur yang
dilandaskan pada pemisahan kelas-kelas social yang tegas. Sebagaimana halnya
dalam masyarakat berkasta. Dalam keadaan manusia yang bersikap tidak acuh
secara relatif bersifat terbatas. Oleh karena setiap tanggapan psikologis
manusia tertuju pada setiap pihak yang mempunyai perasaan tertentu. Perasaan
itulah yang menyebabkan terjadinya ketidakacuhan, dan justru hal itu yang
merupakan sumber antagonisme, melindungi manusia terhadap kekuatan-kekuatan
yang negative yang berasal dari pihak lain.
Apabila antagonisme
tidak menghasilkan kerja sama, maka secara sosiologis antagonisme merupakan
unsur yang tidak pernah tidak ada dalam kerja sama. Perananya dapat sampai pada
taraf menekan semua unsure-unsur konvergensi.
Secara empiris dan
rasional, manusia sebenarnya merupakan makhluk egoistis. Permusuhan secara
alamiah berpasangan dengan simpati. Perhatian manusia terhadap penderitaan
pihak lain hanya dapat dijelaskan berdasarkan motivasi-motivasi tertentu.
Pada taraf
pembudayaan spiritual yang paling tinggi, ada kemungkinan untuk mencegah pertikaian
dalam hubungan akrab. Hal ini disebabkan, oleh karena dalam taraf itu terjadi
penggabungan antara sikap kasih saying mutual dengan diferesiansi yang ada.
3.
Persaingan[4]
Suatu ciri yang
menonjol dari persaingan adalah dalam prose situ terjadi pertikaian yang tidak
langsung. Apabila satu pihak menindas musuhnya atau merugikanya secara
langsung, maka tidak terjadi persaingan.
Dalam bentuknya
yang murni, persaingan tidak bersifat ofensif dan desensif, oleh karena imbalan
persaingan tidak berada di tangan pihak-pihak yang bersaing. Konsentrasi penuh
pada tujuan, akan dapat menyerap potensi antagonistis terhadap pihak lain.
Setiap pihak bersaing, tanpa menyinggung lawanya. Suatu potensi antagonisme
bergerak menuju realisasi nilai-nilai objektif, dan kemenangan dalam persaingan
bukan terletak pada keberhasilan untuk mengalahkan pihak lawan, akan tetapi
dalam merealisasi nilai-nilai di luar itu.
Kadang-kadang
proses itu terjadi dengan akibat bahwa harga diri para pesaing dan nilai
objektif hasilnya di kesampingkan. Persaingan secara modern digambarkan sebagai
suatu perjuangan dari semua terhadap semua, dan dari semua untuk semua.
Persaingan, secara sosiologis merupakan suatu jaringan konsentrasi terhadap
pikiran, perasaan dan kemauan sesama manusia. Kekuatan persaingan untuk
mengadakan sosialisasi tidak hanya tampak pada bidang-bidang kehidupan publik,
hal itu juga terjadi di bidang pribadi.
Solidaritas organis
dan isolasi akan dibicarakan sebagai pelindung kelompok terhadap pertikaian
dalam kelompok. Semakin erat hubungan dalam kelompok, semakin besar pula
tantangan yang diberikan terhadap sikap tindak permusuhan. Di satu pihak
kelompok dapat menanggulangi antagonisme intern, oleh karena kekuatan sintetis yang
ada dapat mengahadapi kekuatan-kekuatan antithesis secara wajar. Di lain pihak,
suatu kelompok yang mempunyai prinsip persatuan dan rasa kebersamaan,
senantiasa terancam oleh setiap pertikaian yang terjadi dalam kelompok itu.
Dalam kelompok
keagamaan, kegiatan yang dilakukan secara parallel diarahkan pada suatu tujuan
yang sama bagi semua anggota kelompok. Persaingan sebenarnya tidak terjadi,oleh
karena usaha untuk mencapai tujuan tidak menghalangi pihak-pihak lain. Proses
ini menurut Simmel disebut persaingan pasif (esensi persaingan tidak ada, yaitu
perbedaan energy individual sebagai landasan untuk menang atau kalah).
Secara formal persaingan didasarkan
pada prinsip individualisme. Apabila terjadi persaingan dalam kelompok, maka
hubunganya dengan prinsip social subordinasi kepentingan individual terhadap
kepentingan kelompok, tidak selalu jelas. Kepentingan sosial yang murni membuat
hasilnya menjadi tujuan utama, yang bagi pihak yang bersaing hanya merupakan
hal yang sekunder belaka.
Sosialisme dalam
artinya sebagai suatu proses kecenderungan politik-ekonomis, tidak akan dapat
dipahami dengan jelas apabila proses itu tidak diakui sebagai cara kehidupan
tertentu, yang mencangkup hubungan yang dikelola oleh kekuatan tertentu.
4.
Filsafat uang[5]
Menurut Simmel uang
secara historis tidak hanya berfungsi untuk mengukur benda namun juga untuk mengukur
manusia. Simmel secara cermat menyusun teori intinya adalah apa yang mendasari
nilai objek tersebut adalah apa yang harus dikorbankan seseorang dalam
mendapatkanya.
Untuk memecahkan
masalah nilai uang, Simmel memberi sebuah jawaban. Uang tidak perlu memeliki
nilai intrinsik (atau “nilai substansi”) untuk memastikan nilai ekonominya.
Uang sudah cukup diterima oleh semua orang (atau “nilai fungsi”) sebagai satu
alat tukar umum. Uang memiliki bagian-bagian pembentuknya yang bersifat “ekstra
ekonomis” sebagai objek yang mempesona dan menjadi tanda pemamer kekayaan.
Simmel menunjukan
dalam hal apa penyebaran uang bisa ikut berpartisipasi dalam kemunculan
kebebasan individual. Sebenarnya melalui statusnya sebagai ekuivalen umum,
hanya uang sajalah yang bisa dipakai untuk segala keperluan. Di sisi lain
moneterisasi ekonomi memungkinkan dibebaskanya pekerjaan dari pengawasan
perorangan.
Lebih dari sekedar
alat tukar ekonomi, uang juga merupakan suatu intitusi. Uang tidak hanya
menyangkut dua individuyang terlibat dalam pertukaran. Penggunaan uang juga
akan mendukung munculnya kecenderungan psikologis yang memiliki karakteristik
seperti: ketamakan, kekikiran, kesukaan berfoya-foya, kemiskinan atau
kekurangan.
Uang juga ikut
berpartisipasi dalam pembentukan “gaya hidup” maasyarakat yang oleh Simmel
diberikan cirri melalui tiga buah konsep, yaitu jarak, ritme dan simetri.
IV.
KESIMPULAN
Dari penjelasan
ringkas mengenai teori-teori yang disajikan
oleh Simmel mengenai pertikaian dan persaingan dapatlah ditarik
kesimpulan, bahwa Simmel berusaha untuk mengembangkan teori-teori yang
berdasarkan pada bentuk dasar proses sosial. Pendekatan itu disebut sosilogi
formal.
Pendapat Simmel
yang menyatakan bahwa dalam organisme secara menyeluruh terdapat dorongan untuk
bersikap bermusuhan, halmana menimbulkan kebutuhan untuk membenci dan
berkelahi. Dorongan itu bercampur dengan impulsi untuk jatuh cinta, dan di
batasi oleh kekuatan yang ada pada hubungan social. Simmel berpendapat bahwa
sumber utama pertikaian terletak pada unsur biologis manusia sebagai pelaku.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang
dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan
keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami
butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. Mengenal Tujuh
Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Jaya, 2002
Giddens, Anthony. Dkk. Sosiologi,
Sejarah dan Berbagai Pemikiranya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004
No comments:
Post a Comment