Menu

Wednesday, 23 May 2012

makalah fiqh jinayah, percobaan melakukan jarimah



    I.            PENDAHULUAN

             Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan  kepada tata urutan masyarakat atau kehidupan anggota masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang di utamakan dalam pertimbangan. Jarang kita temukan perbuatan membawa keuntungan semata-mata  atau menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan membawa akibat campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan tabi’atnya manusia akan memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya meskipun akan merugikan masyarakatnya.
             Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup  tiga masalah pokok yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
             Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).




II.            PERMASALAHAN

             Dalam makalah ini ada beberapa permasalahan yang akan di bahas, diantaranya:
A.    Percobaan melakukan jarimah dan hukumannya
B.     Fase pelaksanaan jarimah
C.     Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan  hukumannya

III.            PEMBAHASAN

A.    Percobaan melakukan jarimah ((ا لشروع dan hukumannya
             Sudah dijelaskan dalam pasal 45 kitab undang-undang hukum pidana Mesir, tentang pengertian percobaan yaitu: ” percobaan adalah mulai melakukan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah) tetapi perbuatan tersebit tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku”.
            Dikalangan para fuqaha istilah percobaan tidak kita dapati, tetapi jika kita perhatikan lagi maka istilah tersebut terdapat dalam pembicaraan mereka mengenai  ada pemisahan antara jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak ada perhatian secara khusus mengenai jarimah percobaan tersebut disebabkan oleh dua hal:
a.       Percobaan melakukan jarimah tidak dikenai hukuman had atau qishash, melainkan hukuman ta’zir, bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah tersebut. Para fuqaha lebih memperhatikan jarimah hudud dan qishash karena unsur dan syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan dan hukumannya juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi dan dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah ta’zir dengan mengecualikan jarimah ta’zir seperti memaki-maki atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al amri) untuk menentukan macamnya jarimah itu untuk menentukan jarimah tersebut baik yang dilarang dengan langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Kemudian hakim diberikan wewenang luas  dalam menjatuhkan hukuman dimana ia bisa bergerak dengan batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jariamah ta’zir bisa mengalami perubahan antara di hukum dan tidak dihukum, dari masa ke masa , dan dari tempat ke tempat lain dan unsur-unsurnya dapat berganti sesuai dengan pergantian pandangan  penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah ta’zir dan kelanjutannya adalah tidak adanya pembicaraan tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir.[1]
b.      Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus percobaan tidak perlu di adakan, sebab hukuman ta’zir di jatuhkan atas perbuatab maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Percobaan yang pengertiannya sudah dikemukakan di atas adalah mulai mengenakan susuatu perbuatan yang dilarang tetapai tidak selesai, termasuk kepada maksiat yang hukumannya ta’zir. sehingga para fuqaha tidak membahasnya secara khusus.[2] Dengan demikian percobaan sudah termasuk dianggap maksiat dan dikenai hukuman ta’zir yakni jarimah yang selesai juga meskipun satu bagian saja dari bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu dilarang. Jadi tidak aneh jika sesuatu perbuatan itu semata-mata menjadi jarimah dan apabila bergabung dengan yang lain maka akan membentuk jarimah yang lain lagi.
Misalnya saja pencuri apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat di tangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu dianggap semata-mata maksiat (kesalahan) yang dapat dikenai hukuman meskipun sebenarnya baru permulaan dari pelaksanaan jarimah pencuri. Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan niatan untuk mencuri  tanpa melobangi dindingnya telah dianggap berbuat suatu jarimah  tersendiri meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai. Jika pencuri tersebut dapat menyelesaikan penrbuatannya tersebut dengan membawa hasil barang curiannya keluar rumah maka kumpulan perbuatan tersebut  dinamakan “pencurian” dan hukuman had yang akan dijatuhkan kepadanya dan untuk masing-masing  perbuatan yang membentuk pencurian tidak boleh dikenakan hukuman ta’zir sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu yaitu pencurian. Jadi sudah jelas mengapa para fuqaha tidak membahas secara khusus tentang percobaan melakukan jarimah sebab yang di butuhkan dari mereka adalah pemisahan antara jarimah yang selesai dan jarimah yang tidak selesai dimana untuk jarimah yang pertama dikenakan had atau qishash sedangkan untuh jarimah yang kedua dikenakan ta’zir.[3]
Hukuman untuk jarimah percobaan
Menurut ketentuan pokok dalam syari’at islam yang berkaitan dengan jarimah huddud dan qhisash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Rosulullah SAW bersabda yang artinya : “siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah huddud (yang lengkap) maka ia termasuk orang yang menyeleweng.”
Percobaan melakukan pencurian tidak boleh dihukum dengan had pencurian, yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah percobaan adalah hukuman ta’zir.
Dalam hukum pidana Indonesia, hukuman untuk percobaan ini tercantum dalam pasal 53 ayat (2) KUHPidana yang berbunyi:
1.      Maksimum pidana pokok yang diancam atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya.
2.      Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

B.     Fase-fase pelaksanaan jarimah
Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini sangat penting, Karena hanya salah satu fase saja pelaku dapat di tuntut dan di kenakan hukuman, sedangkan fase-fase lainya tidak dituntut.
Fase-fase ini ada tiga macam:
1.      Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)
Memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang di jatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syari’at islam, seorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang tergantung dalam hatinya. Sesuai dengan sabda Rosulullah SAW “Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikan oleh dirinya,selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkanya dan perbuatan yang dilakukanya.”
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan.[4] Pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua.
KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun.[5]
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
a.       Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b.      Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[6]

2.      Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
Fase ini merupakan untuk menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti rnembeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma'siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap ma'siat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri. Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma'siat, dan ma'siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak masyarakat dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita'wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut aturan Syari'at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan. Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta'zir.[7]
              Akan tetapi menurut mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dianggap sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram, sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: ”ibn Al Qayyin menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah haram dan perbuatan persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram, sehingga hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan hukuman pokoknya”.
              Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab hambali sebagaimana digambarkan oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn Taimiyah, menganggap perantara kepada jarimah sebagai jarimah. Demikian juga perbuatan-perbuatan persiapan yang disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan jarimah merupakan jarimah juga.[8]  

3.      Fase pelaksanaan  (marhalah tanfidiyah)
              Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lain.
              Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma'siat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya keluar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak.[9]
              Dengan demikian kriteria untuk menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan maksiat atau bukan.
              Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman pada fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu.
              Sedangkan menurut aliran objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut.
              Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan maksudnya untuk melakukan kejahatan.[10] 

C.    Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan  hukumannya
Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan oleh dua hal:
1.      Adakalanya karena terpaksa, misalnya tertangkap.
2.      Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
1.      Bukan karena taubat
2.      Karena taubat
Kalau tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula kalau pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat.
Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah hirabah.
Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan dari hukuman. Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:
žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍköŽn=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù žcr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ
34. kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Apabila jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1.      Pendapat fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasanya adalah:
a.        Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b.      Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:

Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uŠÏ?ù'tƒ öNà6ZÏB $yJèdrèŒ$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊ̍ôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$Ÿ2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
16. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

2.      Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3.      Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku minta untuk di hokum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengan yang mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman.

IV.            KESIMPULAN
A.    Percobaan melakukan jarimah ((ا لشروع dan hukumannya
Dikalangan para fuqaha istilah percobaan tidak kita dapati, tetapi jika kita perhatikan lagi maka istilah tersebut terdapat dalam pembicaraan mereka mengenai  ada pemisahan antara jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak ada perhatian secara khusus mengenai jarimah percobaan tersebut disebabkan oleh dua hal:
a.       Percobaan melakukan jarimah tidak dikenai hukuman had atau qishash, melainkan hukuman ta’zir.
b.      Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus percobaan tidak perlu di adakan, sebab hukuman ta’zir di jatuhkan atas perbuatab maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
B.     Fase-fase pelaksanaan jarimah
Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini sangat penting, Karena hanya salah satu fase saja pelaku dapat di tuntut dan di kenakan hukuman, sedangkan fase-fase lainya tidak dituntut.
Fase-fase ini ada tiga macam:
1.      Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)
2.      Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
3.      Fase pelaksanaan  (marhalah tanfidiyah)

C.     Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan  hukumannya
Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan oleh dua hal:
1.      Adakalanya karena terpaksa, misalnya tertangkap.
2.      Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
1.      Bukan karena taubat
2.      Karena taubat

V.            PENUTUP
             Demikianlah makalah yang kami buat, tentu makalah kami ini jauh dari sempurna untu itu kritik da saran yang membagun selalu kami harapkan dari pembaca guna perbaikan makalah kami kedepannya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua amin.............


DAFTAR PUSTAKA

 Ahmad hanafi, Asas-asas hukum pidana islam, jakarta:PT bulan bintang, 1993
Ahmad Wardi Muslich , pengantar dan asas hukum pidana islam, jakarta: sinar grafida,2004
http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html



[1] Hanafi ahmad, asas-asas hukum pidana islam, jakarta:PT bulan bintang, 1993,hal.118-119
[2] Muslich ahmad wardi, pengantar dan asas hukum pidana islam, jakarta: sinar grafida,2004,hal.60-61
[3] Opcit,hal.119-120
[4] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 61
[5] http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 62
[7] http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html

[8] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 63
[9] http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[10] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.64

No comments: