I.
PENDAHULUAN
Jarimah adalah larangan-larangan
Allah yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang
dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh
syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah karena perbuatan
tersebut dapat merugikan kepada tata
urutan masyarakat atau kehidupan anggota masayarakat atau
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun
adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’
oleh karena itu syara’ melarang yang namanya jarimah karena dari segi
kerugiannya itulah yang di utamakan dalam pertimbangan. Jarang kita temukan
perbuatan membawa keuntungan semata-mata
atau menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan membawa akibat
campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan tabi’atnya manusia akan
memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya meskipun akan merugikan
masyarakatnya.
Di dalam membahas jarimah kita akan
menemukan yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang
menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina
unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam
jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang
menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup tiga masalah pokok yaitu tentang jarimah yang
telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam
melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan
tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena
ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak
selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut
adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama
dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).
II.
PERMASALAHAN
Dalam makalah ini ada beberapa
permasalahan yang akan di bahas, diantaranya:
A.
Percobaan melakukan jarimah dan hukumannya
B.
Fase pelaksanaan jarimah
C.
Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan hukumannya
III.
PEMBAHASAN
A. Percobaan melakukan jarimah ((ا لشروع dan hukumannya
Sudah dijelaskan dalam pasal 45 kitab
undang-undang hukum pidana Mesir, tentang pengertian percobaan yaitu: ”
percobaan adalah mulai melakukan suatu perbuatan dengan maksud melakukan
(jinayah atau janhah) tetapi perbuatan tersebit tidak selesai atau berhenti
karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku”.
Dikalangan
para fuqaha istilah percobaan tidak kita dapati, tetapi jika kita perhatikan
lagi maka istilah tersebut terdapat dalam pembicaraan mereka mengenai ada pemisahan antara jarimah yang sudah
selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak ada perhatian secara khusus
mengenai jarimah percobaan tersebut disebabkan oleh dua hal:
a.
Percobaan melakukan jarimah tidak dikenai hukuman had atau
qishash, melainkan hukuman ta’zir, bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah tersebut. Para
fuqaha lebih memperhatikan jarimah hudud dan qishash karena unsur dan syaratnya
sudah tetap tanpa mengalami perubahan dan hukumannya juga sudah ditentukan
jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi dan dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah ta’zir dengan mengecualikan
jarimah ta’zir seperti memaki-maki atau mengkhianati titipan, maka sebagian
besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al amri) untuk menentukan
macamnya jarimah itu untuk menentukan jarimah tersebut baik yang dilarang dengan
langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut
diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Kemudian hakim diberikan wewenang luas
dalam menjatuhkan hukuman dimana ia bisa bergerak dengan batas tertinggi
dengan batas terendah.
Kebanyakan jariamah ta’zir bisa mengalami perubahan
antara di hukum dan tidak dihukum, dari masa ke masa , dan dari tempat ke tempat lain dan
unsur-unsurnya dapat berganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu
dikalangan fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah ta’zir dan
kelanjutannya adalah tidak adanya pembicaraan tersendiri terhadap percobaan
melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir.[1]
b.
Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari
syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus percobaan
tidak perlu di adakan, sebab hukuman ta’zir di jatuhkan atas perbuatab maksiat
yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Percobaan yang pengertiannya sudah
dikemukakan di atas adalah mulai mengenakan susuatu perbuatan yang dilarang
tetapai tidak selesai, termasuk kepada maksiat yang hukumannya ta’zir. sehingga
para fuqaha tidak membahasnya secara khusus.[2]
Dengan demikian percobaan sudah termasuk dianggap maksiat dan dikenai hukuman
ta’zir yakni jarimah yang selesai juga meskipun satu bagian saja dari
bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian
itu dilarang. Jadi
tidak aneh jika sesuatu perbuatan itu semata-mata menjadi jarimah dan apabila bergabung dengan
yang lain maka akan membentuk jarimah yang lain lagi.
Misalnya saja pencuri apabila telah melobangi dinding
rumah, kemudian dapat di tangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya
itu dianggap semata-mata maksiat (kesalahan) yang dapat dikenai hukuman
meskipun sebenarnya baru permulaan dari pelaksanaan jarimah pencuri. Demikian
pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan niatan untuk mencuri tanpa melobangi dindingnya telah dianggap berbuat
suatu jarimah tersendiri meskipun
perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai. Jika pencuri tersebut dapat menyelesaikan penrbuatannya
tersebut dengan membawa hasil barang curiannya keluar rumah maka kumpulan perbuatan tersebut
dinamakan “pencurian” dan hukuman had yang akan dijatuhkan kepadanya dan
untuk masing-masing perbuatan yang
membentuk pencurian tidak boleh dikenakan hukuman ta’zir sebab masing-masing
perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu yaitu pencurian. Jadi sudah jelas
mengapa para fuqaha tidak membahas secara khusus tentang percobaan melakukan
jarimah sebab yang di butuhkan dari mereka adalah pemisahan antara jarimah yang
selesai dan jarimah yang tidak selesai dimana untuk jarimah yang pertama
dikenakan had atau qishash sedangkan untuh jarimah yang kedua dikenakan ta’zir.[3]
Hukuman untuk jarimah percobaan
Menurut ketentuan pokok dalam syari’at islam yang
berkaitan dengan jarimah huddud dan qhisash, jarimah-jarimah yang selesai tidak
boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Rosulullah
SAW bersabda yang artinya : “siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah
huddud (yang lengkap) maka ia termasuk orang yang menyeleweng.”
Percobaan
melakukan pencurian tidak boleh dihukum dengan had pencurian, yaitu potong
tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah percobaan adalah hukuman ta’zir.
Dalam
hukum pidana Indonesia, hukuman untuk percobaan ini tercantum dalam pasal 53
ayat (2) KUHPidana yang berbunyi:
1.
Maksimum pidana
pokok yang diancam atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya.
2. Jika
kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka
dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
B. Fase-fase
pelaksanaan jarimah
Tiap-tiap
jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian
fase-fase ini sangat penting, Karena hanya salah satu fase saja pelaku dapat di
tuntut dan di kenakan hukuman, sedangkan fase-fase lainya tidak dituntut.
Fase-fase ini ada tiga
macam:
1. Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)
Memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap
sebagai maksiat yang di jatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku
dalam syari’at islam, seorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena
lintasan hatinya atau niat yang tergantung dalam hatinya. Sesuai dengan sabda
Rosulullah SAW “Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikan oleh
dirinya,selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang
hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkanya dan perbuatan yang
dilakukanya.”
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak
mulai diturunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif
baru mengenalnya pada akhir abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis.
Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum
kalau dapat dibuktikan.[4]
Pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun.[5] Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun.[5] Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
a.
Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun.
b.
Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[6]
2. Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
Fase ini merupakan untuk menyiapkan alat yang dipakai
untuk melaksanakan jarimah, seperti rnembeli senjata untuk membunuh orang lain
atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap
ma'siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri
dipandang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan
membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius
orang lain itu sendiri dianggap ma'siat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada
selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri. Alasan untuk tidak memasukkan fase
persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum
harus berupa perbuatan ma'siat, dan ma'siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran
terhadap hak masyarakat dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat
jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa
dita'wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut aturan Syari'at seseorang
tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada
keyakinan. Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang
syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta'zir.[7]
Akan tetapi menurut mazhab Hambali
dan Maliki, perbuatan persiapan dianggap sebagai perantara kepada perbuatan
yang haram dan hukumnya adalah haram, sehingga dengan demikian pelakunya
dikenakan hukuman. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: ”ibn
Al Qayyin menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah haram dan
perbuatan persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram, sehingga hukumnya
haram dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan hukuman pokoknya”.
Dengan demikian jelaslah bahwa
mazhab hambali sebagaimana digambarkan oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn
Taimiyah, menganggap perantara kepada jarimah sebagai jarimah. Demikian juga
perbuatan-perbuatan persiapan yang disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan
jarimah merupakan jarimah juga.[8]
3. Fase pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
Pada fase inilah
perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak menjadi
persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur
materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu
berupa ma'siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak
perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun
antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lain.
Pada pencurian misalnya, melobangi
tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma'siat yang dijatuhi
hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian,
meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih terdapat
perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari
almari, dan membawanya keluar dan sebagainya. Jadi ukuran
perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut
berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya
untuk menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak.[9]
Dengan demikian kriteria untuk
menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang
bisa dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan
pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan
maksiat atau bukan.
Hukum positif sama pendapatnya
dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman pada fase pemikiran atau
perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan
tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan
saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu.
Sedangkan menurut aliran objektif,
saat tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil yang
membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan
juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau
jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan maka memulai salah
satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut.
Sedangkan menurut aliran
subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pelaku telah
memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan maksudnya untuk
melakukan kejahatan.[10]
C. Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan hukumannya
Suatu
perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan oleh dua hal:
1.
Adakalanya
karena terpaksa, misalnya tertangkap.
2.
Adakalanya
karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
1.
Bukan karena
taubat
2.
Karena taubat
Kalau tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka
pelaku tetap harus dikenakan hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa
dikategorikan ma’siat. Demikian pula kalau pelaku tidak
menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat.
Akan tetapi,apabila
tidak selesainya itu karena taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu
adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah hirabah.
Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka
pelaku dibebaskan dari hukuman. Hal ini berdasarkan firman Allah surat
Al-Maidah 34:
wÎ) úïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍkön=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù cr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ
34.
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Apabila jarimah itu jarimah bukan
hirabah maka pengaruh taubat disini masih diperselisihkan oleh para fuqoha.
Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1. Pendapat
fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman.
Alasanya adalah:
a. Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk
jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya.
Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling berbahaya
maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b. Dalam
menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan
bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang
pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uÏ?ù't öNà6ZÏB $yJèdrè$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊÌôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
16. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di
antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya
bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
2. Menurut
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk
jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah
sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman
dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap
pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3. Menurut
Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat
membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah
yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku
minta untuk di hokum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat
Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengan yang mengompromikan
pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh
taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam
jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang
menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman.
IV.
KESIMPULAN
A. Percobaan melakukan
jarimah
((ا لشروع dan hukumannya
Dikalangan para fuqaha istilah percobaan tidak
kita dapati, tetapi jika kita perhatikan lagi maka istilah tersebut
terdapat dalam pembicaraan mereka mengenai ada pemisahan
antara jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak ada
perhatian secara khusus mengenai jarimah percobaan tersebut disebabkan oleh dua
hal:
a. Percobaan melakukan
jarimah tidak dikenai hukuman had atau qishash, melainkan hukuman ta’zir.
b. Dengan adanya
aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir
maka aturan-aturan yang khusus percobaan tidak perlu di adakan, sebab hukuman
ta’zir di jatuhkan atas perbuatab maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau
kifarat.
B.
Fase-fase pelaksanaan jarimah
Tiap-tiap
jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian
fase-fase ini sangat penting, Karena hanya salah satu fase saja pelaku dapat di
tuntut dan di kenakan hukuman, sedangkan fase-fase lainya tidak dituntut.
Fase-fase ini ada tiga
macam:
1.
Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah
at-tafkir wa at- tashmim)
2.
Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
3.
Fase pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
C.
Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan hukumannya
Suatu perbuatan jarimah
tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan oleh dua hal:
1.
Adakalanya
karena terpaksa, misalnya tertangkap.
2.
Adakalanya
karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
1.
Bukan karena
taubat
2.
Karena taubat
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat,
tentu makalah kami ini jauh dari sempurna untu itu kritik da saran yang
membagun selalu kami harapkan dari pembaca guna perbaikan makalah kami
kedepannya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua
amin.............
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad hanafi,
Asas-asas hukum pidana islam, jakarta:PT bulan bintang, 1993
Ahmad Wardi Muslich , pengantar dan asas hukum pidana
islam, jakarta: sinar grafida,2004
http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[1] Hanafi ahmad, asas-asas hukum pidana islam, jakarta:PT bulan
bintang, 1993,hal.118-119
[2] Muslich ahmad wardi, pengantar dan asas hukum pidana islam, jakarta:
sinar grafida,2004,hal.60-61
[3] Opcit,hal.119-120
[5] http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[6]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam, Hlm. 62
[7] http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[8]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam, Hlm. 63
[9] http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[10] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.64
No comments:
Post a Comment