PEGADAIAN SYARI’AH
I. PENDAHULUAN
Gadai merupakan salah satu kategori
dari perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang
yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai
jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan
(orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang).
Namun dalam kenyataan, bahwa gadai yang ada pada saat ini, khususnya di
Indonesia dalam prakteknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang
memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan riba. Hal ini dapat
dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara ketat menentukan
bunga gadai, yaitu adanya tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari
pokok utang pada waktu membayar utang.
Hadirnya pegadaian sebagai sebuah
lembaga keuangan formal di Indonesia, yang bertugas menyalurkan pembiayaan
dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan
berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Lembaga
pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum dapat
terlepas dari berbagai persoalan. Sedangkan persoalan-persoalan yang dihadapi
lembaga tersebut amatlah komplek. Apabila ditinjau dari syariat Islam, dalam
aktivitas perjanjian gadai masih terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh
syara’, di antaranya yaitu masih terdapat unsur riba, qimar (spekulasi),
ketidakpastian yang cenderung merupakan salah satu pihak. Hal ini juga akan
berakibat timbulnya praktek-praktek ketidakadilan serta berakibat munculnya
kezaliman yang lain. Oleh karena itu, perlu adanya rekontruksi sistem
operasionalnya.
Berangkat dari uraian yang telah
diuraikan diatas, dan dengan maksud untuk menganalisis secara kritis terhadap
gejala umum praktik pegadaian yang ada sekarang ini dari sudut pandang kajian
hukum Islam. Maka perlu dikaji dan ditawarkan sebuah alternatif solusi atas
problematika yang terjadi dengan melakukan Pegadaian Syari’ah.
II. RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian
2.
Sejarah dan Landasan
Hukum
3.
Rukun dan Syarat
4.
Ketentuan
Gadai Barang
5.
Akad
6.
Persamaan dan
Perbedaan dengan Pegadaian Konvensional
7.
Kendala dan
Strategi Pengembangan
8.
Operasi
III. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ar-Rahn
adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn
adalah semacam jaminan utang atau gadai.[1]
Atau
lebih jelasnya, gadai adalah akad pinjam meminjam dengan menyebabkan barang
sebagai tanggungan utang atau jaminan atas utang.[2]
2.
Sejarah
dan Landasan Hukum
Ø Sejarah
Sejarah
pegadaian syari’ah di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kemauan warga
masyarakat Islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip
syari’ah dan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan praktik ekonomi dan
lembaga keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum Islam. Hal
dimaksud, dilatarbelakangi oleh maraknya aspirasi dari warga masarakat Islam di
berbagai daerah yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam dalam berbagai
aspeknya termasuk pegadaian Syari’ah. Selain itu, semakin populernya praktik
bisnis ekonomi syari’ah dan mempunyai peluang yang cerah untuk dikembangkan.
Berdasarkan
hal di atas, pihak pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk
melegitimasi secara hukum positif pelaksanaan praktik bisnis sesuai dengan
syari’ah yang termasuk gadai syari’ah. Karena itu, pihak pemerintah bersama DPR
merumuskan rancangan peraturan
perundang-undangan yang kemudian disahkan pada bulan Mei menjadi UU No.10 Tahun
1998 tentang Perbankan. Undang-undang dimaksud, memberi peluang untuk
diterapkan praktik perekonomian sesuai syari’ah di bawah perlindungan hukum
positif.
Berdasarkan
undang-undang tersebut maka terwujud lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS).
Pada awalnya, muncul lembaga perbankan syari’ah, yaitu Bank Muamalat menjadi
pionirnya, dan seterusnya bermunculan lembaga keuangan Syari’ah lainnya,
seperti lembaga asuransi syari’ah, lembaga pegadaian syari’ah, dan
lain-lainnya.
Usaha
lembaga syari’ah dimaksud, dimulai oleh PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang
merupakan salah satu lembaga perbankan syari’ah pertama di Indonesia,
beraliansi dengan Perum Pegadaian. Bentuk kerja sama kedua belah pihak, yaitu
Perum Pegadaian bertindak sebagai kontributor sistem gadai dan BMI sebagai
pihak kontributor muatan sistem syari’ah dan dananya. Aliansi kedua belah pihak
dimaksud, melahirkan Unit Layanan Gadai Syari’ah (kini, Cabang Pegadaian
Syari’ah). Selain aliansi kedua lembaga dimaksud, gadai syari’ah juga dilakukan
oleh bank-bank umum syari’ah, seperti Bank Syari’ah Mandiri (BSM) dan bank-bank
umum lainnya yang membuka unit usaha syari’ah (UUS).
Melihat
adanya peluang dalam mengimplementasikan praktik gadai berdasarkan prinsip
syari’ah, Perum Pegadaian yang telah bergelut dengan bisnis pegadaian
konvensional selama beratus-ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan
kerja sama dengan PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) dalam mengusahakan praktik
gadai syari’ah sebagai diversifikasi usaha gadai yang sudah dilakukannya
sehingga pada bulam Mei tahun 2002, ditandatangani sebuah kerja sama antara
keduanya untuk meluncurkan gadai syari’ah, yaitu BMI sebagai penyandang dana.[3]
Ø Landasan Hukum
Landasan
hukum pegadaian syari’ah adalah kisah dimasa Rasulullah, ketika seseorang
menggadaikan kambingnya. Saat itu Rosulullah ditanya oleh salah seorang
sahabatnya: bolehkah kambingnya diperah? Nabi mengizinkan, sekedar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya,
Rosulullah mengizinkan bagi penerima gadai untuk mengambil keuntungan dari
barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Nah, biaya
pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan objek ijtihad dari para pengkaji
keuangan syari’ah, sehingga gadai ini menjadi produk keuangan syari’ah yang
cukup menjanjikan.[4]
Beberapa
landasan hukum pegadaian syari’ah:
1.
Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS.
al-Baqarah:283,
“jika kamu dalam
perjalanan (dan kamu melaksanakan muamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang mengutangkan), tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah SWT. ”
2.
Al-Hadits
a.
Bukhari dan
lainnya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “ Rasulullah pernah memberi makanan
dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
b.
Dari Anas ra
berkata, Rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah
dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau. (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i
dan Ibnu Majah).
c.
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah saw berkata, “ apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga-nya). Apabila ternak itu digadaikan, maka air
susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai), karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga-nya). Kepada orang yang naik dan minum, maka
ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)-nya.” (HR. Jamah kecuali Muslim dan
Nasa’i).
d.
Dari Abu
Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw berkata, “barang yang digadaikan itu
tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah
keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya).” (HR.
Syafi’i dan Daruqutni). [5]
3.
Ijtihad
Ulama’
Jumhur
ulama’ menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada
kisah nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan
makanan dari seorang Yahudi. Para ulama’ juga mengambil indikasi dari contoh
nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya
bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu
tidak lebih sebagai sikap nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para
sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan nbi
Muhammad saw. kepada mereka.[6]
3.
Rukun
dan Syarat
Dalam
menjalankan pegadaian syari’ah, pegadaian harus memenuhi rukun dan syarat gadai
syari’ah.
Rukun
gadai tersebut antara lain:
1)
Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah
dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan akan memiliki barang akan digadaikan.
2)
Al-Murtahin
(yang menerima gadai)
Orang, bank, atau
lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang
(gadai).
3)
Al-Marhun/
rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan
rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
4)
Al-Marhun
bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kapada rahin atas dasar
besarnya tafsiran marhun
.
5)
Sighat,
Ijab dan Qabul
Kesepakatan antara
rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
Syarat
gadai syari’ah yaitu:
1)
Rahin dan
Murtahin
Pihak-pihak yang
melakukan perjanjian rahn, yaitu harus mengikuti syarat-syarat berikut
kemampuan, yakni berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang
untuk melakukan transaksi pemilikan.
2)
Sighat
a.
Sighat tidak
boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.
b.
Rahn
mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual
beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di
masa depan.
3)
Marhun bih
(utang)
a.
Harus
merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya.
b.
Memungkinkan
pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak
sah.
c.
Harus
dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau
tidak dikualitifikasi rahn itu tidak sah.
4)
Marhun
(barang)
Secara umum barng yang
digadaikan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a.
Harus
diperjualbelikan.
b.
Harus berupa
harta yang bernilai.
c.
Marhun harus
bisa dimanfaatkan secara syari’ah.
d.
Harus
diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus
berupa barang yang diterima secara langsung.
e.
Harus
dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin pemiliknya.[7]
4.
Ketentuan
Gadai Barang
Dalam
menggadaikan barang di pegadaian syari’ah harus memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
1)
Barang yang
tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan.
2)
Tidak sah
menggadaikan barang rampasan (di-gasab) atau barang yang pinjam dan semua yang
diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan. Sebab, gadai bermaksud sebagai
penutup hutang.
3)
Gadai itu
tidak sah apabila utangnya belum pasti.
4)
Disyaratkan
pula agar utang-piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua belah pihak.
5)
Menerima
barang gadai oleh pegadaian adalah salah satu rukun akad gadai atas tetapnya
gadaian. Karena itu, gadai belum ditetapkan selama barang yang digadaikan itu
belum diterima oleh pegadaian.
6)
Seandainya
ada orang menggadaikan barang namun barang tersebut belum diterima oleh
pegadaian, maka orang tersebut boleh membatalkannya.
7)
Jika barang
gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka akad rahn (gadai) tersebut
telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
8)
Penarikan
kembali (pembatalan) akad gadai itu adakalanya dengan ucapan dan adakalanya dengan
tindakan.
9)
Jika akhir
masa sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya tidak termasuk pembatalan.
10)
Jika masa
membayar utang pada gadai lebih awal dari pada masa sewa maka tidak termasuk
pembatalan gadai.
11)
Barang
gadaian adalah amanat di tangan penerima gadai, karena ia telah menerima barang
itu dengan izin nasabah.[8]
5.
Akad
Ulama’
Syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian dapat sah bila memenuhi tiga syarat:
a.
Harus berupa
barang, karena uang tidak bisa digadaikan.
b.
Penetapan
kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
c.
Barang yang digadaikan bisa dijual manakala
sudah masa pelunasan utang gadai.
Berdasarkan
tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian
gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian. Ketiga akad perjanjian
tersebut adalah:
1)
Akad al-Qardul
Hasan
Akad
ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan
konsumtif. Dengan demikian nasabah (rahin) akan memberi biaya upah atau fee
kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang
gadaian (marhun).
2)
Akad
al-Mudharabah
Akad
dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha
(pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi
hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan,
sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3)
Akad
al-Muqayadah
Untuk
sementara akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan
menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin
tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang
jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang
dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin.
Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan rahin
atau rahin akan memberikan mark-up kepada murtahin sesuai
dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah
ditentukan.[9]
6.
Persamaan
dan Perbedaan dengan Pegadaian Konvensional
Persamaan
gadai syariah dengan gadai konvensional:
a.
Hak gadai
atas pinjaman uang.
b.
Adanya agunan
sebagai jaminan utang.
c.
Tidak boleh
mengambil manfaat barang yang digadaikan.
d.
Biaya barang
yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai.
e.
Apabila batas
waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Perbedaan gadai syariah dengan gadai
konvensional:
a.
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong
menolong tanpa mencari keuntungan. Sedang, gadai menurut hukum perdata
disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara
menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
b.
Dalam hukum
perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang begerak. Sedangkan dalam hukum
Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun
yang tidak bergerak.
c.
Dalam rahn
tidak ada istilah bunga.
d.
Gadai menurut
hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut
Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa
melalui suatu lembaga.[10]
7.
Kendala
dan Strategi Pengembangan
Dalam
realitas terbentuknya pegadaian syariah dan praktek yang telah di jalankan bank
yang menggunakan gadai syariah ternyata menghadapi kendala-kendala sebagai
berikut:
1)
Pegadaian
syariah relatif baru sebagai sistem keuangan. Oleh karenanya, menjadi tantangan
tersendiri bagi pegadaian syariah untuk mensosialisasikan syariahnya.
2)
Masyarakat
kecil, masyarakat yang dominan menggunakan jasa pegadaian, kurang familiar
dengan produk rahn di lembaga keuangan syariah. Apalagi sebagian besar
yang berhubungan dengan pegadaian selama ini adalah rakyat kecil maka ia
dikenalkan bentuk pegadaian (rahn) oleh bank, apalagi dengan fasilitas bank
yang mewah, timbul hambatan psikologi dari masyarakat dalam berhubungan dengan rahn.
3)
Kebijakan
pemerintah tentang gadai syariah belum sepenuhnya akomodatif terhadap
keberadaan pegadaian syariah. Di samping itu, keberadaan pegadaian konvensional
di bawah Departemen Keuangan mempersulit posisi pegadaian syariah bila
berinisiatif untuk independen dari pemerintah pada saat pendiriannya.
4)
Pegadaian
kurang populer. Image yang selama ini muncul adalah bahwa orang yang
berhubungan dengan pegadaian adalah mereka yang meminjam dana dengan jaminan
suatu barang, sehingga terkesan miskin atau tidak mampu secara ekonomi.
Adapun
usaha-usaha atau strategi yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pegadaian
syariah antara lain:
1)
Usaha untuk
membentuk lembaga pegadaian syariah terus dilakukan sebagai usaha untuk
mensosialisasikan praktek ekonomi syariah di masyarakat menengah ke bawah yang
mengalami kesulitan dalam mendapatkan pendanaan. Maka perlu kerjasama dari
berbagai pihak untuk menentukan langkah-langkah dalam pembentukan lembaga
pegadaian syariah yang lebih baik.
2)
Masyarakat
akan lebih memilih pegadaian dibanding bank pada saat mereka membutuhkan dana
karena prosedur untuk mendapatkan dana relatif lebih mudah dibanding dengan
meminjam dana langsung ke bank. Maka cukup alasan bagi pegadaian syariah untuk
eksis di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan bantuan.
3)
Pegadaian
syariah bukan sebagai pesaing yang mengakibatkan kerugian bagi lembaga keuangan
syariah lainnya, dan bukan menjadi alasan untuk menghambat berdirinya pegadaian
syariah. Dengan keberadaan pegadaian syariah akan menambah pilihan bagi
masyarakat untuk mendapatkan dana yang mudah, selain itu hal ini akan
meningkatkan tersosialisaikannya keberadaan lembaga keuangan syariah.
4)
Pemerintahan
perlu untuk mengakomodir keberadaan pegadaian syariah ini dengan membuat
peraturan pemerintah (PP) atau undang-undang (UU) pegadaian syariah. Atau
memberikan alternatif keberadaan biro pegadaian syariah dalam Perum Pegadaian
Syariah.[11]
8.
Operasi
1.
Jenis Barang
yang Digadaikan
Prinsip
utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan dari
sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut ditangan
nasabah bukan karena hasil praktek riba, gharar, maysir. Barang-barang tersebut
antara lain:
a.
Barang
perhiasan
b.
Barang rumah
tangga
c.
Barang
elektronik
d.
Kendaraan
e.
Barang-barang
lain yang dianggap benilai.
2.
Penaksiran
Barang
Besarnya
pinjaman dari pegadaian syariah yang diberikan kepada nasabah tergantung pada
besarnya nilai barang yang akan digadaikan. Barang yang diterima dari calon
nasabah harus di taksirkan oleh petugas penaksir untuk mengetahui nilai dari
barang tersebut.
3.
Pelunasan
Pada
dasarnya nasabah dapat melunasi kewajiban setiap waktu tanpa menunggu jatuh
tenpo. Setelah adanya pelunasan, nasabah dapat mengambil barang yang telah
digadaikan.
4.
Pelelangan
Barang Gadai
Pelelangan
dapat dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan. Pelelangan berlaku
bagi masyarakat umum dan sebelumnya ada pemberitahuan kepada nasabah dan
masyarakat adanya pelelangan.
Barang
nasabah dilelang karena beberapa sebab:
a.
Pada saat
jatuh tempo pembayaran habis, nasabah tidak bisa menebus barang yang
digadaikan.
b.
Pada saat
jatuh tempo nasabah tidak memperpanjang batas waktu pinjaman dengan ketentuan
yag telah diatur oleh pegadaian.
5.
Pemanfaatan
Barang Gadai
Dalam
penggunaan barang gadai oleh pegdaian terdapat perbedaan pandangan dikalangan
muslim. Menurut madzhab Hanafi dan Hambali, penerima pegadaian boleh
dimanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk utang atas izin pemiliknya,
karena pemilik barang itu berhak mengijinkan pada siapa saja yang ia kehendaki
untuk menggunakan hak miliknya. Menurut imam Syafi’i dan imam Malik, manfaat barang jaminan secara
mutlak adalah hak bagi yang mengadaikan barang.[12]
IV. KESIMPULAN
Gadai adalah akad pinjam meminjam
dengan menyebabkan barang sebagai tanggungan utang atau jaminan atas utang.
Pegadaian mempunyai landasan hukum yang
terdapat dalam QS. al-Baqarah: 283. Dan terdapat dalam hadits yang salah
satunya di riwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dari Aisyah berkata, “Rasulullah
pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju
besi beliau”.
Dalam menjalankan pegadaian syariah,
pegadaian harus memenuhi rukun dan syarat gadai syariah.
Rukun gadai tersebut antara lain:
1.
Ar-rahn (yang
menggadaikan).
2.
Al-murtahin
(yang menerima gadai).
3.
Al-marhun
(barang yang digadaikan).
4.
Al-marhun bih
(utang).
5.
Sighat, ijab,
dan qabul.
Syarat gadai antara lain:
1.
Rahin dan
murtahin.
2.
Sighat.
3.
Marhun bih
(utang).
4.
Marhun
(barang).
Dalam
menggadaikan barang di pegadaian syari’ah harus memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
1.
Barang yang
tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan.
2.
Tidak sah
menggadaikan barang rampasan (di-gasab) atau barang yang pinjam dan semua yang
diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan. Sebab, gadai bermaksud sebagai
penutup hutang.
3.
Gadai itu
tidak sah apabila utangnya belum pasti.
4.
Disyaratkan
pula agar utang-piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua belah pihak.
Dalam mekanisme perjanjian gadai,
,menggunakan tiga akad perjanjian:
1.
Akad
al-qordul hasan.
2.
Akad
al-mudharabah.
3.
Akad bai’
al-muqayadah.
Persamaan gadai syariah dengan gadai
konvensional:
a.
Hak gadai
atas pinjaman uang.
b.
Adanya agunan
sebagai jaminan utang.
c.
Tidak boleh
mengambil manfaat barang yang digadaikan.
d.
Biaya barang
yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai.
e.
Apabila batas
waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Perbedaan gadai syariah dengan gadai
konvensional:
a.
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong
menolong tanpa mencari keuntungan. Sedang, gadai menurut hukum perdata
disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara
menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
b.
Dalam hukum
perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang begerak. Sedangkan dalam hukum
Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun
yang tidak bergerak.
c.
Dalam rahn
tidak ada istilah bunga.
d.
Gadai menurut
hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut
Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa
melalui suatu lembaga.
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang kami buat, kami sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan pengetahuan. Oleh
sebab itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua. Amin..
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema Insani, 2001, cet.1.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, cet.5.
Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan
Keuangan Islam, Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2006,cet.1.
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah,
Jakarta: Sinar Gafika, 2008, cet.1.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah, Yogyakarta:
Ekonisia, 2004, cet.2.
[1]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
hal.128.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal 106.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Gadai
Syari’ah, 15-16.
[4] Ibid, hal 18
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hal.158-159.
[6] Zainuddin Ali, op.cit, hal.8.
[7] Heri Sudarsono, op.cit, hal.160-161.
[8] Ibid, hal. 162-63.
[9] Ibid, hal.164-165.
[10] M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, hal.91
[11] Heri Sudarsono, op.cit, hal.167-168.
[12] H S, hal.172-178.
3 comments:
makasih materinya :)
sama-sama,,,
mohon do'a, dkungan, kritik dan saran untuk kesempurnaan blog nie,,,
makasih bos materinya...
ane kopas buat materi tugasku yak hahahaha
maju terus, semoga blognya rame dan semakin bermanfaat bagi banyak orang... :D
Post a Comment