I.
PENDAHULUAN
Praktek penistaan terhadap suatu agama, seringkali
manjadi pemicu ketegangan hubungan antar umat beragama. Dari sini, gagasan
kebebasan, toleransi dan dialog lintas umat beragama menemukan ruang
singgungnya. Karena, jika tidak, maka akan melahirkan sikap intoleran,
kecurigaan, bahkan anarkisme dan kekerasan. Tema perdamaian dan toleransi antar
penganut agama, kadang tak jarang dipersepsikan dengan kebebasan beragama,
bahkan dalam praktiknya diartikan mengikuti sekaligus mengakui kebenaran suatu
agama, meskipun bukan penganut agama itu. Persepsi dan interpretasi inilah yang
justru harus didudukkan, sehingga diharapkan dapat menemui jawaban yang
sebenarnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, akan membahas
mengenai kebebasan beragama. Mengenai masalah tersebut, terdapat perbedaan
pendapat dalam memahami makna kata tersebut.
III.
PEMBAHASAN
1. Fokusing masalah
Kebebasan menjadi slogan yang
selalu bergemuruh di pelbagai tempat. Gemuruh kebebasan berjalan seiring
bersama gegap gempita reformasi di negeri ini. Dengan bertameng demokrasi, dan
berkedok Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan menjadi adagium yang selalu nyaring
disuarakan oleh pelbagai kelompok dan komunitas. Genderang kebebasan seolah
menjadi intisari dari demokrasi yang cenderung “diperkosa” pengertiannya
menjadi bebas tanpa nilai dan batas.
Jika merujuk kepada pengertian
sederhananya, dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas
memiliki beberapa pengertian[1],
yaitu, 1) lepas sama sekali. 2) lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan
takut. 3) tidak dikenakan hukuman dsb. 4) tidak terikat atau terbatas oleh
aturan-aturan. 5) merdeka. Pengertian kata bebas secara lughah ini tentu
tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam
realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan
bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena
kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian
kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, maupun
budaya.
Keterikatan makna bebas dengan
konsepsi keagamaan dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan
subyektif. Karena setiap agama dan budaya memiliki aturan dan norma yang
mungkin berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama
dan konsepsi budaya itu. Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri
terhadap kata kebebasan (hurriyah). Dalam kitab al-Mausu’ah
al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefenisikan sebagai kondisi keislaman dan
keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu
sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun
moral.
2. Pemetaan pendapat
Pendapat mengenai kebebasan
beragama sangat beragam. Pihak yang berdasar UU mengangap bahwa bebas beragama
adalah bebas memeluk agama dan melaksanakn serta merekrut orang lain secara
mutlak atau bebas. Sedangkan pihak yang
berdasarkan agama islam berpendapat bahwa bebas beragama adalah bebas memilih
agama sesuai dengan keyakinan hatinya dan dalam menyebarkan keyakinannya tidak
dengan jalan kekerasan atau penipuan.
3. Paparan argumentasi
1. HAM
“Demokrasi tanpa kebebasan sipil”,
demikian istilah yang melekat untuk Indonesia dengan iklim kehidupan sosial
politiknya. Apalagi jika kita menyoroti kondisi kehidupan beragama, kebebasan
agaknya merupakan sebuah “barang langka”. Karena melaksanakan sholat dalam dua
bahasa Usman Roy harus mendekam dalam penjara, perlakuan yang sama juga dialami
oleh Lia Aminuddin sebagai pemimpin “komunitas eden” karena dianggap sebagai
nabi palsu. Belum lagi teror fisik dan penyerangan yang dilakukan terhadap
Jamaah Ahmadiyah, serta kasus terakhir yang belakangan ini menimpa Ahmad
Mushadieq dengan ajaran al-qiyadah al-Islamiyahnya. Seluruh catatan-catatan fenomena
tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negeri yang belum cukup
longgar terhadap kebebasan beragama. Padahal, Indonesia merupakan negeri
pancasila yang mencerminkan “keanekaragaman” dengan semboyan Bhineka Tunggal
Ika-nya.
Jika kita merujuk pada pasal 28
(e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan
pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk
agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang
yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan
konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara
bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan
beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan
fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Fenomena yang paling menggelitik
adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah
hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power sedikitpun. Terbukti,
tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat)
terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada
konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut
dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya), tentu
keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara
universal. Pada akhirnya konstitusi yang semsetinya bersifat legal-universal
menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan
sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malah tidak
berguna sama sekali.
Mengapa iklim kebebasan beragam
sulit untuk diwujudkan di Indonesia? paling tidak ada dua faktor yang
berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan
krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan
masyarakat. Krisis peranan dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif
merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin
kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM
sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah
kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran
yang menyimpang.
Krisis peranan pada gilirannya
menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat.
Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk
mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan menjadi
kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga
harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat
fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan
orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan
kita.
2.
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948[2]
Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur
dalam UDHR yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak kebebasan
beragama dalam UDHR, berarti menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak
kebebasan beragama tersebut. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat
diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental.
Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam UDHR diatur dalam
Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan
agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”
Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak
kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan
beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk
beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan, hak untuk mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan
baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat
dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi.
3.
Deklarasi Kairo (DK) 1990[3]
Deklarasi Kairo (DK) merupakan sebuah instrumen hukum HAM
internasional yang dibuat oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun
1990. Deklarasi tersebut dibuat sebagai acuan bagi negara anggota OKI dalam
rangka pelaksanaan perlindungan terhadap HAM yang berdasarkan hukum Islam.
Deklarasi Kairo (DK) 1990 merupakan istrumen pengaturan HAM yang
berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang
mengatur mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik serta hak dan kebebasan
ekonomi, sosial dan budaya.
Peraturan mengenai hak kebebasan beragama dalam DK diatur dalam
pasal khusus. Namun untuk memahami pengertian mengenai hak kebebasan beragama
dalam DK kita harus melihat bagian-bagian lain dari deklarasi yang akan
membantu pemahaman tentang hak kebebasan beragama.
Pembukaan DK mengatur sebagai berikut:
“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat Islam. Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.”
“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat Islam. Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.”
HAM dalam Islam merupakan satu kesatuan dari agama, sehingga perlu
kiranya umat Islam membuat aturan HAM yang berdasarkan hukum Islam. Salah satu
hak yang dijamin dalam DK adalah hak kebebasan beragama, hak tersebut merupakan
salah satu hak fundamental yang menjadi perhatian bagi umat Islam.
Pasal 10 DK mengatur sebagai berikut:
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis.”
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis.”
Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut menyatakan larangan
untuk memaksakan suatu agama atau kepercayaan tertentu kepada orang lain. Hal
ini didasari dari Al Quran, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 256 :
Iw on#tø.Î)
Îû
ÈûïÏe$!$#
( s%
tû¨üt6¨? ßô©9$#
z`ÏB ÄcÓxöø9$#
4 `yJsù
öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/
-ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm;
3 ª!$#ur ììÏÿx
îLìÎ=tæ
ÇËÎÏÈ
“Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (QS:al-Baqarah [2]. 256).
Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tegas
menegasikan tindakan pemaksaan untuk memeluk Islam adalah firman Allah SWT,
öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB
Îû
ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èÏHsd 4 |MRr'sùr&
çnÌõ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3t úüÏZÏB÷sãB
ÇÒÒÈ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?” (QS: Yunus [10]. 99)
Surat ini
menyatakan tidak ada pemaksaan dalam beragama. Islam melarang seseorang untuk
memaksakan agama atau kepercayaan terhadap orang lain, yang diperbolehkan dalam
Islam adalah dakwah atau mengajak. Itu pun harus dilakukan dengan cara yang
baik, tidak dengan berbohong atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun.
4.
Dialog argumentasi
Berdasarkan
penjelasan diatas terdapat dua kubu besar, yang satu mendukung kebebasan
beragama adalah bebas beragama secara mutlak dan kubu yang lain berpendapat
kebebasan beragama adalah bebas memilih agama dan melaksanakan sesuai dengan
etika.
5.
Analisis
Persoalan
mengenai makna kebebasan beragama memang sangat sulit untuk di selesaikan. Yang
terpenting adalah memilih agama sesuai dengan hati dan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama yang dipeluk serta menyebarkan agama sesuai dengan adat
yang berlaku di daerah bertempat tinggal.
6. Penyebab terjadinya perbedaan pendapat mengenai kebebasan
beragama
Kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan di Indonesia nampaknya
juga banyak mendapat sorotan dari dunia internasional. Meskipun belum bisa
dijadikan rujukan, data terbaru yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat
yang memasukkan Indonesia dalam daftar pelanggaran berat kebebasan beragama bersama
Afganistan, Bangladesh, Belarus, Kuba, Mesir, dan Nigeria perlu dicermati
ulang. Setidaknya, laporan tahunan yang dirilis pertengahan tahun 2006 ini
cukup membuka mata untuk melihat sejauh mana Indonesia telah menjamin hak-hak
beragama warganya.
Penghambat
Kebebasan Beragama :
1. Tindakan diskriminatif
1. Tindakan diskriminatif
Tindakan ini menjadi salah satu sumber permasalahan yang dapat
dirasa sangat ekstrem bagi pihak manapun. Karena dalam kasus ini, tindakan ini
tidaklah hanya dilakukan oleh beberapa orang saja melainkan suatu organisasi
terbesarpun (negara) dapat dengan mudahnya melakukan tindakan penindasan dan
paksaan terhadap umat beragama lainnya.Contohnya kita dapat melihat pada masa
pemerintahan Adolf Hittler di Jerman. Dalam salah satu praktek mengenai
diskriminatif agama, Hittler melakukan pemusnahan dan penyiksaan terhadap
penganut agama Yahudi. Hal ini tidak hanya melanggar kebebasan beragama saja
tetapi juga melanggar HAM.
2. Ketidakjelasan Undang-undang
Tidak adanya kejelasan UU suatu negara mengenai kebebasan beragama
di negara tersebut juga dapat menjadi penghambat berjalannya kebebasan
beragama. Pemerintah seharusnya perlu mensosialisasikan secara rutin mengenai
UU ini. Banyak dari masyarakat yang tidak paham akan UU ini. Hal ini pun bisa
dijadikan sebagai alasan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab yang
ingin merusak persatuan bangsa ini. Perlunya ketegasan dan penggalakan hukum
oleh aparat keamanan dan pertahanan negara terhadap para pelanggar untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Idiologi
Kebebasan beragam cenderung ditafsirkan sebagai kebebasan tanpa
batas yang mengakibatkan konflik di masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan
dampak negative yang berujung munculnya masyarakat yang fundamentalis (merasa
apa yang diyakini oleh kelompoknya benar dan menganggap kelompok lain salah,
sehingga menurut perkiraan mereka kelompok lain tersebut patut dihapuskan
meskipun harus melalui jalur kekerasan fisik.
4. PembatasanHak
Hal ini lebih sering terjadi ketika manusia baru dilahirkan, secara
otomatis kita akan terlahir bersamaan dengan agama yang akan kita anut. Jadi
secara tidak langsung kebebasan dan hak kita untuk memilih agama mana yang
menurut kita baik dan sesuai, sudah dihapuskan sejak kita lahir. Dalam hal ini,
letak permasalahannya terdapat pada orang tua sebagai tersangka pembatasan
kebebasan hak manusia dalam beragama.
7. Apresiasi
kedua belah pihak yang saling
bertentangan mengenai kebebasan beragama mempunyai argumen yang hampir sama
kuat. Yang mana argumen masing-masing kubu telah di jelaskan diatas. Dasar
mereka berargumen juga sesuai dengan hukum yang telah berlaku di dunia. Setiap
kubu juga mempunyai pendukung yang banyak.
8. NATIJAH (KESIMPULAN)
Berbicara tentang hubungan antar agama, maka membicarakan mengenai
pluralisme agama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda bagi
setiap orang.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa
kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah
kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam
kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan
terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang
paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan
terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Wacana pluralisme agama adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda, tetapi juga terdapat titik temu secara teologis antara umat-umat beragama. Sesungguhnya tidak ada yang namanya absolutisme agama, itu berarti antar umat beragama tidak bisa menyalahkan ajaran agama orang lain yang dapat dilakukan hanya menghargai agama orang lain. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Agama, terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah.
Agama memiliki nilai mutlak. Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri bersifat duniawi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia bersifat suniawi, tidak absolut. Yang absolut adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu tidak pasti kebenarannya. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan.
Dengan kata lain berbagai permasalahan di atas dapat disimpulakan bahwa Sebagai makhluk yang bersifat duniawi, pemahaman dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama lain itu salah maka yang sesungguhnya salah adalah orang tersebut karena secara tidak langsung ia menyalahkan yang Tuhan dan bahkan menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, pengertian dan pemahaman tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.
Seharusnya kita sebagai salah satu bagian dari masyarakat bisa
menjalani seluruh hak dan kewajiban kewarganegaraan kita dengan baik tanpa
harus mencampuradukannya dengan agama yang kita anut. Karena kedua hal tersebut
dapat saling bertentangan. Kehidupan kita di negara ini telah diatur dengan
sebagai mana mestinya, begitu juga dengan keberlangsungan hidup beragama menurut
kepercayaan masing-masing.
Hak kebebasan beragama selalu berpijak pada penghargaan dan penghormatan martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama membawa kepada penghapusan segala bentuk penodaan dan penistaan terhadap kelompok agama, termasuk kelompok agama minoritas. Intinya pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama menjamin terciptanya toleransi dan perdamaian. Selanjutnya, perdamaian menjamin terwujudnya perlakuan setara dan sederajat bagi semua manusia, tanpa perbedaan. Perdamaian mendorong adanya tanggung jawab individual.
Hak kebebasan beragama selalu berpijak pada penghargaan dan penghormatan martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama membawa kepada penghapusan segala bentuk penodaan dan penistaan terhadap kelompok agama, termasuk kelompok agama minoritas. Intinya pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama menjamin terciptanya toleransi dan perdamaian. Selanjutnya, perdamaian menjamin terwujudnya perlakuan setara dan sederajat bagi semua manusia, tanpa perbedaan. Perdamaian mendorong adanya tanggung jawab individual.
9. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat
kami sampaikan, kami sadar makalah ini
masih kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu
dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran
sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto, Kajian Lintas Kultural
Islam-Barat: Kebebasan Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 1997
Sardy, Martin, Agama
Multidimensional, Bandung: Penerbit Alumni, 1983
[1] Riyanto, Kajian Lintas Kultural Islam-Barat: Kebebasan
Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1997
[2] http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/13/hak-kebebasan-beragama-antara-universal-declaration-of-human-rights-1948-dengan-cairo-declaration-1990/
[3] ibid
No comments:
Post a Comment