Menu

Sunday, 6 May 2012

makalah lembaga keuangan syari'ah (pegadaian)


PEGADAIAN SYARI’AH
         I.     PENDAHULUAN
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Namun dalam kenyataan, bahwa gadai yang ada pada saat ini, khususnya di Indonesia dalam prakteknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara ketat menentukan bunga gadai, yaitu adanya tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang pada waktu membayar utang.
Hadirnya pegadaian sebagai sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia, yang bertugas menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum dapat terlepas dari berbagai persoalan. Sedangkan persoalan-persoalan yang dihadapi lembaga tersebut amatlah komplek. Apabila ditinjau dari syariat Islam, dalam aktivitas perjanjian gadai masih terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syara’, di antaranya yaitu masih terdapat unsur riba, qimar (spekulasi), ketidakpastian yang cenderung merupakan salah satu pihak. Hal ini juga akan berakibat timbulnya praktek-praktek ketidakadilan serta berakibat munculnya kezaliman yang lain. Oleh karena itu, perlu adanya rekontruksi sistem operasionalnya.
Berangkat dari uraian yang telah diuraikan diatas, dan dengan maksud untuk menganalisis secara kritis terhadap gejala umum praktik pegadaian yang ada sekarang ini dari sudut pandang kajian hukum Islam. Maka perlu dikaji dan ditawarkan sebuah alternatif solusi atas problematika yang terjadi dengan melakukan Pegadaian Syari’ah.
 
      II.     RUMUSAN MASALAH
1.       Pengertian
2.       Sejarah dan Landasan Hukum
3.       Rukun dan Syarat
4.       Ketentuan Gadai Barang
5.       Akad
6.       Persamaan dan Perbedaan dengan Pegadaian Konvensional
7.       Kendala dan Strategi Pengembangan
8.       Operasi
   III.     PEMBAHASAN
1.       Pengertian
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.[1]
Atau lebih jelasnya, gadai adalah akad pinjam meminjam dengan menyebabkan barang sebagai tanggungan utang atau jaminan atas utang.[2]
2.       Sejarah dan Landasan Hukum
Ø  Sejarah
Sejarah pegadaian syari’ah di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kemauan warga masyarakat Islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip syari’ah dan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan praktik ekonomi dan lembaga keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum Islam. Hal dimaksud, dilatarbelakangi oleh maraknya aspirasi dari warga masarakat Islam di berbagai daerah yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam dalam berbagai aspeknya termasuk pegadaian Syari’ah. Selain itu, semakin populernya praktik bisnis ekonomi syari’ah dan mempunyai peluang yang cerah untuk dikembangkan.
Berdasarkan hal di atas, pihak pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk melegitimasi secara hukum positif pelaksanaan praktik bisnis sesuai dengan syari’ah yang termasuk gadai syari’ah. Karena itu, pihak pemerintah bersama DPR merumuskan  rancangan peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan pada bulan Mei menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang dimaksud, memberi peluang untuk diterapkan praktik perekonomian sesuai syari’ah di bawah perlindungan hukum positif.
Berdasarkan undang-undang tersebut maka terwujud lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS). Pada awalnya, muncul lembaga perbankan syari’ah, yaitu Bank Muamalat menjadi pionirnya, dan seterusnya bermunculan lembaga keuangan Syari’ah lainnya, seperti lembaga asuransi syari’ah, lembaga pegadaian syari’ah, dan lain-lainnya.
Usaha lembaga syari’ah dimaksud, dimulai oleh PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang merupakan salah satu lembaga perbankan syari’ah pertama di Indonesia, beraliansi dengan Perum Pegadaian. Bentuk kerja sama kedua belah pihak, yaitu Perum Pegadaian bertindak sebagai kontributor sistem gadai dan BMI sebagai pihak kontributor muatan sistem syari’ah dan dananya. Aliansi kedua belah pihak dimaksud, melahirkan Unit Layanan Gadai Syari’ah (kini, Cabang Pegadaian Syari’ah). Selain aliansi kedua lembaga dimaksud, gadai syari’ah juga dilakukan oleh bank-bank umum syari’ah, seperti Bank Syari’ah Mandiri (BSM) dan bank-bank umum lainnya yang membuka unit usaha syari’ah (UUS).
Melihat adanya peluang dalam mengimplementasikan praktik gadai berdasarkan prinsip syari’ah, Perum Pegadaian yang telah bergelut dengan bisnis pegadaian konvensional selama beratus-ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan kerja sama dengan PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) dalam mengusahakan praktik gadai syari’ah sebagai diversifikasi usaha gadai yang sudah dilakukannya sehingga pada bulam Mei tahun 2002, ditandatangani sebuah kerja sama antara keduanya untuk meluncurkan gadai syari’ah, yaitu BMI sebagai penyandang dana.[3]      

Ø  Landasan Hukum
Landasan hukum pegadaian syari’ah adalah kisah dimasa Rasulullah, ketika seseorang menggadaikan kambingnya. Saat itu Rosulullah ditanya oleh salah seorang sahabatnya: bolehkah kambingnya diperah? Nabi mengizinkan, sekedar untuk  menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rosulullah mengizinkan bagi penerima gadai untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan objek ijtihad dari para pengkaji keuangan syari’ah, sehingga gadai ini menjadi produk keuangan syari’ah yang cukup menjanjikan.[4]
Beberapa landasan hukum pegadaian syari’ah:
1.      Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. al-Baqarah:283,
“jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melaksanakan muamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang mengutangkan), tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah SWT. ”
2.      Al-Hadits
a.       Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “ Rasulullah pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b.      Dari Anas ra berkata, Rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau. (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah).
c.       Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw berkata, “ apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga-nya). Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga-nya). Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)-nya.” (HR. Jamah kecuali Muslim dan Nasa’i).
d.      Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw berkata, “barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya).” (HR. Syafi’i dan Daruqutni). [5]
3.      Ijtihad Ulama’
Jumhur ulama’ menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama’ juga mengambil indikasi dari contoh nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan nbi Muhammad saw. kepada mereka.[6]
3.       Rukun dan Syarat
Dalam menjalankan pegadaian syari’ah, pegadaian harus memenuhi rukun dan syarat gadai syari’ah.
Rukun gadai tersebut antara lain:
1)        Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan akan memiliki barang akan digadaikan.
2)        Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
3)        Al-Marhun/ rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
4)        Al-Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kapada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun
.
5)        Sighat, Ijab dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
Syarat gadai syari’ah yaitu:
1)      Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yaitu harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yakni berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan.
2)      Sighat
a.       Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.
b.      Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
3)      Marhun bih (utang)
a.       Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya.
b.      Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
c.       Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dikualitifikasi rahn itu tidak sah.
4)      Marhun (barang)
Secara umum barng yang digadaikan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a.       Harus diperjualbelikan.
b.      Harus berupa harta yang bernilai.
c.       Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari’ah.
d.      Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung.
e.       Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin pemiliknya.[7]
4.       Ketentuan Gadai Barang
Dalam menggadaikan barang di pegadaian syari’ah harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)        Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan.
2)        Tidak sah menggadaikan barang rampasan (di-gasab) atau barang yang pinjam dan semua yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan. Sebab, gadai bermaksud sebagai penutup hutang.
3)        Gadai itu tidak sah apabila utangnya belum pasti.
4)        Disyaratkan pula agar utang-piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua belah pihak.
5)        Menerima barang gadai oleh pegadaian adalah salah satu rukun akad gadai atas tetapnya gadaian. Karena itu, gadai belum ditetapkan selama barang yang digadaikan itu belum diterima oleh pegadaian.
6)        Seandainya ada orang menggadaikan barang namun barang tersebut belum diterima oleh pegadaian, maka orang tersebut boleh membatalkannya.
7)        Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka akad rahn (gadai) tersebut telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
8)        Penarikan kembali (pembatalan) akad gadai itu adakalanya dengan ucapan dan adakalanya dengan tindakan.
9)        Jika akhir masa sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya tidak termasuk pembatalan.
10)    Jika masa membayar utang pada gadai lebih awal dari pada masa sewa maka tidak termasuk pembatalan gadai.
11)    Barang gadaian adalah amanat di tangan penerima gadai, karena ia telah menerima barang itu dengan izin nasabah.[8]


5.       Akad
Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian dapat sah bila memenuhi tiga syarat:
a.         Harus berupa barang, karena uang tidak bisa digadaikan.
b.         Penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
c.          Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang gadai.
Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian. Ketiga akad perjanjian tersebut adalah:
1)      Akad al-Qardul Hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian nasabah (rahin) akan memberi biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhun).
2)      Akad al-Mudharabah
Akad dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3)      Akad al-Muqayadah
Untuk sementara akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan.[9]

6.       Persamaan dan Perbedaan dengan Pegadaian Konvensional
Persamaan gadai syariah dengan gadai konvensional:
a.         Hak gadai atas pinjaman uang.
b.         Adanya agunan sebagai jaminan utang.
c.         Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
d.        Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai.
e.         Apabila batas waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional:
a.         Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Sedang, gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
b.         Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang begerak. Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
c.         Dalam rahn tidak ada istilah bunga.
d.        Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.[10]
7.       Kendala dan Strategi Pengembangan
Dalam realitas terbentuknya pegadaian syariah dan praktek yang telah di jalankan bank yang menggunakan gadai syariah ternyata menghadapi kendala-kendala sebagai berikut:
1)        Pegadaian syariah relatif baru sebagai sistem keuangan. Oleh karenanya, menjadi tantangan tersendiri bagi pegadaian syariah untuk mensosialisasikan syariahnya.
2)        Masyarakat kecil, masyarakat yang dominan menggunakan jasa pegadaian, kurang familiar dengan produk rahn di lembaga keuangan syariah. Apalagi sebagian besar yang berhubungan dengan pegadaian selama ini adalah rakyat kecil maka ia dikenalkan bentuk pegadaian (rahn) oleh bank, apalagi dengan fasilitas bank yang mewah, timbul hambatan psikologi dari masyarakat dalam berhubungan dengan rahn.
3)        Kebijakan pemerintah tentang gadai syariah belum sepenuhnya akomodatif terhadap keberadaan pegadaian syariah. Di samping itu, keberadaan pegadaian konvensional di bawah Departemen Keuangan mempersulit posisi pegadaian syariah bila berinisiatif untuk independen dari pemerintah pada saat pendiriannya.
4)        Pegadaian kurang populer. Image yang selama ini muncul adalah bahwa orang yang berhubungan dengan pegadaian adalah mereka yang meminjam dana dengan jaminan suatu barang, sehingga terkesan miskin atau tidak mampu secara ekonomi.
Adapun usaha-usaha atau strategi yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pegadaian syariah antara lain:
1)        Usaha untuk membentuk lembaga pegadaian syariah terus dilakukan sebagai usaha untuk mensosialisasikan praktek ekonomi syariah di masyarakat menengah ke bawah yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pendanaan. Maka perlu kerjasama dari berbagai pihak untuk menentukan langkah-langkah dalam pembentukan lembaga pegadaian syariah yang lebih baik.
2)        Masyarakat akan lebih memilih pegadaian dibanding bank pada saat mereka membutuhkan dana karena prosedur untuk mendapatkan dana relatif lebih mudah dibanding dengan meminjam dana langsung ke bank. Maka cukup alasan bagi pegadaian syariah untuk eksis di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan bantuan.
3)        Pegadaian syariah bukan sebagai pesaing yang mengakibatkan kerugian bagi lembaga keuangan syariah lainnya, dan bukan menjadi alasan untuk menghambat berdirinya pegadaian syariah. Dengan keberadaan pegadaian syariah akan menambah pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan dana yang mudah, selain itu hal ini akan meningkatkan tersosialisaikannya keberadaan lembaga keuangan syariah.
4)        Pemerintahan perlu untuk mengakomodir keberadaan pegadaian syariah ini dengan membuat peraturan pemerintah (PP) atau undang-undang (UU) pegadaian syariah. Atau memberikan alternatif keberadaan biro pegadaian syariah dalam Perum Pegadaian Syariah.[11]  

8.       Operasi
1.      Jenis Barang yang Digadaikan
Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut ditangan nasabah bukan karena hasil praktek riba, gharar, maysir. Barang-barang tersebut antara lain:
a.       Barang perhiasan
b.      Barang rumah tangga
c.       Barang elektronik
d.      Kendaraan
e.       Barang-barang lain yang dianggap benilai.
2.      Penaksiran Barang
Besarnya pinjaman dari pegadaian syariah yang diberikan kepada nasabah tergantung pada besarnya nilai barang yang akan digadaikan. Barang yang diterima dari calon nasabah harus di taksirkan oleh petugas penaksir untuk mengetahui nilai dari barang tersebut.
3.      Pelunasan
Pada dasarnya nasabah dapat melunasi kewajiban setiap waktu tanpa menunggu jatuh tenpo. Setelah adanya pelunasan, nasabah dapat mengambil barang yang telah digadaikan. 


4.      Pelelangan Barang Gadai
Pelelangan dapat dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan. Pelelangan berlaku bagi masyarakat umum dan sebelumnya ada pemberitahuan kepada nasabah dan masyarakat adanya pelelangan.
Barang nasabah dilelang karena beberapa sebab:
a.       Pada saat jatuh tempo pembayaran habis, nasabah tidak bisa menebus barang yang digadaikan.
b.      Pada saat jatuh tempo nasabah tidak memperpanjang batas waktu pinjaman dengan ketentuan yag telah diatur oleh pegadaian.
5.      Pemanfaatan Barang Gadai 
Dalam penggunaan barang gadai oleh pegdaian terdapat perbedaan pandangan dikalangan muslim. Menurut madzhab Hanafi dan Hambali, penerima pegadaian boleh dimanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk utang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu berhak mengijinkan pada siapa saja yang ia kehendaki untuk menggunakan hak miliknya. Menurut imam Syafi’i  dan imam Malik, manfaat barang jaminan secara mutlak adalah hak bagi yang mengadaikan barang.[12]
  

  IV.     KESIMPULAN
Gadai adalah akad pinjam meminjam dengan menyebabkan barang sebagai tanggungan utang atau jaminan atas utang.
Pegadaian mempunyai landasan hukum yang terdapat dalam QS. al-Baqarah: 283. Dan terdapat dalam hadits yang salah satunya di riwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dari Aisyah berkata, “Rasulullah pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau”.
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun dan syarat gadai syariah.
Rukun gadai tersebut antara lain:
1.      Ar-rahn (yang menggadaikan).
2.      Al-murtahin (yang menerima gadai).
3.      Al-marhun (barang yang digadaikan).
4.      Al-marhun bih (utang).
5.      Sighat, ijab, dan qabul.
Syarat gadai antara lain:
1.      Rahin dan murtahin.
2.      Sighat.
3.      Marhun bih (utang).
4.      Marhun (barang).
Dalam menggadaikan barang di pegadaian syari’ah harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan.
2.      Tidak sah menggadaikan barang rampasan (di-gasab) atau barang yang pinjam dan semua yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan. Sebab, gadai bermaksud sebagai penutup hutang.
3.        Gadai itu tidak sah apabila utangnya belum pasti.
4.        Disyaratkan pula agar utang-piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua belah pihak.
Dalam mekanisme perjanjian gadai, ,menggunakan tiga akad perjanjian:
1.      Akad al-qordul hasan.
2.      Akad al-mudharabah.
3.      Akad bai’ al-muqayadah.
 Persamaan gadai syariah dengan gadai konvensional:
a.       Hak gadai atas pinjaman uang.
b.      Adanya agunan sebagai jaminan utang.
c.         Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
d.        Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai.
e.         Apabila batas waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional:
a.       Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Sedang, gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
b.      Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang begerak. Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
c.         Dalam rahn tidak ada istilah bunga.
d.      Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
     V.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang  kami buat, kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan pengetahuan. Oleh sebab itu, kami  mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin..


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema Insani, 2001, cet.1.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, cet.5.
Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2006,cet.1.
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Gafika, 2008, cet.1.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,  Yogyakarta: Ekonisia, 2004, cet.2.


[1]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hal.128.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,  hal 106.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Gadai  Syari’ah, 15-16.
[4] Ibid, hal 18
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hal.158-159.
[6] Zainuddin Ali, op.cit, hal.8.
[7] Heri Sudarsono, op.cit, hal.160-161.
[8] Ibid, hal. 162-63.
[9] Ibid, hal.164-165.
[10] M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, hal.91
[11] Heri Sudarsono, op.cit, hal.167-168.
[12] H S, hal.172-178.

3 comments:

Unknown said...

makasih materinya :)

Marji'ul Qulub said...

sama-sama,,,
mohon do'a, dkungan, kritik dan saran untuk kesempurnaan blog nie,,,

Unknown said...

makasih bos materinya...
ane kopas buat materi tugasku yak hahahaha

maju terus, semoga blognya rame dan semakin bermanfaat bagi banyak orang... :D